Gas Sarin Dan Senjata Biologis

Program Studi Biotechnology – Surya University

Selasa, 25 Februari 2014 – 12:07 WIB
Foto: livescience.com

Mengenal Gas Sarin

Sarin atau GB, adalah senyawa organoposphorous dengan formula (CH3)2CHO]CH3P(O)F. Ia adalah cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau yang digunakan sebagai senjata kimia dengan efek ekstrim yang berpotensi sebagai perusak sistem saraf (nerve agent). Gas Sarin ini telah diklasifikasi sebagai “Senjata Pembunuh Massal” pada Resolusi PBB 687. Produksi dan penyimpanan Gas Sarin ini telah dilarang oleh Chemical Conventions Weapon pada tahun 1993 yang mana ia diklasifikaskan kepada zat kimia level 1.

Mekanisme kerja gas Sarin ini mirip seperti insektisida yang umum digunakan, seperti Malathion. Dalam term aktivitas biologis, ia mirip insektisida karbamat seperti Sevin dan obat-obatan pyridostigmine, neostigmin, dan physostigmine. Layaknya perusak sistem saraf lainnya, Sarin menyerang sistem saraf.

Secara khusus, Sarin merupakan inhibitor potensial dari enzim acetylcholinesterase, yaitu protein yang menurunkan neurotransmitter asetilkolin setelah dilepaskan ke celah sinaptik. Pada vertebrata, asetilkolin adalah neurotransmitter yang digunakan pada sambungan neuromuskuler (sambungan saraf antar otot-otot), di mana sinyal tersebut dikirimkan antara neuron dari sistem saraf pusat serat-serat otot. Biasanya, asetilkolin dilepaskan dari neuron untuk merangsang otot, setelah itu terdegradasi oleh acetylcholinesterase, yang memungkinkan otot untuk rilex (tidak bekerja). Sebuah penumpukan asetilkolin di celah sinaptik, karena penghambatan kolinesterase, yang mana neurotransmitter terus bertindak pada serat otot, sehingga setiap impuls saraf secara efektif terus-menerus disalurkan. Kematian biasanya akan terjadi sebagai akibat dari asfiksia (sesak nafas) karena ketidakmampuan fungsi otot-otot yang terlibat dalam pernapasan.

Sarin adalah zat yang memiliki volatilitas tinggi (cairan yang dapat dengan mudah berubah menjadi gas), sangat mirip dengan gas saraf lainnya. Menghirupnya sangat berbahaya, dan bahkan uapnya dapat dengan mudah menembus kulit. Pakaian seseorang dapat melepaskan sarin sekitar 30 menit setelah melakukan kontak dengan sarin yang mana ia dapat terpapar pada orang lain. Orang yang menghirup dosis yang tidak berbahaya, akan tetapi ia tidak disegerakan mendapat pengobatan yang cukup, dapat menderita kerusakan saraf permanen.

Bahkan pada konsentrasi rendah pun, Sarin dapat berakibat fatal, kematian akan terjadi satu menit setelah menghirup satu dosis yang berbahaya kecuali antidote seperti atropine dan pralidoxime cepat diberikan kepada korban. Sarin diperkirakan 500 kali lebih beracun daripada sianida. Gejala awal dari terkena sarin adalah hidung meler, sesak di dada dan penyempitan pupil mata. Segera setelah itu, korban memiliki kesulitan bernapas dan mengalami mual dan terus menerus keluar air liur. Sehingga korban terus kehilangan kontrol fungsi tubuh, para korban muntah, buang air besar dan buang air kecil. Fase ini diikuti oleh pengejangan dan sentak-menyentak. Pada akhirnya, korban menjadi koma dan mati lemas dalam serangkaian kejang-kejang hebat.

Gas sarin diketemukan oleh Dr. Gerhard Schrader dari Jerman dan dikembangkan sebagai pestisida di Jerman pada tahun 1938. Tetapi selama Perang Dunia II, ilmuwan perang Nazi menyadari bahwa mereka bisa menggunakan bahan kimia ini menjadi senjata kimia. Namun, karena pertimbangan efek yang sangat bahaya, zat ini tidak digunakan dalam PD II itu.

Sarin terkenal setelah digunakan oleh rezim Saddam Hussein kepada ribuan warga Kurdi di Kota Irak utara, Halabja pada tahun 1988. Diperkirakan 5.000 orang tewas.

Pada April 1988, Irak juga menggunakan gas ini untuk melawan tentara Iran. Gas inilah yang membantu Irak mengambil alih Semenanjung al-Faw.

Pada 1994, sebuah sekte di Jepang, Aum Shinrikyo menggunakan senyawa ini di Matsumoto, Nagano. Menyebabkan kematian 8 orang dan melukai 200 lainnya. Sekte ini kembali menggunakan gas ini di Tokyo Metro pada 1995 dan menewaskan 13 orang.


Pengaruh Bioteknologi dalam Kemajuan Senjata Biologis 

Senjata biologis sering disebut sebagai “senjata nuklir orang miskin”. Biaya maupun teknologi yang diperlukan untuk membuat senjata biologis jauh lebih rendah dan mudah dibanding senjata nuklir atau kimia. Walaupun demikian, efek penghancuran massa-nya tidak kalah hebat dibanding kedua senjata tadi. Menurut perhitungan Office of Technology Assessment di Konggres Amerika pada tahun 1993, 100 kg spora Bacillus anthracis yang disebarkan di atas ibukota Washington bisa menimbulkan korban 3 juta jiwa. Dalam kenyataannya, penyebaran bakteri serupa dari instalasi pembuatan senjata biologis Rusia di kota Yekaterinburg pada tanggal 2-3 April 1979 telah menelan korban tewas ‘puluhan ribu jiwa’ di daerah sekitarnya menurut laporan Union for Chemical Safety, walau laporan resmi pemerintah hanya 66 orang (Graeves, 1999). 

Berbeda dengan senjata nuklir, senjata biologis punya banyak jenis. Walaupun senjata kimia juga mempunyai banyak jenis (seperti gas sarin, gas VX, sianida dan sebagainya), karena senjata biologis menggunakan agen hayati seperti virus dan bakteri, jumlahnya cenderung bertambah dengan munculnya berbagai macam penyakit infeksi fatal baru seperti virus Ebola, virus Lassa dan lain-lain. Namun demikian, agen yang benar telah dipakai sebagai senjata biologis adalah bakteri yang telah lama dikenal manusia, mudah didapatkan di alam dan tidak sulit penanganannya. Bacillus anthracis, penyebab penyakit anthrax adalah pilihan utama dan telah terbukti dipakai dalam kejadian di Amerika baru-baru ini maupun coba dibuat di Rusia serta Irak. Selain itu, bakteri yang mematikan dan tercatat sebagai agen senjata biologis adalah Yersinia pestis penyebab penyakit pes, Clostridium botulinium yang racunnya menyebabkan penyakit botulism, Francisella tularensis (tularaemia) dan lain-lain. Di lain pihak, karena bakteri-bakteri patogen itu sudah dikenal lama, pengobatannya sudah diketahui dengan berbagai antibiotika dan pencegahannya dapat dilakukan dengan vaksinasi. 

Yang sebenarnya lebih mengerikan adalah senjata biologis dengan agen yang telah direkayasa secara bioteknologi sehingga tahan antibiotika, lebih mematikan, stabil dalam penyimpanan dan sebagainya. Yang paling mudah adalah rekayasa untuk sifat resistensi terhadap antibiotika. Sifat seperti ini biasanya hanya ditimbulkan oleh kumpulan gen sederhana atau bahkan gen tunggal, sehingga mudah dipindahkan dari satu jenis bakteri ke bakteri lain. Teknologi ini juga telah menjadi standar dalam setiap eksperimen biologi molekuler. Bacillus anthracis yang dapat dimatikan dengan antibiotika jenis Penicillin dengan mudah dapat dibuat resisten dengan men-transfer gen enzim lactamase. Biopreparat, jaringan instalasi pembuatan senjata biologis di Rusia, dikabarkan telah merekayasa bakteri penyebab pes dengan resistensi terhadap 16 jenis antibiotika. 

Metode rekayasa lain yang memungkinkan adalah dengan teknologi yang disebut “evolusi yang diarahkan” (directed evolution). Metode ini dikembangkan pertama kali tahun 1994 oleh Dr. Willem Stemmer peneliti di perusahaan bioteknologi, Maxygen yang berbasis di kota Redwood, California. Metoda yang berdasarkan pada pertukaran fragmen DNA secara acak, atau disebut dengan istilah DNA shuffling, ini pertama kali diterapkan pada gen tunggal yang mengkode sebuah protein. Namun kemudian dikembangkan untuk level yang lebih besar, yaitu kumpulan gen sampai genom. Stemmer yang saat ini menjabat wakil presiden perusahaan tersebut telah berhasil merekayasa bakteri Escherichia coli yang memiliki resistensi terhadap antibiotika Cefotaxime, 32 ribu kali lebih tinggi. Pengetahuan saat ini terhadap sekuen lengkap genom berbagai bakteri patogen seperti penyebab TBC, kolera, lepra dan lain-lain, akan lebih memudahkan rekayasa bakteri dengan daya bunuh yang lebih hebat, menggunakan metoda ini. 

Walaupun dua cerita di atas baru sebatas skenario, tapi bukan lagi sebuah impian. Hasil penelitian tim peneliti dari CSIRO-Australia yang dipimpin oleh Dr. Ronald J. Jackson yang dipublikasikan di Journal of Virology edisi Februari 2001, memberikan gambaran yang jelas. Tim peneliti itu melakukan rekayasa genetika terhadap virus mousepox untuk mengkontrol fertilitas tikus. Virus ini tidaklah begitu berbahaya, namun ketika keduanya juga mensisipkan gen protein interleukin-4, mousepox tersebut menjadi sangat mematikan. Padahal tujuannya hanyalah untuk meningkatkan efisiensi virus menurunkan kesuburan tikus dengan memperbanyak produksi antibodi terhadap sel telurnya sendiri. Hasil yang diluar dugaan ini menggemparkan masyarakat ilmiah karena virus mousepox merupakan kerabat dekat virus smallpox penyebab penyakit cacar. Dapat dibayangkan teknologi ini sangat mungkin diterapkan kepada virus cacar yang menduduki peringkat pertama dalam tingkat kebahayaannya sebagai senjata biologis. 

Melarang Senjata Biologis 

Perjanjian di tingkat internasional yang melarang penggunaan senjata biologis dimulai sejak Geneva Protocol tahun 1925. Akan tetapi, sejarah memperlihatkan bahwa pengembangan senjata biologis tetap berlanjut. Salah satu contoh yang terdokumentasi adalah penggunaan senjata biologis oleh tentara Jepang dalam perang dunia ke-2 di Cina. Untuk itu, pada tahun 1972 disepakati perjanjian Biological and Toxin Weapon Convention (BTWC) yang disponsori oleh PBB. Dalam perjanjian ini, lebih ditegaskan lagi mengenai “pelarangan dalam pengembangan, pembuatan dan penyimpanan segala jenis senjata biologis”. Sampai saat ini tak kurang dari 140 negara telah menandatangi perjanjian ini, termasuk Indonesia, Amerika, dan Rusia. 

Akan tetapi kelemahan utama BTWC adalah tidak adanya kesepakatan bersama untuk pengawasan dan pembuktian, sehingga perjanjian ini mirip “singa tanpa gigi”. Rusia dan Irak terbukti mengembangkan senjata biologis walaupun ikut menandatangani persetujuan tersebut. Hal ini mendorong dibentuknya grup Ad Hoc pada tahun 1995 untuk membuat protokol inspeksi dan pembuktian di lapangan. Pada awalnya, Amerika mendukung penuh kerja panitia Ad Hoc itu melalui pernyataan Presiden Clinton tahun 1998. Akan tetapi, di akhir protokol tersebut hampir selesai, sikap Amerika dibawah pemerintahan Presiden Bush berbalik total dengan tidak hanya menolak protokol itu tapi juga mengancam akan keluar dari perjanjian. Sikap ini mengingatkan pada langkah Amerika keluar dari perjanjian Kyoto mengenai pengurangan emisi gas karbon dioksida atau perjanjian peluru kendali antar benua. 

Alasan utama yang dikemukakan oleh Amerika pada bulan Juli 2001 lalu adalah ketidak sukaannya terhadap inspeksi yang bersifat rutin atau mendadak kepada segala instalasi militer, akademik ataupun industri yang berhubungan dengan persenjataan ini, yang mungkin menyebabkan bocornya rahasia perdagangan. Selain itu, Amerika khawatir protokol yang ada, dapat membahayakan perdagangan senjata dan teknologi terkait. Seperti dilaporkan jurnal Nature Biotechnology, sampai saat ini Amerika adalah peng-ekspor teknologi terkait, paling besar di dunia. Pada tahun 1994 saja, ada 531 lisensi yang dijual ke luar negeri. Kebijakan penolakan ini didukung kuat oleh asosiasi industri farmasi Amerika (PHRMA). 

Di lain pihak, Amerika tengah memperkuat kesiapan di dalam negeri terhadap serangan senjata biologis. Terungkapnya program rahasia Rusia dan Irak serta pembuatan dan penyebaran bakteri Bacillus anthracis oleh aliran agama sesat Aum Shinrikyo di Jepang tahun 1995, telah memicu hal itu. Tahun 1999, Konggres Amerika telah mengalokasikan dana 111 juta dolar bagi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk memperkuat sistem pendeteksian dini dan pengobatan terhadap bahaya senjata biologis (Khan, 2000). Berkaitan dengan itu pada bulan April 2000, CDC telah mengeluarkan rekomendasi untuk langkah-langkah strategis menghadapi serangan senjata biologis dengan membentuk jaringan laboratorium di seluruh Amerika. Tidak hanya pada tingkat rakyat sipil, Amerika juga telah mempersiapkan diri pada kekuatan militernya. Misalnya dengan pemberian vaksin anthrax pada seluruh personel militernya (Fidler, 1999). 

Pada akhirnya, pengesahan BTWC yang sedianya akan dilakukan pada pertemuan 5th Review Conference di Jenewa, Swiss pada tanggal 19 November – 7 Desember 2001 yang lalu, gagal. Menurut Presiden dari Konferensi tersebut, Tibor Toth dari Hungaria, sebenarnya sudah 98% jalan menuju penandatangan BTWC dilalui dengan mulus. Banyak pihak, menilai penolakan Amerika adalah penyebab utama kegagalan ini. Pada akhirnya diputuskan untuk mengundur kesepakatan setahuan lagi. [***]

BACA JUGA: Heterochromia Iridum

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Menteri Dukung UKM Di Pasar Global


Redaktur : Wahyu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler