Gawat, Kemampuan Literasi Sarjana Indonesia di Bawah Lulusan SMP di Denmark

Kamis, 24 Juni 2021 – 19:32 WIB
WEEI 2019 banyak diminati mahasiswa, dosen, akademisi. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan Praktisi Pendidikan Muhammad Nur Rizal mengingatkan kembali data dari Indonesia Corruption Watch yang menyebut 40 persen sampai 50 persen anggaran pendidikan menghilang sebelum sampai kepada anak-anak.

Penyebab bocornya anggaran tersebut ditengarai salah satunya karena pengelolaan pendidikan yang teknokratis dan cenderung programmatic.

BACA JUGA: Peringati Hari Buku Nasional, GPMB Konsisten Dalam Membudayakan Minat Baca dan Literasi

"Pengelolaan pendidikan seperti ini sangat terikat dengan persoalan administrasi dan anggaran," kata Nur Rizal dalam rapat bimbingan teknis Tim Strategis Pendampingan SMK-GSM antara GSM, Ditjen Diksi Kemendikbudristek, Balai Besar dan beberapa SMK pilihan di Jakarta, Rabu (23/6).

Selain itu, lanjutnya, berbagai inisiatif program pendidikan umumnya berasal dari pakar yang bersifat top down menyebabkan sering kehilangan konteks dengan kondisi atau tantangan di lapangan.

BACA JUGA: Zulfikar: Anggaran Pendidikan Meningkat, Tetapi Literasi Tetap Rendah, Apa yang Salah?

Padahal, pengelolaan pendidikan selama ini terbukti tidak memberikan hasil belajar yang baik dan berkualitas berdasarkan data PISA dan PIAAC. 

“Sebanyak 69 persen tingkat literasi penduduk dewasa Jakarta berumur 23-65 tahun berada pada atau di bawah level 1 dari 5 level alias paling bawah," kata Nur Rizal mengutip data dari OECD untuk tes PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies).

BACA JUGA: Habib Rizieq Dikawal Barracuda Brimob, Suasana Tegang, Ada yang Membawa Anak Panah

Nur Rizal yang juga founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini menambahkan, data yang sama menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa SMA dari tes PISA (Programme for International Student Assessment) juga menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca siswa Indonesia 70 persen berada di kompetensi minimum. 

“Artinya, tidak ada kenaikan kemampuan literasi ketika siswa sekolah di SMA dengan ketika telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini mengakibatkan OECD memprediksi bahwa lulusan literasi sarjana kita berada di bawah lulusan SMP di Denmark.” lanjut Nur Rizal. 

Prediksi serupa, kata Nur Rizal, disampaikan profesor dari Harvard University Lant Pritchett bahwa Indonesia membutuhkan 128 tahun untuk mengejar ketertinggalannya. 

"Data tersebut merefleksikan bahwa Indonesia sedang mengalami kebuntuan dalam reformasi pendidikannya," sergahnya. 

Belum lagi, kata Nur Rizal, banyak guru atau stakeholder di lapangan yang pro-status quo dan antiperubahan. Kalaupun ada inisiatif terobosan program baru, periodenya hanya seumur anggaran yang tersedia.

“Artinya, persoalan bukan pada alokasi anggaran pendidikan melainkan pada penggunaannya yang belum optimal," ujarnya.

Dia membandingkan dengan Vietnam yang memiliki 20 persen APBN untuk alokasi anggaran pendidikan seperti Indonesia. Namun, Vietnam mampu menghasilkan kemampuan literasi, numerasi, dan saintifik yang jauh di atas Indonesia. 

Melihat situasi ini, Nur Rizal menyampaikan perlunya model pengelolaan transformasi pendidikan yang lebih relevan dengan keadaan zaman. Model yang diperkenalkan oleh GSM dalam acara bimtek tersebut adalah transformative change making. 

"Teori ini bertujuan untuk membentuk aliansi baru yang transformatif untuk memobilisasi sumber daya dalam menyelesaikan reformasi yang terganggu," terangnya.

Teori ini, tambah Nur Rizal, menekankan pentingnya narasi yang bisa digunakan sebagai instrumen pencipta perubahan. Narasi itu terdiri dari visi atau focal point yang akan diubah, narasi kompas perubahan GSM dan kisah sukses dari guru-guru setelah mengadopsi GSM. (esy/jpnn)

 

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler