jpnn.com - JAKARTA - Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) menduga, Galeri Nasional Australia menampung artefak hasil curian asal Larantuka Selatan, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Koordinator Madya, Jhohannes Marbun, warisan budaya itu berupa Artefak Perunggu Wanita Sedang Menenun Sambil Menyusui.
Dalam keterangan persnya diterima JPNN, Jumat (26/9), Jhohannes mengaku mengetahui seputar artefak tersebut dari pemberitaan media di Aussy, the Australian, dengan judul tulisan: “$4m mystery: how did NGA end up with treasured Indonesian relic?” pada tanggal 18 September 2014.
BACA JUGA: Kemenpora Ajak Lestarikan Lomba Perahu Bidar
"Bagi Madya, pemberitaan ini membuka mata kesadaran kita bahwa persoalan pengelolaan warisan budaya di Indonesia masih sangat lemah dan belum menyentuh pada substansi pengelolaannya," ujar Jhohannes.
Dijelaskannya, The Australia, memberitakan Gallery National of Australia (GNA) telah melakukan proses akuisisi (pembelian) artefak Patung Perunggu Wanita sedang menenun sambil menyusui bayi pada tahun 2006, dari salah seorang kolektor berkebangsaan Swiss, yang meninggal pada tahun 2013 lalu.
BACA JUGA: ONCE Nikmati Masa Kesendirian
Patung Perunggu itu terakhir kali diketahui berada di Indonesia, ketika salah seorang wanita dari Larantuka Selatan, daerah Flores Timur berfoto memegang benda tersebut pada tahun 1977. Hal tersebut dapat dilacak melalui melalui foto yang dipublikasikan oleh Paul Michael Taylor (sekarang direktur Program Smithsonian untuk Sejarah Kebudayaan Asia) di buku: Fragile traditions Indonesian Art in Jeopardy pada tahun 1996, sebagaimana diberitakan oleh the Australian.
Berdasarkan hasil penelusuran Madya secara online, hanya terdapat beberapa berita yang mengatakan bahwa artefak perunggu dari abad ke-6 masehi tersebut dijual. Di samping itu, Madya juga menelusuri ke Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) beberapa hari lalu, didapatkan informasi bahwa lembaga penelitian arkeologi Indonesia tersebut pernah hendak melakukan penelitian artefak tersebut pada tahun 1983 ke Larantuka.
Namun, masyarakat tersebut menyampaikan informasi ke Puslit Arkenas bahwa artefak tersebut telah disita oleh Polisi setempat karena hendak diselundupkan ke luar negeri. Alhasil Puslit Arkenas hanya berhasil mengkoleksi foto Patung Perunggu tersebut.
Hal menarik adalah 23 tahun kemudian yaitu tahun 2006, aretefak yang hilang tersebut diakusisi oleh GNA seharga US$4 juta. "Disinyalir kolektor Swiss tersebut mengakuisisi artefak tersebut dari oknum pencuri seharga US$ 1 juta. Sangat disayangkan bahwa GNA tidak menjalankan Kode Etik ICOM (International Council of Museum) secara baik dan benar," ungkapnya.
Dikatakan, salah satu poin yang harus ditaati sesuai kode etik ICOM adalah, sebelum melakukan proses akuisisi artefak harus dilakukan penelitian tentang asal usul artefak dan kepemilikannya (provenance research) sebagai dasar penetapan keaslian dan kepemilikan.
"Apabila asal-usulnya tidak terlalu jelas, seharusnya GNA memberitahu koleganya di Galeri atau Museum Nasional Indonesia untuk dimintai informasi," jelasnya.
Pihaknya juga menyebutkan tindakan yang dilakukan oleh GNA akan menambah sulit kerja Madya dalam melakukan advokasi atas perlindungan warisan budaya di Indonesia, terutama untu melacak peredaran benda-benda illegal asal Indonesia ke luar negeri. (fat/jpnn)
Redaktur : Tim Redaksi