Menurut hasil survei terbaru, sekitar 3700 anak muda generasi Z (Gen Z) pernah membeli barang tiruan sepanjang tahun lalu. Namun, beberapa dari mereka justru menghindari produk palsu atau tiruan karena alasan gengsi dan kualitas. Poin utama: Dua produk tiruan yang paling sering dibeli oleh Gen Z adalah baju, sepatu dan aksesoris Sebanyak 77 persen dari total 4712 responden meyakini bahwa kualitas produk tiruan biasanya tak cukup baik. Ketika Gen Z menimbang antara kemampuan finansial yang mereka miliki dengan penghargaan terhadap merek sebagai suatu karya, mereka lebih memilih situasi keuangan

BACA JUGA: ABC Meminta Dokumen yang Disita Polisi Federal Australia Dikembalikan

Asosiasi Merek Dagang Internasional (INTA) mencatat dua produk tiruan yang paling sering dibeli oleh Gen Z adalah baju, sepatu dan aksesoris.

Ketika ditanya alasan mereka membeli produk tiruan, sekitar 2685 anak -dalam studi bertajuk Gen Z Insights: Brands and Counterfeit Products, yang dterbitkan Mei 2019 ini -mengatakan mereka memang hanya mampu membeli versi tiruan dari beberapa merek.

BACA JUGA: Anak di Bawah Umur Kini Ikut Jadi Pejuang Papua Merdeka

Derry Yulianto (16) adalah remaja asal Rembang, Jawa Tengah. Ia mengaku termasuk dalam mayoritas Gen Z yang disebut survei INTA. Ia memiliki barang tiruan, karena sebagai pelajar, ia tak punya pendapatan tetap.

"Lebih baik beli palsunya karena kalau saya sendiri minta orang tua banyak-banyak agak enggak enak juga gitu, dan mending nabung dulu juga dari uang saku," tuturnya kepada ABC.

BACA JUGA: Pertama di Dunia, Dokter Australia Tumbuhkan Kulit Asli di Lab

Derry juga mengatakan ia sebenarnya tak 'gila merek' dan terbiasa membeli barang karena alasan preferensi pribadinya.

"Kalau saya cenderung ke modelnya. Saya suka, terus enak dipakai, enggak peduli itu bermerek atau tidak."

"Barang-barang merek terkenal pun kurang begitu paham saya."

"Kalau suatu saat ingin beli, mungkin saat itu saya memang lagi butuh banget." Photo: Derry Yulianto. (Supplied)

Gen Z lainnya yang tak malu mengakui memiliki produk tiruan adalah Matthew Yim (21). Berbeda dengan Derry, Matthew -mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Malaysia ini -mengoleksi barang bermerek.

Favoritnya adalah aksesoris berupa jam tangan.

Kepada ABC, ia mengaku memiliki 7 jam tangan mewah. Tapi Matthew punya alasan tersendiri untuk tetap membeli produk tiruan.

"Personally sih saya enggak begitu against tiruan ya. Karena saya punya yang asli dan enggak akan dipakai tiap hari karena sayang."

"Jadi once in a while pakai yg tiruan, dan yang asli hanya dipakai pas lagi ada acara atau sejenisnya."

"Tapi kalau emang enggak bisa beli yang asli mending enggak usah beli tiruan, seperti act your wage (belanja melebihi kemampuan) gitu," ujarnya.

Matthew memiliki penilaian menarik mengenai barang tiruan. Menurutnya, produk palsu justru menunjukkan betapa suksesnya sebuah brand.

"Soalnya kalau permintaannya enggak banyak atau enggak bergitu terkenal, orang juga enggak bakal bikin tiruannya." Photo: Matthew Yim. (Supplied)

Di sisi lain, survei INTA mencatat sebanyak 77 persen dari total 4712 responden meyakini bahwa kualitas produk tiruan biasanya tak cukup baik.

Syihan Rama Santosa (21) adalah mahasiswa asal Jakarta. Ia mengoleksi sneaker dengan merek tertentu dan tak pernah membeli versi tiruan untuk barang favoritnya itu.

"Mungkin karena harganya masih cukup affordable (terjangkau). Dan rasanya agak nanggung aja beli yang KW (tiruan). Misalkan harganya 1,2 (juta), KW-nya 500 (ribu)."

"Dan enggak ada jaminan kualitas barang itu cukup bagus juga," katanya kepada ABC.

Meski demikian, mahasiswa semester 7 ini mengakui bahwa kecenderungan untuk selalu membeli produk otentik terkadang juga dipengaruhi faktor gengsi.

"Ya kadang ada keluaran yang limited (stok terbatas) gitu. Kalau beli yang KW dan orang tau itu KW, agak gengsi aja."

"Karena biasanya kalau sudah limited gitu, memang banyak KW yang kualitasnya sudah sama."

Lintang Padang Gemilang (18) juga termasuk Gen Z yang menghindari produk tiruan.

Ia lebih memilih untuk menahan keinginannya ketimbang memilih barang KW alias tiruan.

"Saya enggak pernah beli yang tiruan soalnya menurut saya masih terjangkau."

"Kalau kurang biasanya saya nabung dulu soalnya Bapak dari kecil mengajarkan kalau mau dapat sesuatu harus usaha."

"Ya di situ saya usaha biar enggak boros buat dapat apa yang saya mau. Tapi kalau sudah kepepet biasanya saya minta tambahin sama Bapak," ujarnya sambil tersenyum.

Perempuan muda yang tinggal di wilayah Tangerang Selatan ini bersikukuh mempertahankan prinsipnya untuk selalu memberi produk asli lantaran alasan yang sangat personal.

"Kalau habis beli barang yang asli ada kepuasannya, seperti pencapaian gitu, karena saya enggak mau semuanya harus dibayarin sama orang tua atau beli barang tiruan karena murah."

Membeli barang tiruan, tutur Lintang, tak menghadirkan tantangan sehingga ketika barang sudah di tangan tak ada rasa kepuasan.

"Kalau beli yang original, saya harus nabung dulu, tahan semua godaan biar enggak boros untuk mendapatkan yang saya mau." Photo: Asfia Damistriya. (Supplied)

"Di situ tantangannya. Jadi kalau sudah kebeli ada rasa puasnya," ujar dara yang akan memasuki bangku kuliah ini.

Preferensi Gen Z untuk membeli produk asli-pun ternyata beragam. Tak semuanya didasari kesenangan untuk membeli barang bermerek terkenal yang banyak diincar.

Asfiya Damistriya (17), remaja yang tinggal di Jakarta, mengatakan meski selama ini ia jarang sekali memiliki barang bermerek terkenal, tak sekalipun ia membeli produk tiruan secara sadar.

Bagi perempuan muda berhijab ini, pertimbangan utamanya dalam membeli produk fesyen adalah harga, kenyamanan barang, dan desain barang.

"Saya biasanya kalau membeli barang tidak terlalu melihat mereknya, tapi mungkin bisa saja beberapa barang yang saya punya merupakan barang tiruan tanpa saya ketahui," ungkapnya kepada ABC.

Mengaku jarang berbelanja, Damis meyakini barang tiruan terkadang tidak tahan lama untuk digunakan. Kenyamanan lebih utama ketimbang merek, sebut gadis yang baru lulus SMA ini.

"Saya mementingkan kenyamanan dan kualitas barang tersebut."

"Dan menurut saya percuma juga kalau saya membeli barang tiruan jika secara kualitas tidak memumpuni untuk dipakai dalam jangka waktu yang lama."Realita di Indonesia

Survei yang dilakukan INTA di akhir tahun 2018 tersebut diikuti 4712 responden Gen Z, dengan fokus usia 18-23 tahun, dari 10 negara termasuk Indonesia.

Di Indonesia, kelompok Gen Z ternyata memiliki sentimen yang tinggi terhadap identitas sosial.

Sebanyak 72 persen dari responden survei di negara ini menunjukkan mereka cenderung melihat teman mereka untuk terus mengetahui tren fesyen terbaru.

Sementara 67 persen Gen Z mengatakan teman-teman mereka mencontoh dirinya untuk melihat produk apa yang sedang digemari saat ini.

Bagi sebagian kelompok Gen Z, kesesuaian produk bermerek dengan kebutuhan mereka menempati skala yang lebih penting ketimbang merek itu sendiri.

Studi INTA mengungkap, ketika Gen Z menimbang antara kemampuan finansial yang mereka miliki dengan penghargaan terhadap merek sebagai suatu karya, mereka lebih memilih situasi keuangan.

Penghargaan terhadap merek masih dianggap penting, namun setelah pertimbangan pemasukan finansial.

Pendapatan kelompok Gen Z kemungkinan menjadi alasan untuk membeli produk palsu, karena sekitar tiga dari lima responden Gen Z Insights: Brands and Counterfeit Products mengatakan mereka tak merasa mampu membiayai gaya hidup yang mereka inginkan.

Terlepas dari banyaknya Gen Z yang masih membeli produk tiruan, studin itu juga mengungkap bahwa kelompok muda ini memiliki penghargaan tinggi terhadap ide dan kreativitas.

Sebanyak 70 persen responden mengatakan hak kekayaan intelektual sama pentingnya dengan hak kekayaan fisik. Sementara 74 persen dari mereka berpendapat bahwa membeli produk asli itu penting.

Yang menarik, meski saat ini mayoritas dari responden masih mengaku sebagai konsumen barang tiruan, ternyata sebanyak 2450 dari mereka berencana untuk mengurangi kebiasaan membeli barang tiruan di masa depan.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hambar dan Tetap Lapar: Merasakan Makan Seperti Pengungsi Suriah di Yordan

Berita Terkait