jpnn.com, JAKARTA - Kota suci Touba di Senegal tengah berjuang menangani gelombang kedua wabah COVID-19. Saat ini kasus baru terkonfirmasi meningkat hingga tujuh kali lipat menjadi lebih dari 190 kasus, setelah dua pekan terakhir angkanya sangat rendah.
Kini, ketika negara-negara lain di kawasan Afrika Barat seperti Nigeria dan Ghana mulai melonggarkan aturan karantina wilayah untuk kembali membangkitkan kegiatan masyarakat, Senegal justru kembali meningkatkan pembatasan demi mencegah penyebaran virus corona lebih lanjut.
BACA JUGA: Singapura Gunakan Robot Anjing untuk Ingatkan Warganya Agar Jaga Jarak
Pada gelombang pertama Maret lalu, kasus yang muncul di sebuah klaster di Touba memaksa Presiden Macky Sall untuk menutup sekolah dan melarang kegiatan berkumpul keagamaan, menjadikannya salah satu pemimpin negara di wilayah itu yang pertama mengambil langkah tersebut.
Ketika itu, seorang warga Senegal yang baru kembali dari Italia membawa virus corona dan menularkannya kepada 17 orang lain, termasuk balita berusia dua tahun, hanya beberapa pekan sebelum akhirnya gelombang besar kasus pada ribuan jamaah di kota kedua.
BACA JUGA: Update Corona 11 Mei: Ada Penambahan Kasus Positif Covid-19 di DKI
Touba merupakan kota pusat penduduk jamaah Muslim Sufi, dan ada pula yang menyebutnya sebagai "Makkah kecil".
Masjid Agung di kota itu ditutup, sementara di sekitarnya diberlakukan jam malam.
BACA JUGA: Ribuan Kendaraan Langgaran Aturan PSBB Tahap I di Surabaya
Namun di samping sejumlah upaya yang dilakukan, kasus ke- 27 di Touba dikonfirmasi pada 11 April--yang pertama setelah kasus klaster 26 Maret.
Pasien ke- 27 itu tidak mempunyai riwayat pergi ke luar negeri ataupun melakukan kontak dengan pasien positif.
Sejak saat itu, angka kasus COVID-18 di Touba terus bertambah sedikit demi sedikit, sekalipun otoritas setempat telah melibatkan pasukan militer untuk melakukan pengujian COVID-19 dan disinfeksi jalanan dan pasar.
"Barangkali ini adalah bentuk masa bodoh atau bahkan penyangkalan masyarakat terhadap penyakit ini. Ada sebagian dari mereka yang tidak percaya sama sekali," kata dokter kepala di pusat kesehatan Touba, Sylla Mbacke. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fajar W Hermawan