Program pengembangan buah tropis yang digagas Institut Pertanian Bogor (IPB) dan BUMN yang dikenal dengan nama Revolusi Orange tak bisa dilepaskan dari Prof Dr Ir Sobir. Berkat penelitian intensif kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB itu, Indonesia kini punya sejumlah varietas buah tropis unggulan.
GUNAWAN SUTANTO, Jakarta
Beberapa minggu lalu PTPN VIII (Persero) sukses memanen pisang barangan sebanyak 700 ton di Subang, Jawa Barat. Itulah salah satu varietas buah tropis unggulan hasil penelitian para ahli PKHT IPB yang dikomandani Prof Sobir.
Pisang barangan memiliki sejumlah keunggulan yang disenangi masyarakat. Yakni, rasa daging buahnya lebih manis, kering, dan beraroma sedap. Selain pisang barangan, PKHT punya varietas pisang unggulan lain seperti pisang unti sayang. Pisang itu berbuah tanpa jantung. Secara ukuran juga lebih besar daripada pisang jenis lain.
Selain pisang, varietas buah lain hasil penelitian PKHT yang banyak diminati masyarakat ialah pepaya calina. "Pepaya jenis ini sekarang banyak dijual di supermarket-supemarket," kata Sobir.
Menurut dia, pepaya temuannya itu memiliki daging buah yang tebal dan renyah. Daya simpannya juga lebih lama, bisa lebih dari sepekan. "Rasanya juga manis, kulit luarnya juga cantik," lanjutnya.
Buah lain yang jadi unggulan PKHT adalah manggis wanayasa. Varietas itu memiliki keunggulan mampu mempertahankan kelopak buah berwarna hijau segar hingga 10 hari setelah panen. Keunggulan itulah yang membuat manggis jenis tersebut sangat memungkinkan untuk diekspor.
Namun, di balik sukses lembaganya menemukan banyak varietas buah tropis baru, Sobir justru mengaku gelisah. Sebab, dia melihat impor buah Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Saat ditemui koran ini di kantor PKHT IPB kemarin (26/6), Sobir begitu antusias bercerita tentang kegelisahannya tersebut.
Sebelum berbicara panjang lebar, Sobir menunjukkan sejumlah presentasinya terkait dengan pertumbuhan hortikultura di Indonesia. Dalam paparan itu terungkap fakta bahwa Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas dan subur ternyata kalah jauh dari sejumlah "negara kecil" dalam produksi buah-buahan unggulan. Bahkan, mereka mampu mengekspor ke negara lain, termasuk menyerbu Indonesia. Data yang ditunjukkan Sobir menyebutkan, pada 2011 Indonesia mengimpor 832.080 ton buah. Sementara itu, nilai ekspornya hanya 223.001 ton.
"Nah, dari sinilah saya bertahun-tahun mikir, sebenarnya salahnya di mana sih," ujar peraih gelar PhD dalam bidang molecular genetic dari Okayama University, Jepang, itu.
Dari situlah Sobir dan para peneliti IPB kemudian melakukan riset intensif. Dia mencari perbandingan terhadap negara-negara pengekspor buah terbesar dengan tujuan Tiongkok.
"Kenapa Tiongkok, karena negara itu memiliki penduduk yang sangat besar sehingga pasar buah di sana juga sangat potensial," terang pria kelahiran Ciamis tersebut.
Ternyata, berdasar penelitian itu, Sobir melihat, ada tiga hal yang keliru terkait dengan pola pertanian buah kita. Tiga hal tersebut meliputi luas tanam buah yang sangat sedikit. Kedua, Indonesia tidak menerapkan pola menanam buah dalam bentuk estate. Ketiga, petani buah di Indonesia tidak bisa membaca perubahan preferensi terhadap buah.
"Misalnya, kalau dulu masyarakat suka pisang yang manis meski kulitnya burik-burik, sekarang masyarakat senang pisang yang cantik seperti jenis cavendis. Begitu pula terhadap selera buah durian," ujar staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB itu.
Sobir lalu coba mencari solusi untuk tiga masalah utama tersebut. Pria kelahiran 12 Mei 1964 itu memulai dengan upayanya memecahkan masalah yang kedua. Yakni, mengenai pola tanam dengan konsep estate. Dari situ dia mengusulkan IPB menggandeng PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII menjadi lokomotifnya.
"Menggandeng PTPN sebagai motor kami anggap paling relevan. Sebab, mereka punya lahan yang sangat luas. Dan, alhamdulillah, Pak Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan) dan teman-teman di PTPN menyambut positif langkah ini," ujarnya. "Dari sinilah kemudian tercetus istilah Revolusi Orange, yaitu gerakan pengembangan buah tropis," tambah dia.
Ajakan IPB itu mendapat sambutan positif PTPN. Perusahaan pelat merah tersebut bersedia menyiapkan 3.000 hektare lahan untuk buah lokal. Dari luas lahan itu, yang langsung bisa ditanami dan kemudian mulai panen sekitar 1.200 hektare. Padahal, tanaman itu disebar di sela-sela pohon karet yang selama ini ditumbuhi rumput liar.
Sobir berharap kesuksesan PTPN menjalankan bisnis buah tropika itulah yang kemudian akan meng-influence masyarakat, dalam hal ini petani, untuk melakukan hal yang sama. "Sebab, kalau tahu caranya, keuntungan mengembangkan buah tropis jauh lebih besar daripada sekadar menanam padi," kata dia.
Selain melibatkan PTPN, Sobir belakangan juga rajin turba untuk "meracuni" para kepala daerah tentang gerakan Revolusi Orange. Dia mendorong sejumlah kepala daerah untuk membuat plant basis di wilayahnya.
Dia mencontohkan buah durian di Wonosalam, Jombang. Durian itu sangat terkenal dan disukai konsumen. Namun, setelah diteliti, ternyata tidak ada satu daerah khusus sebagai penghasil durian lezat tersebut.
"Nah, harusnya kita melakukan plant basis untuk mendapatkan hasil yang berlipat. Harus ada kawasan khusus yang menghasilkan durian khas Jombang. Dengan begitu, produksi buah jenis itu bisa besar dan memenuhi kebutuhan pasar mana saja," terangnya.
Hal yang sama pernah dia kemukakan kepada kepala daerah di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang terkenal dengan duriannya. Begitu pula di Jepara, Jawa Tengah, yang terkenal dengan jambu airnya. "Sambutan kedua kepala daerah itu juga positif," papar dia.
Menurut Sobir, peran kepala daerah sangat penting untuk mendorong masyarakat menanam buah dengan konsep plant basis. "Saya yakin, kalau kepala daerah mau mendorong masyarakat untuk melakukan pola tanam dengan konsep itu, manfaatnya sangat banyak," ucapnya.
Tidak hanya mengangkat perekonomian rakyat dengan menjadi petani buah. Tapi, perkebunan itu bisa menjadi daya tarik wisata agro. "Coba lihat Sleman. Selama ini daerah tersebut terkenal karena mempunyai banyak kampung yang menanam salak pondoh. Akhirnya, masyarakat dari luar banyak yang berdatangan ke sana untuk berwisata agro," terangnya.
Sobir menegaskan, konsep itulah yang diterapkan di negara-negara pengekspor buah. Di luar negeri, konsep itu disebut OVOP, yaitu one village one product. Di Thailand istilahnya OTOP, one tambon one product. "Istilah itu sama dengan satu kecamatan satu produk," terangnya.
Dengan banyaknya varietas buah yang dikembangkan PKHT, Sobir optimistis Indonesia dapat menjadi negara pengekspor buah yang diperhitungkan. Menurut dia, jika Revolusi Orange bisa dijalankan BUMN, pemerintah daerah, dan pihak swasta, akan ada dampak besar yang membuntuti. Yakni, peningkatan pendapatan BUMN maupun daerah setempat. Dari sisi negara, akan ada peningkatan devisa karena mengurangi impor dan terjadi peningkatan ekspor buah.
"Industri hortikultura juga akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Ini, menurut saya, manfaat langsung yang bisa dirasakan masyarakat," terangnya. Jika sektor hortikultura besar, dampaknya adalah pengurangan kerusakan lingkungan.
Tapi, upaya untuk terus mengampanyekan Revolusi Orange tidak selalu membawa dampak positif bagi Sobir. Dia sempat dikira ingin menjadi pejabat negara karena proyek itu.
"Sedikit pun saya tidak ada niat menjadi pejabat negara. Saya takut tidak bisa menghindar dari praktik korupsi," kelakarnya. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirakit di Luar, Tempat Tawaf Dari Baja
Redaktur : Tim Redaksi