Getas, Desa Penjunjung Toleransi di Lereng Gunung

Selasa, 27 Desember 2016 – 08:56 WIB
LINTAS AGAMA: Warga Dusun Kemiri, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, bersama-sama mengikuti Selamatan Natal di rumah Kadus Kemiri, Waliyoto, pada Sabtu (24/12) malam. Kegiatan ini diikuti warga dari berbagai pemeluk agama yang ada di Dusun Kemiri. Yang menarik, makanan untuk Selamatan Natal dibawa sendiri-sendiri oleh warga untuk dimakan bersama-sama sebagai wujud kebersamaan. Foto: Wong Ahsan/radarsemarang.com

jpnn.com -
Getas hanyalah sebuah desa di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namun, desa yang terletak di lereng Gunung Ungaran itu seolah menjadi Indonesia mini yang menjunjung tinggi toleransi dan persaudaraan.

= = = = = = =

BACA JUGA: Ucapkan Selamat Natal, Sandi: Ini Hari Damai dan Sejuk

SENANDUNG Malam Kudus mengalun pelan dari bibir Rini Kristiani (32), warga Dusun Kemiri, Desa Getas, Kabupaten Temanggung pada 24 Desember lalu. Wajahnya tampak semringah.

Tak lama kemudian, dia mengikuti Kebaktian Natal bersama warga kampung penganut Nasrani di Gereja GSJA Filadelfia Dusun Kemiri, tepat pukul 15.00. Karenanya sekitar pukul 14.40, Rini bergegas memoles wajah imut buah hatinya, Puri (6) dengan bedak putih khas bayi.

Dia tatap wajah Puri. Seulas senyum lantas mengembang. Dan, saatnya menuju gereja.

Tak lupa, perempuan berambut sebahu itu menggenggam Injil. “Kami warga dusun di sini maupun jemaat dari dusun lain akan merayakan Natal di gereja,” tutur Rini sembari menggandeng lengan kanan buah hatinya menuju tempat peribadatan yang tidak jauh dari rumahnya.

Ayah Rini, Suparmin (59) yang juga mantan sekretaris Desa Getas menguatkan pernyataan putrinya. “Betul sekali, warga di sini yang beragama Nasrani selalu merayakan Natal bersama-sama di gereja,” tutur Suparmin yang berbeda agama dengan anaknya.

Suparmin beragama Buddha, sedangkan Rini penganut Kristen. Sedangkan orang tua suparmin justru muslim.  “Kalau anak sulung saya yang laki-laki, seagama dengan saya, Buddha,” katanya. Anak laki-laki yang dimaksud adalah Deni Adisaputra (26).

Bagi Suparmin, hidup berbeda agama dalam satu rumah justru saling menguatkan. Sikap toleransi sangat dijunjung tinggi tanpa ada perdebatan sama sekali.

Yang terjadi justru malah saling mengingatkan. “Misalnya, kalau hari Minggu, saya selalu ingatkan anak perempuan saya untuk beribadah di gereja,” ucapnya.

Meski Suparmin berstatus sebagai pemuka agama Buddha di Dusun Kemiri, sikapnya tidak fanatik. “Di dalam rumah, semua harus saling menghormati kepercayaan maupun agama masing-masing,” kata pria berkacamata yang kini menjadi staf di Kecamatan Kaloran itu.

Prinsip yang selalu dijunjung oleh Suparmin cukup sederhana. Yakni, bagimu agamamu, bagiku agamaku.

“Dengan prinsip seperti itu, kami tidak mencampuri atau mempengaruhi satu sama lain. Yang penting kita menjalani kehidupan sesuai ajaran agama masing-masing. Toh, semua agama mengajarkan kebaikan,” tutur pengurus Vihara Avakai Tiswarah itu.

Pluralitas agama di dalam sebuah keluarga juga terjadi pada warga Desa Getas lainnya, Badri. Di dalam keluarganya ada penganut Islam, Kristen dan Buddha.

“Orang tua, bapak-ibu pemeluk Islam. Saya pemeluk Buddha. Sedangkan istri saya Islam. Dua anak saya, awalnya ikut agama istri saya, Islam. Tapi sekarang menjadi pemeluk Kristen,” kata Badri.

Meski berbeda agama, keluarga Badri sangat menjunjung tinggi toleransi. Jika salah satu anggota keluarga melakukan peribadatan, anggota keluarga yang lain akan menghormatinya.

“Misalnya, kalau istri saya yang muslim sedang berpuasa, maka saya dan anak-anak akan menghormati, dengan cara tidak makan di depan istri,” tuturnya.

Sebaliknya, jika Badri merayakan Waisak, maka istri dan anak-anaknya akan mengucapkan selamat Waisak dan ikut merayakannya di wihara.  Demikian pula ketika anak-anak Badri merayakan Natal, maka seluruh keluarga pun ikut. “Sebagai orang tua, saya dan istri mengucapkan selamat Natal dan datang ikut merayakan bersama-sama di gereja.”

Nilai-nilai toleransi, kata Badri, sedini mungkin ditanamkan kepada anak-anak. Semisal, dengan memberikan petuah, nasihat, dan pemahaman tentang agama. Yakni, bahwa agama merupakan hak asasi seseorang, sehingga tidak boleh dipaksa untuk mengikuti agama yang dianut.

“Pemahaman lain, tentu lewat perilaku. Misal orang tua meminta anaknya untuk rajin beribadah, maka orang tua akan memberi contoh dengan taat beribadah,” katanya.

Hal seperti itu juga terjadi pada keluarga Budi Rahayu (46) warga Kalimanggis yang masih berada di Kaloran. Dia mengaku dalam setahun bisa merayakan tiga hari raya keagamaan. Sebab, dalam keluarganya ada penganut Buddha, Islam dan Kristen.

“Kebetulan saya, istri, dan anak-anak semuanya Nasrani. Tapi keluarga besar berbeda-beda agama. Ada yang Buddha, Nasrani, dan Islam. Jadi kalau Idulfitri, saya juga ikut merayakan, meski saya Nasrani. Juga kalau Waisak,” tutur staf Kantor Kecamatan Kaloran itu.

Meski berbeda agama, ucap Budi, keluarga besarnya tidak pernah terlibat konflik. “Kami tidak bingung dengan perbedaan yang ada. Itu semua karena kami saling menerima perbedaan,” katanya.

Kepala Desa (Kades) Getas, Dwiyanto, mengatakan, toleransi kehidupan beragama sudah sejak lama berlangsung dan ditunjukkan dengan sangat arif oleh para leluhur masyarakat desanya. Ada empat agama yang penganutnya hidup berdampingan dengan balutan toleransi sangat tinggi. Yakni Buddha, Islam, Kristen dan Katolik.

Yang menarik, jarak tempat ibadah masing-masing agama juga berdekatan. Rata-rata hanya berjarak 50-500 meter.

Letak Gereja Isa Al Masih, misalnya, berjarak sekitar 500 meter dari Gereja Sidang Jemaat Allah. Nah, hanya 150 meter dari gereja, terdapat Musala Al Iman. Sekitar 250 meter dari Musala Al Iman ada Gereja Pantekosta. Tak jauh dari Gereja Pantekosta berdiri Vihara Dharma Sasana.

“Meski berdekatan, warga saling menghormati ketika pemeluk agama satu dan yang lain melaksanakan ibadah. Masyarakat Getas hidup rukun dan saling menghormati,” kata Dwiyanto. Rumah peribadatan di Desa Getas saat ini terdiri ada masjid (14), gereja (8) dan wihara (11).

Luas wilayah Desa Getas 815 hektare yang terdiri dari sepuluh dusun. Yakni, Dusun Getas, Kemiri, Nglarangan, Banyuurip, Krecek, Porot, Cendono, Glethuk, Pingapus, dan Selorejo.
Jarak dari kota kecamatan menuju Getas sekitar 5 km. Sedangkan jarak Getas dari kota kabupaten sekitar 25 km.

Topografi Getas yang terletak di lereng gunung dan berbukit menjadikan udara di desa itu sejuk, bahkan dingin. Rata-rata penduduk Desa Getas bekerja sebagai petani dan peternak.

Untuk warga yang sudah sepuh memang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. Sedangkan untuk kalangan remajanya banyak lulusan SMA, bahkan perguruan tinggi.

Getas dihuni oleh 4.004 jiwa dengan rincian pemeluk Islam sebanyak 1.742 jiwa, Kristen (769), Katolik(12), dan Buddha (1.481). “Sudah diwejang sejak dulu oleh leluhur kita di sini, bahwa perbedaan yang ada tidak boleh membuat masalah. Justru harus tolong-menolong,” kata Kaur Kesra Desa Getas, Nasrudin.

Sikap toleransi, saling membantu antarumat beragama di Desa Getas diwujudkan dalam tataran aktivitas, yaitu gotong-royong. Ketika salah satu kelompok umat beragama sedang mempunyai keperluan seperti membangun tempat ibadah atau memperingati hari hari besar agama, maka warga di luar kelompok umat itu akan membantu. Keikutsertaan ini bisa berupa sumbangan dana, tenaga, dan material, tanpa paksaan.

Misalnya, warga muslim dan Buddha dengan senang hati membantu mendirikan tenda untuk kebaktian atau misa Natal bagi umat Kristen. Jelang Natal lalu, semua warga bahu-membahu mempersiapkan selamatan di rumah sang kepala dusun.

Untuk Kebaktian Natal pukul 15.00 memang khusus umat Nasrani. Namun, acara selamatan pada pukul 19.00 justru mengundang semua warga termasuk yang beragama Islam dan Buddha.

Pendeta Yunius Suramin mengatakan, untuk hal yang sifatnya perayaan memang bisa dilakukan bersama-sama. “Kita mengundang tokoh agama yang ada di sini. Kalau muat ya semua warga,” katanya.

Wujud kebersamaan juga ditunjukkan warga dengan saling membantu. Saat pembangunan gereja di Dusun Porot, beberapa warga yang beragama non-Nasrani dengan suka rela, menawarkan bantuan tenaga.

“Ada beberapa warga yang beragama non-Kristiani turut membantu mengecor bangunan. Padahal orang yang dimaksud tidak diminta tolong. Sebaliknya, pihak yang sedang membangun dengan senang hati menerima bantuan tenaga tersebut,” kata Suparmin.

Aktivis Banser Kecamatan Kaloran, Zaenal Rofi’i juga mengakui tingginya toleransi kehidupan beragama di wilayahnya. Banser bahkan pernah merenovasi wihara di Dusun Porot, Desa Getas, ketika peringatan hari lahir Gerakan Pemuda Ansor ke-78 beberapa waktu lalu.

“Itu bukti toleransi beragama antara umat Islam dengan agama lain. Kami hidup damai berdampingan,” katanya.

Kokohnya bangunan pondasi toleransi beragama di Desa Getas, membuat isu-isu sensitif terkait fanatisme keagamaan tidak berlaku. Kerusuhan berbau agama yang terjadi di Temanggung pada Februari 2011 silam, tak merembet ke wilayah Kaloran. “Tidak sampai terjadi di wilayah Kaloran,” kata Camat Kaloran Supriyanto.

Satu hal penting yang terjadi di Desa Getas adalah aktivitas kebudayaan yang oleh warga setempat justru ditarik dijadikan ajang untuk menciptakan kerukunan di kalangan umat. Aktivitas budaya yang dimaksud adalah nyadran, sebuah tradisi yang identik dilakukan oleh warga muslim. Toh, di Desa Getas, nyadran justru dilakukan secara lintas agama.

Meski ada perbedaaan keyakinan, namun masing-masing pemeluk agama merasa memiliki tujuan yang sama saat nyadran. Yaitu mempererat silatuhami, menciptakan persatuan, dan kesatuan serta mendoakan leluhur yang sudah meninggal.

Karenanya nyadran di Dusun Kemiri bisa dilaksanakan secara lintas agama. Sebab, memang tidak ada pembatas di antara mereka.

Kades Getas Dwiyanto mengatakan, nyadran lintas desa merupakan tradisi yang dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan umat beragama. Nyadran di Dusun Kemiri, misalnya, selain mempererat persaudaraan, juga meningkatkan toleransi antarumat beragama.

Hal yang sama tampak pada saat warga menggelar tradisi Suran atau peringatan 1 Muharram. Peringatan dihadiri oleh semua warga, baik penganut Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Yang menarik, perayaan dilakukan di sebuah kuil Buddha yang berada di puncak bukit. Yaitu di sebuah bukit kecil bernama Watu Payung, sedangkan ritualnya dilakukan pukul 10.00.

Menurut Marwoto, tokoh agama setempat, sesepuh desa dan tokoh agama berkumpul di peringatan tersebut. “Tradisi ini diikuti semua pemeluk agama, sebagai bentuk saling mengormati perbedaan, persatuan, dan kesatuan, serta meningkatkan persaudaran antarumat beragama,” kata Dwiyanto.

Doa dibacakan oleh pemuka Buddha dengan bahasa Jawa. Setelah itu, barulah doa yang dilakukan dengan cara masing-masing agama. “Yang Islam berdoa dengan cara Islam, yang Kristen punya cara sendiri, demikian juga yang Buddha.”?

Setelah doa, dilanjutkan dengan ritual berbagi air suci. Air yang telah didoakan bersama-sama pada akhirnya menjadi rebutan warga. Konon, airnya dipercaya bisa membuat awet muda, murah rezeki, dan terhindar dari marabahaya.

Mereka juga percaya bahwa makanan yang telah diberkahi mengandung berkah. “Ritual ini telah ada sejak ratusan tahun lalu. Tapi sempat vakum dan kembali aktif sekitar tahun 2000,” sambungnya.

Supriyanto mengatakan, sebenarnya pernah percikan konflik di Kaloran. Hanya saja, gesekan itu di tingkat dusun dan bisa diselesaikan oleh pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat. “Tanpa harus melibatkan pihak pemerintahan kabupaten, konflik yang ada bisa diselesaikan di tingkat bawah,” kata Supriyanto.

Supriyanto mengaku banyak belajar dari wilayah yang dipimpinnya. Kecamatan Kaloran, kata dia, layak disebut sebagai Indonesia kecil. Sebab, Kaloran menggambarkan keberagaman seperti halnya kemajemukan yang dimiliki Indonesia.

“Gesekan pasti ada, karena memang masyarakat dengan aneka agama dan latar belakang. Namun penyelesaiannya bisa dilakukan di antara mereka sendiri,” katanya.

Begitu masuk ke Kaloran, Supriyanto semakin memahami bagaimana kemajemukan tersebut dapat dibangun. Itu karena dalam diri masing-masing telah tertanam sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Supriyanto mencontohkan, ketika Idul Fitri, ia harus stand by di kantor karena banyak warganya yang nonmuslim berdatangan mengucapkan selamat. “Padahal, tidak ada yang meminta atau menyuruhnya. Atas inisiatif sendiri mereka datang ke kantor kecamatan,” tuturnya.

Kecamatan Kaloran terdiri atas 14 desa dan 61 dusun. Desa Kalimanggis dan Getas tercatat paling majemuk dari segi agama yang dianut masyarakatnya. Setiap dusun, baik di Getas maupun Kalimanggis memiliki vihara, masjid ataupun musala, serta gereja.

Agus Prasetyo, alumnus S2 Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang pernah melakukan penelitian tentang toleransi beragama di Desa Getas menuturkan, sikap toleransi yang diperlihatkan warga karena menganggap agama sebagai hal pribadi. Agus sudah menuangkan penelitiannya itu ke dalam tesis berjudul Pluralitas Agama dalam Keluarga Jawa (Studi Kasus Di Desa Getas Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung).

Menurutnya, karena warga menganggap agama urusan pribadi maka tidak ada pemaksaan tentang keyakinan kepada individu lainnya. “Maka, dengan pemikiran ini menyebabkan terjadinya pluralitas agama dalam masyarakat,” paparnya.

Agus menjelaskan, hal itu juga tak lepas dari pemaknaan masyarakat Jawa bahwa agama dipahami sebagai ageming aji. Yaitu, agama merupakan pedoman hidup yang pokok. Artinya, agama apa saja, mengajarkan atau mengandung ajaran yang serba baik untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat di dunia.

Penegasannya, lanjut Agus, masyarakat Getas meyakini bahwa agama merupakan urusan yang masuk domain privat. “Artiya, bukan urusan publik, sehingga tidak layak untuk diperdebatkan dalam kehidupan masyarakat,” sambungnya.

Agus menambahkan, sangat penting membangun toleransi dari mulai keluarga. Caranya dengan memberikan nasihat dan contoh perilaku dari orang tua atau anggota keluarga yang lain.

“Dalam sebuah keluarga yang terjadi perbedaan agama, muncul sikap toleransi yang ditujukan melalui saling menghargai dan menghormati. Tujuannya, agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga,” sambungnya.

Masih menurut Agus, terbangunnya toleransi antarumat beragama yang sangat baik di Desa Getas tidak lepas dari peran serta pemuka agama. Antarpemuka agama yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan yang harmonis.

Agus mencontohkan, pemuka agama Kristen bisa saja memiliki hubungan keluarga dengan pemuka agama Islam. Sebab, rumahnya juga berdekatan dengan pemuka agama yang lain sehingga mempermudah hubungan interaksi. “Ini terjadi karena masih ada hubungan antarpemuka keluarga,” tegasnya.

Koordinator Gusdurian Temanggung Abaz Zahrotien menuturkan, toleransi yang terjadi di Desa Getas, Kaloran, patut dipelihara dan terus ditingkatkan. Menurut dia, sebenarnya guyub rukun antarumat beragama, tidak hanya terjadi di Desa Getas saja. Seperti di wilayah Candiroto, wilayah Jumo, dan Pecinan, Temanggung.

Sayangnya, kata Abaz, wilayah-wilayah itu selama ini kurang terekspose. “Saya berharap, kearifan lokal yang ada ini, bisa dikelola secara sistematis. Bisa terus digalakkan atau dikampanyekan,” tutur Abaz.(pratono/san/lis/isk/jpg/ara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler