Gegara Cipta Kerja, Jokowi dan Puan Maharani Diberi Gelar Penjahat Konstitusi

Rabu, 07 Oktober 2020 – 15:19 WIB
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyerahkan laporan hasil kerja Panja RUU Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani pada rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: Ricardo/JPNN.COM

jpnn.com, JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Rancangan Undang-undang Omnibus Law usulan pemerintahan Joko Widodo yang disahkan DPR RI pada Selasa (5/10) merupakan kejahatan serius terhadap konstitusi. Sebanyak 110 organisasi yang bergerak di pertanian rakyat di bawah KPA pun menyatakan sikap.

Menurut mereka, ada sepuluh masalah fundamental pelanggaran konstitusi dalam Undang-undang Omnibus Law. KPA pun menyatakan 5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi.

BACA JUGA: Soal Omnibus Law UU Cipta Kerja, Hasan Basri: Kami Sudah Maksimal Perjuangkan Aspirasi Daerah

"Landasan hukum membangun sistem ekonomi-politik ultraneoliberal di Republik Indonesia telah paripurna. Meski publik luas menyatakan penolakannya, dalam tempo sesingkat-singkatnya hanya delapan bulan sejak presiden menyerahkan Draft RUU Cipta Kerja kepada DPR, akhirnya mayoritas fraksi menyepakati lahirnya UU Cipta Kerja," Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam keterangan yang diterima, Rabu (6/10).

Dia melanjutkan, gerbang kapitalisme agraria resmi dibuka lebih lebar oleh pemerintah setelah mengantongi izin formal dari DPR RI. Kedaulatan agraria rakyat dan bangsa resmi dipangkas. Karena itu, 5 Oktober 2020 menjadi Hari Kejahatan Terhadap Konstitusi oleh DPR RI yang seharusnya menjadi penjaga dan penegak konstitusi.

BACA JUGA: Luar Biasa! Azis Syamsuddin Dapat Puluhan Ribu Komentar Usai Pimpin Paripurna RUU Cipta Kerja

Sebanyak 79 UU dan 186 pasal rampung dibahas. DPR RI menutup mata dan telinganya dengan tetap maraton secepat kilat merumuskan landasan hukum bagi kemudahan berbisnis badan-badan usaha melalui UU Omnibus Law. Mulusnya proses di DPR tidaklah mengherankan karena mayoritas Anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras dari badan-badan usaha negara atau swasta.

Berdasarkan naskah RUU Omnibus Law final yang diterima KPA per 5 Oktober 2020, dapat dilihat orientasi ideologi ekonomi-politik yang terkandung dalam UU tidak berubah. Disahkannya UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa sehingga lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.(tan/jpnn)

BACA JUGA: UU Cipta Kerja Pangkas Pesangon jadi 25 Kali Upah, Begini Penjelasan Hergun

Berikut 10 masalah fundamental Undang-undang Omnibus Law berbasis agraria:

1. Menabrak konstitusi

Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat (3) mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa. Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, di antaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2. Tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan

Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen “norma baru” menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat dicopy-paste atau diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja. Inilah bentuk kolutif birokrat dalam proses legislasi. Tanpa landasan hukum yang diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan panitia negara. Para perumus UU Cipta Kerja mengabaikan UUPA sebagai terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945.

3. Asas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali

Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960 dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah. Seolah pemerintah pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL) atau Hak Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. Satu, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada pihak ketiga. Lalu dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Selain itu, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll, sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta). Empat, perpanjangan dan pembaruan hak dapat dilakukan sekaligus. Inilah bentuk kejahatan terhadap Konstitusi.

4. Bank tanah melayani pemilik modal, sarat monopoli dan spekulasi tanah

Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL. Meski disebut sebagai lembaga nonprofit, namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ketiga (swasta) dan utang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya, yang belum diakui secara de jure oleh sistem negara. Pengalokasian tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor. BT juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah.

5. Penyesatan publik tentang reforma agraria dalam bank tanah

Agenda Reforma Agraria (RA) diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspirasi yang dijawab UU Cipta Kerja. Ini bentuk penyesatan kepada publik. Semakin memperjelas ketidakpahaman yang fatal para birokrat dan legislator tentang RA. Reforma Agraria sebagai jalan pemenuhan hak berbasiskan keadilan sosial untuk kaum tani, buruh tani, dan rakyat miskin tak bertanah (landless) tidak bisa diletakan dalam business process pengadaan tanah bagi kepentingan investor. Tujuan social justice, perbaikan ketimpangan dan transformasi ekonomi bersama dalam proses Reforma Agraria tidak bisa dicampuradukan dengan orientasi dan tujuan-tujuan ekonomi liberal dalam BT. Reforma Agraria dibawa-bawa sebagai pemanis meminimalisir penolakan Gerakan RA terhadap rencana BT sejak penolakan 2019.

6. Ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil dilegitimasi

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah dan perusahaan memiliki kewenangan untuk secara sepihak menentukan lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat. Otomatis, UU akan memperparah penggusuran, ketimpangan dan konflik agraria sebab mempercepat dan mempermudah proses perampasan tanah (land grabbing) demi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, energi, agribisnis, pariwisata, dan kehutanan. UU juga menghapus mekanisme perlindungan terhadap lahan pertanian pangan dengan merubah UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Petani dipaksa angkat kaki dari tanah pertaniannya jika pemerintah menetapkannya sebagai obyek pembangunan.

7. Alat hukum baru pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk mengkriminalisasi rakyat

Petani, masyarakat adat dan pejuang agraria kembali di ujung tanduk pemenjaraan akibat klaim kawasan hutan (Negaraisasi Hutan) kembali dikukuhkan. UU ini mengingkari putusan MK No. 95/2014 terkait UU Kehutanan, sehingga pemerintah dan perusahaan bisa memenjarakan rakyat yang menguasai dan memanfaatkan hasil hutannya. UU Cipta Kerja juga memasukan larangan bagi petani dan masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di atas wilayah adatnya.

8. Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara

UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan minimal tutupan hutan 30 persen. Berbanding terbalik untuk kepentingan RA, dimana pemerintah selalu menggunakan dasar 30 persen tersebut. Petani dan masyarakat adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian konflik melalui izin akses perhutanan sosial. Klaim DPR tentang UU menjadi jalan penyelesaian konflik sama sekali tak terbukti. Sebab hak petani dan kampung-kampung dalam klaim PERHUTANI dan HTI tetap diabaikan.

9. Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal

UU Cipta Kerja melarang petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.

10. Diskriminasi petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama, dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan

UU Cipta Kerja merubah UU Pangan dengan cara menghapus frasa petani, nelayan dan pembudidaya ikan. Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan. Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. Orientasi bisnis pertanian skala besar ini rentan mendiskriminasi sentra-sentra produksi pertanian dan pangan dari petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama.

 

Oleh karena itu, atas masalah-masalah fundamental di atas, maka KPA menolak Undang-undang Omnibus Law. KPA mengatakan UU ini bukan semata masalah klaster ketenagakerjaa atau sesederhana janji job creation seperti yang diangung-angungkan dan dipromosikan DPR dan pemerintah.

 

Sejatinya kaum tani, masyarakat agraris di pedesaan bukan dijadikan obyek eksploitasi pembangunan bercorak kapitalistik, hanya sebagai sumber cadangan pekerja bagi para pemilik modal.

 

Undang-undang ini menunjukkan pergeseran ideologi bangsa, pergeseran politik hukum agraria nasional. Sebab banyak materi UU yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960.

 

Ada persoalan ekonomi politik Indonesia yang dirancang begitu liberal, dari hulu ke hilir pemilik modal lah yang kelak menyetir orientasi pembangunan ke depan. Akibatnya banyak rakyat akan kehilangan sumber mata pencahariannya. Dipreteli hak-hak dasarnya akibat liberalisasi sumber-sumber agraria.

 

Meski demikian, salah satu langkah konstitusional yang akan ditempuh KPA adalah mengajukan judicial review atas UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi.

KPA pun mengajak KPA di 23 provinsi, mari jaga dan perkuat wilayah rakyat dari ancaman kapitalisme agraria. Perkuat praktik-praktik Reforma Agraria atas inisiatif rakyat dari bawah agar makin kokoh menghadapi ancaman perampasan tanah. Mengajak seluruh elemen gerakan sosial untuk mendorong persatuan gerakan nasional menolak UU Cipta Kerja. 


Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler