Gedung Singa di Jembatan Merah Ternyata Karya Berlage

Senin, 15 Oktober 2018 – 20:53 WIB
Gedung Singa di Surabaya. FOTO : Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Tampilan boleh tua. Namun, tembok tebal­nya menepis anggapan bahwa bangunan itu rapuh. Tak ada tembok yang retak. Meski usianya 115 tahun. "Saya suka gedung ini karena dilengkapi bungker arsip. Mirip rumah-rumah di Belanda," kata Alexander Nobel saat menemani Jawa Pos menelusuri Gedung Singa pada Rabu (10/10).

Bangunan tersebut menyimpan banyak hal menarik. Salah satunya adalah bungker arsip. Ruang tersebut dirancang tanpa pintu. Hanya bisa diakses dari lantai 2. Satu-satunya akses keluar-masuk adalah tangga di lantai 2. "Ini dirancang untuk tahan kebakaran. Tujuannya, semua arsip rahasia aman," jelas Nobel yang merupakan warga negara Belanda.

Akses bungker dilengkapi dengan mesin katrol. Memasukkan dan mengeluarkan barang tidak harus dengan naik-turun tangga. Tapi, diangkat dengan menggunakan katrol besi.

Berdasar catatan dinas perpustakaan dan kearsipan (dispusip), Gedung Singa selesai dibangun pada 1903. Bangunan seluas 550 meter persegi itu ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1998. Di awal pendirian, gedung tersebut dipakai untuk kantor Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente (Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hari Tua) milik Belanda.

Bangunan yang sempat disewa PT Aperdi Djawa Maluku itu dirancang Hendrik Petrus Berlage, seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Karena itulah, arsitekturnya kental dengan gaya kolonial. Mulai tembok tebal, bercat putih, jendela lebar, hingga kamar yang luas.

Pengurus Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jatim Hermawan Dasmanto menjelaskan, Berlage cukup kondang di Belanda. Karya arsitek kelahiran 1856 itu sering menjadi objek penelitian. Selain di Amsterdam, bangunan yang dirancang Berlage hanya ada di Jakarta dan Surabaya. "Gedung Singa salah satu karya Berlage yang paling apik. Ada ornamen-ornamen yang menghiasinya," kata Hermawan.

Salah satu yang menjadi daya tarik utama adalah dua patung singa bersayap di samping pintu masuk utama. Patung tersebut sering mencuri perhatian para turis Eropa. Pria 38 tahun itu menyebut, dua patung tersebut dipahat oleh seniman asal Belanda. Namanya Joseph Mandes Da Costa. Fungsinya mirip Dwarapala pada candi atau Ciok Say pada kelenteng. Yakni, simbol penjaga bangunan agar aman.

Hingga kini, singa bersayap itu masih utuh. Warnanya abu-abu. Konon, singa-singa tersebut cukup menakutkan saat dipandang pada malam.

Menurut Hermawan, keunikan lainnya Gedung Singa adalah lukisan pada porselen di tembok bagian depan. Lukisan itu terpasang di atas pintu masuk. Tingginya sekitar 5 meter. "Itu karya seniman Jan Toorop yang juga keturunan Belanda," tambah Hermawan.

Jan Toorop melukis seorang raja Jawa yang duduk di tengah dengan tangan dan sayap mengembang. Ada garis pada dada yang membentuk huruf A (mungkin inisial Algameene, nama perusahaan asuransi pada zaman Belanda). Di sebelah kanannya ada seorang perempuan berpakaian gaya Eropa yang sedang mengangkat bayi berambut pirang.

Ada juga gambar perempuan di samping kiri raja. Perempuan bersanggul dengan pakaian adat Jawa itu sedang menimang bayi. Bedanya, bayi tersebut berambut hitam. "Penilaian saya, seniman ingin menonjolkan kesetaraan antarbangsa. Masyarakat Indonesia maupun asing sama saja," tutur Hermawan.

Gedung tersebut kini tidak dipakai. Bangunan tersebut dibiarkan kosong. Terakhir dimanfaatkan pada awal 2017 oleh PT Aperdi Djawa Maluku. Meski begitu, selalu ada orang yang menjaganya. (hen/c6/eko)

BACA JUGA: Ini Rahasia Kenapa Gedung Kuno Selalu Adem


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler