From Russia with Love

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 29 Juni 2022 – 19:35 WIB
Presiden Jokowi. Foto : Ricardo

jpnn.com - Agen rahasia Inggris James Bond yang berkode 007 melakukan misi berbahaya untuk mencari peralatan ‘’decoding’’ milik Rusia. 

Dalam misi itu Bond dibantu oleh agen perempuan Tatiana Romanova yang mempunyai jaringan dengan pemerintah dan mafia Rusia.

BACA JUGA: Seusai Lihat Kota yang Dibombardir Rusia, Jokowi Berikan Pernyataan, Simak Kata-katanya

Bond yang menghadapi perlawanan sengit dari mafia dan banyak musuh akhirnya bisa menyelesaikan misinya, dan Bond juga mendapatkan cinta dari Tatiana. Mission accomplished. Misi dituntaskan, dan dunia selamat dari kehancuran.

Kisah ‘’From Russia with Love’’ itu adalah serial kedua film James Bond yang sangat poluler. 

BACA JUGA: Tiba di Ukraina, Jokowi akan Kunjungi 2 Tempat Ini Sebelum Temui Presiden Zelenskyy

Episode ini beredar pada 1963 dibintangi oleh aktor Inggris Sean Connery sebagai James Bond, dan dianggap sebagai salah satu episode James Bond yang paling sukses. 

Film ini menjadi salah satu yang paling dikenang sepanjang masa. Meskipun sudah berusia setengah abad, film ini masih sering ditonton dan judul film ini sering dikutip dalam berbagai penulisan dan pembicaraan.

BACA JUGA: Renovasi Vihara di Sukabumi Ditolak Ormas, Hikmahbudhi Desak Jokowi Turun Tangan

Presiden Joko Widodo hari-hari ini sedang menjalankan lawatan ke Ukraina dan Rusia yang sedang bergolak oleh peperangan panjang. 

Jokowi mencoba mencari formula untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai sekaligus menyelamatkan dunia dari krisis yang lebih luas. 

Misi James Bond ke Rusia adalah mencari decoding yang dikuasai oleh organisasi rahasia yang punya niat jahat untuk menghancurkan dunia. 

Misi Bond disebut sebagai mission impossible, misi yang mustahil, karena menghadapi perlawanan dan penentangan dari banyak kekuatan besar.

Dengan kecerdikan dan keberaniannya serta dengan bantuan agen Tatiana yang cantik dan pintar, Bond akhirnya bisa menyelesaikan misi mustahil itu.

Joko Widodo juga sedang menjalankan misi yang bisa disebut sebagai ‘’mission impossible’’. Tentu saja Jokowi bukan James Bond yang bisa dengan ‘’single handed’’ sendirian menyelesaikan misi berbahaya. 

Jokowi bukan superagen jagoan yang bisa dar der dor menghancurkan lawan. Alih-alih, Jokowi berusaha mempergunakan diplomasi politik untuk merayu Rusia dan Ukraina supaya mau berdamai.

Misi Jokowi ini mirip dengan misi yang dilakukan oleh Presiden Soeharto ke Bosnia-Herzegovina pada 1995. 

Ketika itu, perang Bosnia sedang berada pada puncaknya. 

Agresi Serbia terhadap Bosnia yang penduduknya mayoritas muslim menyeret wilayah Balkan menjadi daeah konflik yang berbahaya yang bisa merembet menjadi perang skala penuh yang lebih luas di Eropa.

Presiden Soeharto sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok berusaha mempergunakan pengaruhnya untuk membujuk pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan agresinya. 

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai kredensial tinggi di mata internasional untuk melakukan mediasi di Bosnia.

Kehadiran Presiden Soeharto di Bosnia-Herzegovia diwarnai dengan berbagai ketegangan yang dramatis dan heroik. Konflik Balkan itu memakan ribuan korban dan sudah berlangsung selama 3 tahun. 

Pak Harto bertekad bertolak ke Eropa untuk terjun ke area konflik secara langsung. Pak Harto berharap, kehadirannya di Bosnia dapat menjadi penengah konflik sekaligus menunjukkan simpati kepada muslim Bosnia yang menjadi target serangan etnis Serbia.

Konflik ini berawal dari keinginan Bosnia-Herzegovina untuk memerdekakan diri dari federasi Yugoslavia yang kemudian ditolak oleh Serbia sebagai negara yang paling dominan di wilayah Balkan. 

Terjadi persekusi dan pembunuhan besar-besaran yang dikenal sebagai ethnic cleansing, pembersihan etnis, di Balkan. Ribuan orang dibunuh dan wanita-wanita diperkosa.

Negara-negara itu serumpun sesama etnis Slavic tetapi dipisahkan oleh sub-etnik yang saling bermusuhan terutama karena perbedaan agama.

Runtuhnya komunisme Uni Soviet dan Eropa membuat negara-negara kecil di Balkan di bawah federasi Rusia ingin memerdekakan diri. 

Perang antar-etnis tidak terhindarkan karena batasan geografis yang kabur di antara wilayah-wilayah etnis itu.

Pada Maret 1995, Presiden Soeharto bersama rombongan tiba di Eropa. Mereka sempat singgah di Zagreb, Kroasia dan bertemu langsung dengan Presiden negara itu Franjo Tudjman untuk merundingkan berbagai strategi yang memungkinkan untuk mengakhiri konflik. 

Kroasia juga sudah memerdekakan diri dan menghadapi ketegangan dengan Serbia yang agresif.

Di Kroasia, rombongan Indonesia mendapat kabar tentang pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembak jatuh pada 11 Maret 1995 saat terbang ke Bosnia. 

Kabar ini tidak menyiutkan nyali Soeharto. Pada 13 Maret 1995, Pak Harto pamit kepada presiden Kroasia untuk terbang ke Bosnia menggunakan pesawat sewaan buatan Rusia yang dibuat oleh PBB.

Sebelum pesawat lepas landas, rombongan Indonesia, termasuk Soeharto diminta untuk mengisi formulir pernyataan risiko. 

Formulir tersebut menyatakan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab atas kejadian apa pun yang menimpa Soeharto dan rombongan dalam kunjungan tersebut.

Penerbangan Zagreb-Sarajevo memakan waktu satu setengah jam. Ketika rombongan diminta untuk bersiap mengenakan rompi dan helm pengaman, Pak Harto terlihat tetap tenang di kursinya.

Sjafrie Sjamsoeddin yang memimpin pasukan pengamanan presiden saat itu duduk di depan Pak Harto sambil membawa helm dan rompi. Dia bermaksud supaya sang presiden meminta kedua pengaman tersebut untuk dikenakan. Namun, Pak Harto enggan memakai rompi anti peluru itu. 

Pak Harto pada akhirnya mendarat hanya mengenakan jas dan kopiah. Suasana di bandara sangat menegangkan karena banyak senjata yang siap sedia setiap saat ditembakkan dan bisa dengan mudah merontokkan pesawat terbang.

Sjafrie kemudian memutuskan untuk meminjam kopiah seorang wartawan dan menyembunyikan rompinya di bawah overcoat yang dia kenakan. Dia sengaja melakukan penyamaran supaya penampilannya mirip Soeharto untuk mengelabui kemungkinan serangan dari sniper atau penembak jitu.

Perjalanan makin menegangkan karena melewati daerah berbahaya yang disebut sniper valley, lembah sniper, sebuah lembah yang penuh dengan penembak jitu dari kedua pihak yang bertikai. 

Rombongan presiden berhasil melewati lembah dan tiba di Istana Kepresidenan Bosnia. Kondisi istana berantakan kurang terurus karena perang.

Kunjungan Soeharto tidak serta-merta menghentikan konflik, akan tetapi Pak Harto mengatakan bahwa dia ingin memberi dorongan moral kepada Presiden Alija Izetbegovic supaya tabah dalam menghadapi konflik. Perang etnis itu akhirnya berhenti pada awal 2000 atas campur tangan PBB.

Konflik Rusia-Ukraina beda dengan perang Balkan, tetapi ada kesamaan dalam hal bisa berkembang menjadi perang skala penuh. Perang dua negara bertetangga ini sudah berkembang menjadi perang proxy yang melibatkan semua kekuatan geopolitik internasional. 

Amerika dan sekutunya NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) tahu betul kekuatan Rusia dan karenanya Amerika dan sekutunya tidak berani ikut terjun dalam perang terbuka menghadapi Rusia. 

Amerika dan sekutunya menghindari full scale war, perang skala penuh, karena perang terbuka akan bisa menyulut perang dunia ketiga yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia.

Kunjungan Jokowi tidak akan serta-merta membawa perdamaian. Akan tetapi, sebagai pemimpin kepresidenan G20 Indonesia harus memberi dukungan moral kepada Ukraina dan membujuk Rusia untuk menghentikan agresinya.

James Bond  bisa menyelesaikan misi Rusia dengan sukses dan pulang membawa perdamaian dan cinta, ‘’From Russia with Love’’. Jokowi tentu juga berharap bisa menyelesaikan misi Rusia dan pulang membawa perdamaian, ‘’from Russia with Peace’’. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler