Gibran dan Potensi Suulkhatimah Politik Jokowi

Oleh: M Mahfuz Abdullah*

Selasa, 24 Oktober 2023 – 18:30 WIB
Pemerhati politik M Mahfuz Abdullah. Foto: Dokpri for JPNN.com.

jpnn.com - BAGAIMANAPUN, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 169 Huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru. 

“Bocah” pengagum Gibran Rakabuming Raka itu “menang banyak” dan mengguncang jagat politik tanah air, karena berhasil bermain di atas ombak kepentingan keluarga Joko Widodo.

BACA JUGA: Prabowo-Gibran Mendaftar ke KPU Pukul 10, KTA PDIP Piye?

Tidak banyak yang tahu, Almas Tsaqibbirru ialah anak dari Boyamin Saiman  yang juga teman dekat Joko Widodo.

Apa kepentingan dan hak politik yang menjadi legal standing-nya memajukan gugatan tidak perlu kita bahas.

BACA JUGA: Rosan Roeslani ke Demokrat, Bakal Jadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Gibran?

Alasannya sederhana, karena Almas Tsaqibbirru tidak terdengar berjuang untuk kepentingan sendiri, maju sebagai capres atau cawapres.

Jangankan untuk dirinya, untuk ayahnya pun tidak pernah kita dengar.

BACA JUGA: KPU Terima Surat Pemberitahuan soal Pendaftaran Pasangan Prabowo-Gibran, Begini Infonya

Apalagi, gugatan itu sempat ditarik. Kemudian,  diajukan lagi yang diantar langsung oleh seorang lelaki berbadan tegap.

Pada saat hari libur pula. Siapa sosok berbadan tegap ini. Yang jelas bukan Almas Tsaqibbirru, atau bapaknya, Boyamin Saiman.

Jadi, kita hanya bisa menduga bahwa kepentingan politiknya hanya titipan.

Lalu, dibungkus dengan bahasa yang halus agar tokoh muda yang dikaguminya, Gibran Rakabuming Raka, bisa ikutan dalam kontestasi politik 2024.

Tentu itu boleh-boleh saja. Secara politik sah. Lagi pula, mumpung bapaknya Gibran masih jadi presiden.

Kalau bapaknya sudah jadi rakyat biasa, jangankan maju jadi capres atau cawapres, maju jadi calon gubernur Jateng atau gubernur DKI Jakarta, bisa jadi akan sangat sulit.

Sayangnya, putusan MK terhadap gugatan itu sudah bisa ditebak. Media Tempo bahkan sudah membagikan informasi hasil putusan ini melalui podcast Bocor Alus.

Semua bocoran politik (hampir) sama persis kejadiannya dengan fakta yang terjadi di persidangan MK.

Bagaimanapun, putusan MK itu akan memantik banyak hal.

Suka atau tidak, salah atau benar, tetaplah menjadi hukum baru.

Artinya, dengan putusan MK itu, jalan Gibran menjadi cawapres sangat mulus.

KPU juga sudah melakukan revisi segala peraturan agar bisa sejalan dengan putusan MK.

Sayangnya, elemen kejutan dari Prabowo ternyata biasa-biasa saja.

Hanya menjadikan Gibran sebagai bakal calon wakil presiden.

Sesungguhnya, saya berharap elemen kejutan Prabowo di atas rata-rata, umpamanya dirinya menjadi calon wakil presiden, dan Gibran calon presiden.

Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo yang seperti biasa mengaku tidak terlibat dan tidak tahu menahu atau tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum di MK.

Jokowi juga menyatakan tidak terlibat dari langkah-langkah politik Gibran. “Sebagai orang tua, hanya mendoakan dan memberi restu,” ujar Jokowi.

Akan tetapi, seperti biasa setiap ucapan Jokowi tidak bisa dibaca sebagai cermin yang memantulkan gambar apa adanya.

Apa yang diucapkan Jokowi selalu harus dimaknai sebaliknya. Karena tidak ada ucapan Jokowi yang bisa ditelan mentah-mentah.

Maka dari itu, mari kita urai perkembangan politik akhir-akhir ini sambil sedikit  mencari tahu apa maknanya dalam pembangunan demokrasi Indonesia, pasca-Pilpres 2024 nanti.

Baiklah, saya mulai langkah politik Jokowi secara keseluruhan sebagai bentuk perlawanan total terhadap Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan secara umum.

Betapa tidak, dalam politik kita tidak bisa membaca segala hal yang mencuat ke permukaan adalah hal parsial, yang berdiri sendiri.

Tidak ada partikel terpisah dan skenario utama. Tidak ada bunyi yang liar dan tak terkendali dari orkestrasi. Sementara Jokowi adalah konduktornya.

Lihatlah, Kaesang Pangarep yang langsung menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Alasan Kaesang sudah memiliki kartu keluarga (KK) sendiri sehingga bebas melakukan kegiatan politik adalah logika dangkal tanpa etika yang disampaikan ke publik.

Kita harus membacanya, bocah itu tak akan pernah lepas dari Jokowi sebagai ayahnya.

Rupanya, tes ombak masuknya Kaesang ke PSI tidak berpengaruh pada posisi Jokowi di mata publik.

Tidak ada reaksi berlebihan dari elite PDI Perjuangan yang menekan keluarga Jokowi.

Ini tentu berbeda dengan reaksi PDI Perjuangan kepada Murad Ismail (Gubernur Maluku Utara) yang tidak bisa mendisiplinkan istrinya, Widya Pratiwi Murat Ismail, yang berpolitik melalui Partai Amanat Nasional (PAN), atau reaksi terhadap Budiman Sudjatmiko yang  terang-terangan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.

Tidak bereaksinya elite PDIP ini harus dimaknai sebagai kesabaran tingkat dewa.

Bukan karena PDIP takut kehilangan kursi menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM) di Pemerintahan Joko Widodo.

Kesabaran yang bermakna bahwa PDI Perjuangan sangat dewasa dalam berpolitik sehingga sangat cermat mengambil langkah-langkah politik, apalagi menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.

Akan tetapi, apakah reaksi PDI Perjuangan akan sama ketika Gibran menjadi cawapres Prabowo?

Ini akan menarik kita cermati setelah pendaftaran pasangan ini di KPU, Rabu (25/10) ini.

Maka pendafataran itu menjadi bukti nyata Jokowi berada di pihak yang secara politik berseberangan dengan PDI Perjuangan yang sudah lebih dulu mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai pasangan capres-cawapres.

Ini maknanya jauh berbeda jika Prabowo tidak berpasangan dengan Gibran, kemudian Jokowi menyatakan bersikap netral saja dan tidak memihak ke pasangan mana pun.

Apakah PDI Perjuangan akan mengambil langkah menarik dukungan dan secara terang-terangan berhadapan dengan Jokowi sebagaimana para influencer atau buzzer yang dahulu menjadi die harder Jokowi, kini secara terang-terangan menyerang Jokowi.

Maka langkah paling dramatis yang paling kita nantikan adalah sikap berhadapan secara terbuka yang ditampakan PDI Perjuangan.

Misalnya, dengan menarik semua kader PDI Perjuangan dari kabinet pemerintah.

Artinya, PDI Perjuangan akan menjadi oposisi dari pemerintah yang mereka bangun dan asuh selama ini.

Hemat saya, PDI Perjuangan akan mengambil sikap.  Dan itulah, tidak mungkin berada dalam perahu yang dikendalikan oleh orang yang dianggap sebagai “Malin Kundang”.

Bagi PDI Perjuangan, berada di kabinet pemerintah yang sudah jelas berseberangan adalah penghinaan secara mutlak.

Bagi PDI Perjuangan, berada di kabinet pemerintah yang secara gamblang melawan kebijakan partai adalah penghinaan yang paling nista.

Jika sikap ini dilakukan PDI Perjuangan, maka boleh jadi kita maknai lonceng perlawanan panjang partai banteng moncong putih.

Yang artinya, bisa bermakna suul khatimah (akhir yang buruk) yang tidak saja untuk pemerintah, tetapi juga bagi Joko Widodo dan keluarga di pentas politik tanah air. 

Kita nantikan saja lanjutan drama ini. (**)

*) Penulis adalah pemerhati politik.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler