Ketika seorang gadis cilik transgender, berusia 8 tahun, bernama Avery mengunjungi sebuah rumah bercat garis-garis biru, merah muda dan putih, ia menyadari ada orang-orang yang akan mendukung dan menerimanya.

"Saya mencintai Rumah pelangi [Rumah Kesetaraan] ketika ia dicat seperti bendera transgender. Saya merasa sangat senang dan bangga menjadi transgender," akunya.

BACA JUGA: 20 Mahasiswa Indonesia Mulai Magang di Peternakan Australia Utara

Sejak hari itu, Avery memutuskan untuk tak menyembunyikan identitasnya, tak apa untuk menunjukkan wajahnya di foto karena ia merasa diterima dan aman.

Rumah Kesetaraan biasanya dicat garis-garis pelangi tetapi untuk satu pekan dalam setahun, rumah itu dicat dengan warna transgender (biru, merah muda, dan putih).

BACA JUGA: Video: Aksi Kompak Pemburu Telur Paskah Bantu Polisi Temukan Pencuri

Tapi Avery berpikir, tujuh hari tidaklah cukup.

Ia ingin membangun rumah permanen transgender di sebelah Rumah Kesetaraan dan Gereja Baptis Westboro - kelompok yang dikenal akan kampanye kebencian terhadap komunitas LGBT.

BACA JUGA: Warga Temukan Anak Buaya Tercecer di Beberapa Lokasi di Broome

Pada tahun 2012, ‘Planting Peace’, sebuah organisasi kemanusiaan non-profit -yang didirikan untuk menyebarkan perdamaian dunia -membeli rumah asli tepat di seberang jalan dari Gereja Westboro di Topeka, Kansas, Amerika Serikat (AS).

Mereka dicat dalam warna bendera kebanggaan kelompok gay.

Organisasi ‘Planting Peace’ telah bergabung dengan Avery untuk memperluas "perdamaian dan penerimaan masyarakat, di seberang Gereja Baptis Westboro," sebut halaman kampanye mereka.

Gereja Westboro membalasnya dengan kebencian.

"Rumah Pelangi Sodomi @Planting_Peace bisa membeli setiap rumah di blok ini tetapi Tuhan MASIH membenci fa **," unggah akun @WBCVideo di Twitter.

‘Planting Peace’ merespon dengan meminta gereja untuk mendukung gerakan mereka.

"Hei teman-teman !! Mau berkontribusi untuk kecantikan lingkungan kita?" tweet mereka.

Mendukung anak seperti Avery

Presiden ‘Planting Peace’, Aaron Jackson, mengatakan, keberanian dan energi Avery mengilhami mereka untuk membuat sebuah rumah yang didedikasikan untuk komunitas transgender, dan semua transgender anak.

"Dengan hampir setengah dari transgender anak mencoba bunuh diri karena bullying, kekerasan, dan percaya bahwa mereka 'tak layak', kami perlu melakukan segala yang kami bisa untuk menunjukkan kasih sayang dan membiarkan mereka tahu ada banyak, banyak orang di dunia yang percaya dan mendukung mereka," tuturnya.

Sebuah laporan yang dirilis oleh Universitas La Trobe pada 2014 mengatakan, 1 dari 3 anak muda dengan multi-kelamin dan transgender muda di Australia tak merasa didukung oleh keluarga mereka dan mengalami tingkat stress, bunuh diri dan depresi yang jauh lebih tinggi.

"Kita memiliki kesempatan sebagai komunitas global untuk membuat, pernyataan penuh kasih positif dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kesetaraan," ujar Aaron.

"Saya pernah mendengar ribuan cerita dari anak-anak dan orang dewasa muda tentang betapa Rumah Kesetaraan sungguh berarti untuk mereka. Ini berarti bagi lebih banyak orang daripada yang pernah saya bayangkan,” utaranya.

Aaron mengatakan, "Kami ingin ... berdiri dengan anak-anak seperti Avery dan biarkan mereka tahu mereka tak sendiri."

Kampanye ini telah menghasilkan 7% dari dana 70.000 dolar (atau setara Rp 900 juta) yang diperlukan untuk mendirikan dan mengoperasikan rumah itu.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Generasi Mendatang Australia Diprediksi Tidak Mampu Beli Rumah Sendiri

Berita Terkait