Australia akan menggelar pemilihan umum untuk menentukan pemimpin barunya pada bulan ini. Lantas apa yang mereka pertimbangkan sebelum mencoblos, termasuk di kalangan warga Australia yang memiliki latar belakang dan berasal dari Indonesia? Pemilihan umum di Australia

BACA JUGA: Kuota Siswa Internasional di Victoria Sudah Penuh Untuk Tahun 2019

Nasya Bahfen adalah sosok yang banyak dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia di Australia, khususnya di kota Melbourne.

Perempuan kelahiran Jakarta ini pindah bersama keluarganya ke Ausralia saat ia berusia dua tahun, tapi baru mendapatkan kewarganegaraan Australia tahun 2006 lalu.

BACA JUGA: Kapal Ikan Indonesia Dengan 14 Awak Ditangkap di Australia

Di Australia sebenarnya diperbolehkan memiliki dua kewarganegaraan, tetapi Nasya tidak bisa mendapatkannya karena hal tersebut tidak diakui di Indonesia.

Ia pernah mengenyam pendidikan di salah satu sekolah negeri terbaik di Australia dan mendapat beasiswa dari pemerintah Australia untuk program doktornya, dan kini bekerja sebagai dosen senior di La Trobe University.

BACA JUGA: Sempat Dianggap Penghinaan, Rencana Pembangunan di Lokasi Bom Bali Dihentikan

"Jadi secara alamiah saya merasa lebih menjadi warga Australia dan memenuhi kewajiban sebagai warga di negara saya dibesarkan," ujar Nasya kepada ABC Indonesia. Photo: PM Scott Morrison sebagai pimpinan Partai Liberal (belakang) dan pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten. (Foto: ABC News, Georgina Piper)

Tapi saat ditanya soal politik Australia, Nasya mengaku kecewa dan kehilangan harapannya dengan politisi yang menurutnya juga dirasakan oleh banyak warga lainnya.

Saat banyak warga Indonesia merasa bingung siapa yang harus dipilih pada pemilu kemarin, Nasya mengatakan politik di Australia lebih mudah ditebak.

"Kebanyakan orang tahu, jika memilih Koalisi, maka Anda berikan suara untuk kebijakan yang konservatif secara ekonomi dan mungkin konservatif secara sosial, jika hak partai mendominasi."

Lantas adakah partai yang menyuarakan aspirasi Nasya dan menjadi pilihannya pada pemilu tanggal 18 Mei nanti? Jawabnya, "tentunya tidak ada".

"Saya jijik dengan pendirian Koalisi soal pengungsi dan imigrasi yang memicu xenophobia, sementara Partai Buruh sebelumnya membela sesuatu tapi sekarang tidak menawarkan sesuatu yang berbeda."

Nasya tinggal di kota Melbourne, yang perwakilannya di parlemen adalah Adam Brandt dari Partai Hijau.

"Partai Hijau mungkin jadi partai yang terdekat dengan posisi saya dalam banyak hal," ujarnya, yang juga mengaku peduli dengan lingkungan tetapi seorang kapitalis sejati. Photo: Benjamin lebih melihat seberapa aktif politisi di kawasan ia tinggal dan kebijakan yang ditawarkannya. (Foto: Koleksi pribadi)

Sikap politik Nasya berbeda dengan Benjamin Djung, yang lahir di Australia dari orang tua yang berasal dari Indonesia.

"Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga pemilik bisnis kecil dan percaya dengan pajak lebih rendah, saya merasa filosofi dan kebijakan Partai Liberal Australia adalah yang terbaik untuk aspirasi saya, komunitas dan bangsa ini."

Dalam menetukan pilihan politiknya, baik perwakilan di parlemen atau di senat, Benjamin mengaku ada dua hal yang jadi pertimbangannya.

"Saya ingin kandidat yang tinggal di daerah saya tinggal, memahami daerah saya, dan memiliki pengalaman terlibat dengan komunitas saya," ujarnya kepada ABC Indonesia.

Hal lain yang ia lihat adalah komitmen dari para politisi dalam kebijakan yang ia dukung.

"Saya menginginkan seorang kandidat yang mengakui peluang ekonomi di Abad Asia," ujarnya yang kini bekerja di perusahaan hukum dan pengacara di Melbourne.

"Contohnya, [yang mendukung kebijakan] perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia dan mendukung pengajaran bahasa-bahasa Asia di sekolah-sekolah. Photo: Studi di Australia menemukan anak-anak muda di Australia tidak terlalu peduli dengan pemilihan umum, meski mereka tertarik dengan politik. (Ilustrasi: ABC Life, Nathan Nankervis)

Suhu perpolitikan yang memanas jelang pemilu tidak hanya dirasakan di Indonesia, saat banyak warga mengaku mengalami keregangan hubungan pertemanan, bahkan persaudaraan.

Begitu pula di Australia, banyak warga yang mulai pusing dan muak dengan masa kampanye dan Benjamin mengaku sering berdebat dengan keluarga dan teman-temannya.

"Tak semua anak muda mendukung kebijakan atau filosofi politik yang saya dukung, yakni pasar bebas, tanggung jawab dan kebebasan pribadi," katanya.

"Tapi inilah keindahan demokrasi, kemampuan untuk berbagi dan memperdebatkan ide-ide dengan rasa hormat tanpa takut dibalas," ujarnya, dengan mengatakan apa yang dilakukan warga Australia adalah untuk menjadikan negaranya sebagai negara yang lebih baik.

Sementara Nasya mengaku jika keluarganya tidak banyak berbicara soal politik, karena orang tuanya adalah berkewarganegaraan Indonesia dan saudara kandungnya mendukung Partai Buruh.

Ikuti berita-berita seputar kampanye dan pemilu Australia 2019 di situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jejak Kaki Makhluk Salju Yeti Ditemukan di Himalaya

Berita Terkait