Gencarkan Program Tanam Bawang Merah di Lahan Gambut

Minggu, 27 Agustus 2017 – 00:53 WIB
Salah seorang pedagang Bawang Merah di salah satu pasar di Jakarta Selatan, Senin (9/1). Foto by: Ricardo

jpnn.com, PONTIANAK - Provinsi Kalimantan Barat mengalami kekurangan bawang merah dalam jumlah besar.

Sebanyak 4.861.738 penduduk Kalbar membutuhkan 1.597 ton bawang merah per tahunnya. Sedangkan lahan pertanian bawang merah yang ada cuma bisa menyajikan 99 ton per tahun.

BACA JUGA: Tak Punya Salah, Asan Ditusuk Hingga Luka Parah

Kepala Dinas Pangan, Peternakan, dan Kesehatan Hewan Kalbar, Abdul Manaf membenarkan hal ini.

“Jadi dihitung dari produksi sendiri, Kalbar masih defisit, dan itu data tahun 2016,” tutur Manaf, seperti diberitakan Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Malaysia Produksi Sabu-Sabu Hanya Untuk Dijual di Indonesia

Solusi yang ditawarkan untuk menutupi defisit ini, menurut dia, adalah dengan menggalakkan program menanam di lahan gambut. Rancangan ini memang dikhususkan untuk komoditas bawang merah.

“Hasilnya sudah bagus, tinggal bagaimana mengatur masa tanam dan memfasilitasi permodalannya,” ungkapnya.

BACA JUGA: Mencurigakan, Ranking 10 Besar Seleksi Caba IT Polri Dikalahkan Posisi Belasan

Tak hanya bawang merah, produksi cabai pun belum bisa mencukupi kebutuhan masyarakat Kalbar. Kebutuhan cabai pada 2016 mencapai 5.004 ton, sedangkan produksinya hanya 4.463 ton.

Dikatakan Manaf, mengatasi ini dibuatlah program tanam cabai di rumah-rumah penduduk.

Melalui program itu, ia berharap Kalbar selamat dari inflasi gara-gara cabai, yang memang bisa mempengaruhi kenaikan angka inflasi cukup signifikan.

“Karena tidak termasuk bahan pokok, dampaknya hanya pada inflasi saja,” jelasnya.

Kendati belum bisa memenuhi dua kebutuhan masyarakat ini, Manaf menjamin ketersediaan bahan pangan di Kalbar sudah hampir mencukupi.

Ia mengingatkan, kebutuhan pangan tidak sebatas ketersediaan stok saja. “Tapi distribusinya juga harus jelas sehingga bisa diakses masyarakat,” ujarnya.

Soal distribusi, lanjut Manaf, masih menemui kendala. Terganjal akses infrastruktur, khususnya di daerah pedalaman.

Padahal, distribusi ini termasuk indikator ketahanan pangan. Akses yang memadai bisa mempengaruhi nilai jual pangan dan daya beli masyarakat.

Daya beli yang tinggi, dikatakannya, menjadi gambaran kesuksesan pemenuhan pangan suatu daerah.

“Dan, terpenuhinya kebutuhan pangan tidak hanya kenyang saja, tapi masalah gizi juga harus diperhatikan,” terang Manaf.

Ini bisa dilihat dari hampir 30 persen bayi lahir di Indonesia terkena stunting. Makanya, pemerintah fokus untuk memperbaiki nilai gizi konsumsi.

“Urusan pangan ini bukan untuk orang miskin saja, tapi juga orang kaya. Sosialisasi pemahaman gizi harus gencar dilakukan, orang kaya bisa terkena rawan pangan karena salah konsumsi,” pungkasnya.

Keadaan dua pangan tersebut berbanding terbalik dengan produksi padi di Kalbar. Saking cukupnya, program ekspor beras ke Malaysia telah disiapkan.

Tersisa dua bulan lagi sebelum program tersebut diresmikan Presiden Joko Widodo. Sejumlah tantangan masih dihadapi otoritas pertanian Kalbar.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah mempersiapkan kualitas beras dengan baik. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalbar, Heronimus Hero, kualitas beras itu harus sesuai dengan standar yang dibutuhkan penduduk Malaysia.

“Tantangan ini berbeda dengan perbatasan lain di Indonesia, seperti di Atambua, NTT, yang mengekspor ke Timor-timor. Mereka tidak terlalu mementingkan kualitas beras yang diekspor,” jelas Heronimus.

Dari sisi kuantitas, ia meyakini bukan masalah sebab Kalbar sudah surplus beras. Bahkan, ia berharap tahun ini produksi padi se-provinsi mencapai 1,8 juta ton yang sepertiganya atau 600 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalbar.

“Dari jumlah memang tidak banyak, tapi kualitas yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pengimpor. Itu yang penting untuk diperhatikan,” ujar kepala dinas yang menjabat sejak akhir Juli 2017 ini.

Makanya, lanjut Heronimus, pihaknya berencana mengirim contoh beras yang akan diekspor ke pihak Malaysia.

Tantangan lainnya adalah proses perizinan yang berbeda di dua negara. Karena itu, Heronimus berharap support bisa datang dari semua pihak yang berkompeten untuk mewujudkan program ekspor beras ini.

“Dukungan itu misalnya ketersediaan lahan, sehingga tanggung jawabnya tidak hanya di Dinas Pertanian serta Pangan saja, tapi juga dinas terkait lain juga ikut berperan,” paparnya.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian memang berharap daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia bisa menjadi penghasil beras berkualitas eskpor.

Itu sebabnya, Kementerian Pertanian Indonesia dan Malaysia telah meninjau sejumlah lokasi yang menjadi sentra produksi beras.

Pengirimannya akan melalui Pos Lintas Batas Negara Entikong, Sanggau. Ekspor dilakukan pihak swasta dengan difasilitasi pemerintah. (riz/moh)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BNN Tembak Mati Bandar asal Malaysia


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler