Gandrung Banyuwangi Menginspirasi Teater Garasi

Minggu, 14 Mei 2017 – 15:46 WIB
Teater Garasi dari Yogyakarta ketika mementaskan Repertoar Hujan (Rain Repertoire) di Tokyo, Jepang pada 2005. Foto: teatergarasi.org

jpnn.com, JAKARTA - Seni tradisi asal Banyuwangi menjadi inspirasi bagi kelompok teater dari Jogja, Teater Garasi  (Garasi Performance Institute). Kelompok teater itu mempersembahkan sebuah pertunjukan teater-musik (muziktheater) berjudul Menara Ingatan.

Lakon itu berdasar karya komposisi Yennu Ariendra (seniman Teater Garasi dan kelompok musik Melancholic Bitch).  Menara Ingatan adalah produksi teranyar Teater Garasi/Garasi Performance Institute.

BACA JUGA: Gubernur Babel Erzaldi: Pasar Kami Singapura dan Malaysia

Karya ini berangkat dari sejarah dan ingatan atas Indonesia yang dilihat dari sudut pandang sejarah Gandrung Banyuwangi, suatu bentuk pertunjukan tradisi di timur pulau Jawa. Refleksi personal komposer dan kolaborator karya kemudian melihat bahwa Gandrung dan masyarakat Osing pendukungnya adalah perihal perlawanan yang keras kepala dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang ingin meringkusnya.

Komposisi musik dan pemanggungan Menara Ingatan meminjam struktur pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang terbagi dalam 3 babak: Jejer, Paju dan Seblang Subuh.

BACA JUGA: Wisatawan Kepincut Festival Kampung Tani di Kota Batu

Pentas berlangsung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 24 – 25 Mei 2017 pukul 20.00. Pentas ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta.

Proses penciptaan komposisi musik Menara Ingatan beserta proses pemanggungan serta visualisasinya bertumpu pada logika kerja, pendekatan serta fungsi-fungsi teater. Karya ini bertolak dari pembacaan serta refleksi atau suatu isu atau tema tertentu, yang kemudian diterjemahkan dalam komposisi-komposisi musik yang menimbang keterwakilan naratif atas tema tersebut dan efek dramatik yang ingin diciptakan.

BACA JUGA: Jelang Konferensi Manila, Kemenpar Sukses Gelar FGD Sustainable Tourism Statistics

Karya ini berada di luar koridor teater musikal yang biasanya, entah itu opera, operette, musikal, sings piels, ataupun drama per musica. Bentuk garap karya ini cenderung memanfaatkan ruang yang kerap disebut teater-musik (dari bahasa Jerman:  muziktheater). 

Ruang ini mengelompokkan olah kerja teater yang bertumpu pada musik secara lebih liat dan terbuka, semacam Merredith Monk, Heinner Goebbels, Laurie Anderson, Matmos, dan lain sebagainya. Dari deret nama ini, hampir tak ada ciri serupa, selain bahwa semuanya mengolah bentuk pertunjukan teater yang bertumpu pada musik.

Proyek ini melibatkan berbagai seniman lintas disiplin dari khasanah musik tradisi, musik digital, teater, hingga seni rupa kontemporer.

Yennu menjelaskan, ketika mengolah isu-isu ini, dia bertemu lagi dengan Gandrung, bentuk kesenian Banyuwangi yang sejak lama menarik perhatiannya. Dari situ pula Yennu mempelajari sejarah perlawanan kerajaan Blambangan yang dari dahulu, abad 14 M, selalu menolak tunduk pada kekuasaan Majapahit, Bali, Mataram hingga VOC.

“Saya membaca kembali Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi, yang dalam Perang Puputan (perang penghabisan) melawan Belanda dan Mataram mesti kehilangan 80 persen dari populasinya. Suku Osing, suku yang selalu berkata tidak pada setiap kekuasaan yang hendak menaklukkannya,” tegasnya. 

Untuk komposisi dan penampilan musik, Yennu berkolaborasi dengan Andi Meinl, Asa Rahmana, Nadya Hatta dan Silir Pujiwati. Pemanggungan berkolaborasi dengan Ugoran Prasad (dramaturgi), Yossy Herman Susilo (sound-designer), Ignatius Sugiarto (lighting designer), Timoteus Anggawan Kusno (seniman rupa), Gunawan Maryanto (performer dan co-director), Dendi Madiya (performer dan co-director), Fidelis Krus, Muchammad Syachbudin, Ricky Unik dan Sri Qadariatin (performer).

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang berdarah asli Banyuwangi pun mengapresiasi rencana Teater Garasi mementaskan Menara Ingatan. Menurutnya, seni teater punya penggemar tersendiri.

Arief mengatakan, penggemar teater memang tidak banyak, tetapi mereka eksis. Dia lantas mengibaratkan penggemar teater seperti halnya penyuka jazz atau musik klasik. Ada pasarnya meskipun tipis.

Ternyata, Yogyakarta memberi ruang untuk berkembangnya seni teater. "Jogja sebagai kota budaya, kota seni, kota pendidikan dan pariwisata, cocok untuk mengembangkan seni yang tergolong berat ini," kata Arief.

Mantan direktur utama PT Telkom itu selalu melihat seni dari dua sisi yang saling menguatkan. Yakni cultural value dan commercial value.

"Kalau masih di cultural value, itu wilayah Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif, red) dan Kemendikbud. Kalau sudah dikomersialisasi, itu baru masuk ke Kemenpar," katanya.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Street Bukit Bintang Fiesta Siap Hebohkan Negeri Jiran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler