Aturan pembatasan pergerakan warga, atau 'lockdown', selama pandemi COVID-19 telah menyebabkan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Asia, menurut sebuah laporan baru.
Laporan 'Because We Matter', yang dirilis oleh organisasi Plan International Australia dan Save the Children, menunjukkan adanya peningkatan pelecehan di dunia maya, di mana anak-anak lebih terpapar pada 'cyberbullying', konten berbahaya, dan eksploitasi seksual selama masa 'lockdown' atau pembatasan pergerakan.
BACA JUGA: Ya Ampun, Persentase Kematian Pasien COVID-19 Indonesia Lebih Tinggi dari Dunia
Dampak ekonomi dari COVID-19 juga dikhawatirkan dapat mengarah pada peningkatan eksploitasi anak dan perkawinan anak, padahal selama beberapa tahun terakhir sudah mengalami kemajuan.
"Kekerasan terhadap anak-anak, dan khususnya anak perempuan, telah lama menjadi kondisi darurat yang tak tedengar dan sekarang mengancam akan meningkat secara dramatis," tulis laporan itu.
BACA JUGA: Agung Laksono Senang Ada Duet Airlangga-Erick Thohir
Photo: Ada kekhawatiran jika tekanan ekonomi selama pandemi virus corona membuat kawin paksa di kalangan anak-anak, seperti di Bangladesh, akan naik. (Save the Children: Tom Merilion)
Kekerasan di rumah tangga juga dilaporkan meningkat saat pandemi virus corona, seperti yang ditemukan oleh Kelompok Perlindungan Anak di Kediri, Jawa Timur setelah mendapat banyak laporan dari warga.
BACA JUGA: Sosialisasikan Pencegahan COVID-19 dengan Cara Unik, Aiptu Hendri Bikin Bangga Polri
"Saya telah menerima banyak keluhan dari anak perempuan, anak laki-laki, dan anak-anak muda tentang kesulitan mereka di rumah seperti stres, eksploitasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pernikahan anak," ujar Suci, ketua Kelompok Perlindungan Anak di Kediri, Indonesia, kepada penulis laporan tersebut.
"Ketimpangan yang kita lawan selama ini muncul kembali."
Sementara di Filipina, jumlah pelecehan seksual online yang dilakukan terhadap anak-anak naik lebih dari tiga kali lipat selama pandemi, menurut Departemen Kehakiman Filipina.
Antara awal Maret dan akhir Mei, tercatat 279.166 kasus pelecehan seksual anak online, dibandingkan dengan 76.561 pada periode waktu yang sama tahun sebelumnya.
Di Thailand, kasus-kasus kekerasan rumah tangga yang tercatat hampir dua kali lipat antara Februari dan April, menurut angka Pemerintah Thailand. Photo: Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa di masa pandemi perempuan menanggung beban domestik ganda. (Supplied: ANTARA FOTO/ Irsan Mulyadi)
Angka KDRT di Indonesia naik
Kerentanan perempuan terhadap kekerasan yang meningkat selama pandemi COVID-19 di Indonesia dibuktikan dengan lonjakan laporan kekerasan terhadap perempuan antara pertengahan Maret - April di sejumlah wilayah.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sepanjang 2 Maret - 25 April 2020, terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang.
Rifka Annisa, lembaga advokasi masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang berbasis di Yogyakarta juga menemukan tren kenaikan.
Sebelum pandemi, yakni Januari 2020, mereka menerima 40 aduan, kemudian 41 aduan di bulan Februari, dan 33 aduan di bulan Maret.
Namun sejak bulan April, sebulan setelah COVID-19 masuk Indonesia dan anjuran diam di rumah diberlakukan, jumlah aduan kekerasan menjadi 67 dan di bulan berikutnya naik menjadi 98. Baca juga artikel terkait: New normal di Indonesia: Kasus penularan naik, tes corona jadi ladang bisnis Angka kematian di Indonesia sudah lebih dari 10 ribu jika dihitung berdasarkan pedoman WHO Pemerintah Indonesia dianggap menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani virus corona Alasan tingginya kematian tenaga kesehatan di Indonesia di tengah pandemi virus corona
Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari menceritakan salah satu kasus yang ditanganinya menimpa seorang ibu yang suaminya sudah sering bertindak kasar sejak sebelum pandemi.
Namun, selama ini sang ibu masih bisa menahan diri karena intensitas bertemu di rumah relatif rendah.
"Ketika pandemi sang suami kehilangan pekerjaan dan tinggal di rumah terus, anaknya juga belajar di rumah. Jadi intensitas kekerasannya meningkat," kata Indiah seperti dikutip dari Tirto.
Anak sulungnya juga semakin berani melawan sang bapak sehingga "hampir setiap hari bertengkar dan terjadi pemukulan." Photo: Anjuran diam di rumah telah membuat korban KDRT semakin sering berinteraksi dengan pelaku kekerasan dan sulit meminta tolong. (ABC News: Danielle Bonica )
Menurut Indiah, ibu tersebut, selain mengalami kekerasan fisik, juga tertekan secara psikis. Apalagi, ia masih harus bekerja sebagai tulang punggung keluarga.
Menurut Komisi Nasional Perempuan, akar masalah Kekerasan Dalam Rumat Tangga adalah relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan.
Indonesia yang masih kental dengan kultur patriaki membuat pria cenderung memegang kontrol dan kuasa atas anggota keluarga lain, sehingga menempatkan perempuan berada di bawahnya.
Seperti kasus yang disampaikan Rifka Annisa, pembatasan pergerakan selama pandemi COVID-19 membuat perempuan "terperangkap" semakin lama dengan pelaku kekerasan dan "tidak dapat mengakses perlindungan" Kami menjawab pertanyaan seputar virus corona: Apakah Australia siap dengan gelombang kedua virus corona? Apa penjelasan di balik angka kematian di Indonesia? Siapa pasien pertama COVID-19 yang mengubah kehidupan dunia?
Mempengaruhi kesehatan mental
Kristin Diemer adalah peneliti senior di University of Melbourne yang telah bekerja pada inisiatif data kNOwVAW untuk mengukur prevalensi kekerasan berbasis gender di Asia dan Pasifik.
Kristin mengatakan orang-orang yang tinggal di desa-desa terpencil di negara-negara seperti Myanmar, Vietnam dan Filipina mengalami isolasi yang diperparah oleh pandemi.
"Lalu ketika mereka menjalani lockdown, mereka tidak punya apa-apa lagi. Tidak mungkin mereka bisa lolos," katanya.
CEO Plan International Australia, Susanne Legena mengatakan situasi di kawasan Asia Pasifik "sangat berbahaya" dan mendesak tindakan cepat dari pemerintah.
"Tekanan ekonomi pada keluarga dari pandemi juga meningkatkan potensi anak perempuan dieksploitasi karena alasan ekonomi, baik melalui pernikahan paksa di usia dini atau dieksploitasi untuk seks," ujarnya. 'Berserah diri pada alam'
Kenali dampak psikologi pandemi virus corona di Indonesia dan cara mengatasinya.
Laporan lain yang dirilis kemarin oleh UN Women, bagian dari PBB, mengungkapkan bagaimana COVID-19 dapat membalikkan beberapa capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di beberapa negara, termasuk Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Nepal, Filipina, Samoa, Kepulauan Solomon dan Thailand.
Laporan 'Unlocking the Lockdown' yang berfokus pada efek gender dari pandemi menemukan 53 persen perempuan telah kehilangan jam kerja mereka, dibandingkan dengan 31 persen pria.
Perempuan menanggung sebagian besar beban pekerjaan rumah tangga selama lockdown, 66 persen perempuan melihat COVID-19 berdampak pada mereka secara finansial, dibandingkan dengan 54 persen laki-laki.
"Semakin banyak perempuan yang merasa kesehatan mental mereka terpengaruh dan mengalami lebih banyak kesulitan mencari perawatan medis dan mengakses pasokan medis," kata Mohammad Naciri, direktur regional PBB untuk Asia dan Pasifik.
"Data ini sangat penting untuk menentukan tanggapan darurat apa yang harus diambil. Jika tidak, keputusan akan diambil dengan mata tertutup."
Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia hanya di ABC Indonesia
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak PAUD Prestasinya akan Lebih Baik Dibandingkan Langsung SD