jpnn.com, SURABAYA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan pesan penting di peringatan HUT ke-45 Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI) Jawa Timur, Sabtu (16/9/2023) di Surabaya.
Dia mengajak seluruh anggota FKPPI untuk senantiasa menggelorakan semangat kebangsaan dan nasionalisme berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk masa depan bangsa.
BACA JUGA: Bamsoet: Siapa pun Berusaha Memecah Belah Bangsa akan Berhadapan dengan FKPPI!
Hal tersebut disampaikan LaNyalla dalam Dialog Kebangsaan di peringatan HUT ke-45 FKPPI Jawa Timur yang mengusung tema "FKPPI Mempertahankan Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Emas Tahun 2045", Sabtu (16/9/2023) di Surabaya, Jawa Timur.
"FKPPI sudah jelas, anak dari Purnawirawan TNI-Polri termasuk TNI-Polri yang masih aktif. Prajurit TNI dan Polri pasti memegang teguh Pancasila dan Sapta Marga dalam denyut nadinya. Sehingga putra-putrinya sudah seharusnya terdidik dalam suasana kebatinan yang sama," ujar LaNyalla.
BACA JUGA: Dito Ariotedjo Jadi Menpora, GM FKPPI: Masa Depan Pemuda dan Olahraga di Tangan Tepat
Senator asal Jawa Timur ini mengutip pernyataan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro yang mengingatkan betapa pentingnya semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi.
"Ki Hajar Dewantoro tahun 1928 sudah mengingatkan; Jika anak didik tidak kita ajar dengan kebangsaan dan nasionalisme, maka mungkin mereka di masa depan akan menjadi lawan kita," kata LaNyalla.
BACA JUGA: Konsolidasi Internal HIPWI FKPPI Pacu Semangat Anggota Ciptakan Program Bermanfaat
Karenanya ia mempertanyakan jiwa kebangsaan dan nasionalisme FKPPI jika ada anggotanya yang tidak ingin mempertahankan Pancasila sebagai falsafah dasar negara, atau bahkan rela jika bangsa ini meninggalkan Pancasila demi teori-teori demokrasi liberal ala barat.
"Karena banyak dari generasi muda, bahkan kaum intelektual yang menyederhanakan pandangannya, bahwa sistem demokrasi Pancasila identik dengan Orde Baru. Padahal Sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa tersebut sama sekali belum pernah kita terapkan secara benar. Baik di Era Orde Lama, maupun di Era Orde Baru," kata pria yang lahir di Jakarta dan besar di Surabaya itu.
LaNyalla menjelaskan, sistem yang berasas pada Pancasila itu belum pernah diterapkan di era Orde Lama. Saat itu perjalanan bangsa ini diwarnai dinamika politik yang kuat. Bahkan sempat berganti sistem menjadi negara serikat. Pada akhirnya, melalui Dekrit 1959, Presiden Soekarno menjadikan sistem ini sebagai sistem demokrasi terpimpin.
Begitu pula dengan Era Orde Baru, sistem ini tidak pernah diterapkan secara benar. Meskipun MPR RI adalah lembaga tertinggi negara yang memilih dan memberi mandat presiden, tetapi Presiden Soeharto mampu mereduksi kekuatan MPR sehingga menjelma sebagai kekuatan presiden.
Bukan penjelmaan rakyat yang utuh. Karena partai politik saat itu dikerdilkan. Utusan Daerah disempitkan representasinya, dan Utusan Golongan ditunjuk oleh presiden.
Pada Era Reformasi, masih kata LaNyalla, dengan dalih penguatan sistem presidensial, pemisahan kekuasaan, pendekatan trias politica dan sebagainya, kemudian dilakukan Amandemen Konstitusi pada 1999-2002.
"Amandemen yang dilakukan bangsa ini pada tahun 1999 hingga 2002 telah menghasilkan konstitusi baru, sistem bernegara yang dijalankan sama sekali baru. Dan celakanya, konstitusi baru tersebut telah meninggalkan Pancasila sebagai identitas konstitusi dan norma hukum tertinggi. Karena justru menjabarkan nilai-nilai individualisme dan liberalisme," ungkap pria yang pernah menjadi Ketua Umum PSSI itu.
Pria asli Bugis mengajak semua komponen bangsa untuk kembali ke sistem pemikiran para pendiri bangsa, yakni sistem yang sesuai dengan watak dasar bangsa kepulauan yang super majemuk ini.
"Yaitu sistem yang mengikat antara Proklamasi Kemerdekaan dengan Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, untuk kemudian kita sempurnakan melalui Amandemen dengan teknik Adendum,” ujar LaNyalla.
LaNyalla juga menyampaikan, bahwa dari Dialog Kebangsaan FKPPI Pusat pada 12 September lalu yang disimpulkan oleh Profesor Yudi Latif, telah disepakati bahwa FKPPI Pusat mendukung gerakan untuk kembali ke Fitra Negara Pancasila dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 untuk kemudian dilakukan penyempurnaan melalui Amandemen dengan teknik Adendum.
"Jadi sudah seharusnya FKPPI di Jawa Timur dan FKPPI di seluruh Indonesia mengikuti kesepakatan tersebut. Kita semua harus solid," ajak LaNyalla.
Dalam kesempatan tersebut, LaNyalla juga menyampaikan 5 Proposal Kenegaraan DPD RI. Dalam proposal tersebut, selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN, serta penegakan hukum dan HAM (lebih lengkap lihat grafis di bawah).
Dalam sambutannya, Ketua PD 13 KB FKPPI Jatim Priyo Effendi mengucapkan Terima kasih atas wejangannya. Kata Priyo, LaNyalla merupakan orang yang penuh nasihat, penuh kenangan baginya maupun bagi FKPPI Jatim.
"LaNyalla telah berbuat untuk orang banyak, juga untuk FKPPI. Beliau adalah orang yang konsisten. Bung Nyalla orang lempeng yang sekarang sudah jadi pemimpin. Kita Do'akan makin naik derajatnya. Saya ini bukan hanya kenal lama, juga kenal baik. Beliau jujur, sederhana dan lurus," kenangnya.
Dalam acara Dialog kebangsaan tersebut, hadir pembicara Pengamat Ekonomi-Politik, Dr Ichsanuddin Noorsy, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi, dan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Dalam dialog, Mulyadi mengatakan bahwa 5 proposal kenegaraan yang diusung oleh DPD RI sangat teruji secara akademik.
"Saya salut dengan DPD RI. Mendengarkan aspirasi kami, bayangkan loh, mereka rela melebur jadi perwakilan perseorangan masuk ke dalam kamar DPR, itu karena demi kepastian penjelmaan rakyat. DPD dengan proposalnya adalah solusi yang tepat dan hebat," kata Mulyadi.
Hal senada diungkapkan oleh Ichsanuddin Noorsy. Dia juga setuju dengan semua proposal yang diusung oleh DPD RI. Salah satunya adalah semangat kembali ke UUD 45 naskah asli, MPR nantinya diharap kembali memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, MPR berwenang menetapkan TAP MPR sebagai produk hukum dan menyusun haluan negara sebagai panduan kerja presiden. Di mana MPR pula yang mengevaluasi kinerja Presiden di akhir masa jabatan. Kata Noorsy, persoalan saat ini bukan masalah amandemen UUD 45, melainkan ini soal perubahan yang telah mengganti UUD 45 menjadi UUD 2002. Dan itu mengkhianati Pancasila.
Lebih lanjut Noorsy mengatakan, karena UUD baru tersebut telah menyerahkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan Partai Politik dan Presiden terpilih. Tidak ada lagi penjelmaan rakyat di ruang kedaulatan. Karena adanya hanya di kotak TPS saja. Tidak ada utusan-utusan sebagai bagian dari keutuhan komponen bangsa dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini mau kemana.
Sementara ahli hukum tata negara Refly Harun menilai bahwa negara ini sudah krisis kebangsaan dan sedang tidak baik-baik saja. "Nilai kebangsaan adalah kontrak sosial, nilai yang diambil dari saripati negara kita, jadi jaga saripati negara kita dari kerusakan-kerusakan oleh pihak lain," katanya.
"Untuk hal Amandemen UUD 45, mari kita proses dengan baik dan matang, agar nantinya bisa menghasilkan yang matang juga. Tidak ada yang bisa menjamin Amandemen nanti bisa berjalan dengan baik,” tambah Refly.
LaNyalla didampingi Senator asal Aceh Fachrul Razi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, dan Pegiat Konstitusi, dr Zulkifli S Ekomei.
Sementara di acara tersebut hadir juga Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim Benni Sampirwanto yang mewakili Gubernur Jatim, Anggota DPRD Provinsi Jatim Freddy Poernomo, Pamen Ahli Bidang Idpol Kodam V Brawijaya Kolonel Arhanud Budiono, Kasubag Pesipol RO SDM Polda Jatim, Kompol Yoppy Anggi Krisna, Ketua PD 13 KB FKPPI Jatim Priyo Effendi, dan Ketua Panitia Satria M Adi Pratama.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean