Gibran Sang Kuda Hitam Debat Cawapres

Oleh: Holy Adib

Kamis, 28 Desember 2023 – 05:00 WIB
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka saat debat cawapres di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/tom

jpnn.com - Debat cawapres pekan lalu menjadi panggung pembuktian Gibran Rakabuming Raka kepada publik bahwa ia tidak senaif yang dinilai dan dibayangkan selama ini.

Dalam debat itu ia tampil bagus dalam arti artikulatif, substantif, menguasai materi, percaya diri, mampu mengontrol emosi, tepat waktu, bahkan kritis.

BACA JUGA: Pencalonan Gibran Saja Bermasalah, Apa Rakyat Indonesia Mau Ikut Ajakan Fahri Hamzah?

Salah satu yang mendasari prasangka bahwa Gibran tidak mampu berdebat dan tidak berwawasan adalah lantaran dia kerap irit bicara di muka publik

Selain itu, Gibran juga tidak menghadiri sejumlah acara perdebatan yang diadakan beberapa kalangan. Karena itu, banyak orang yang meremehkan kemampuannya dalam berdebat.

BACA JUGA: JMP 08 Bersiap Menangkan dan Sosialisasikan Program Prabowo-Gibran

Peremehan terhadapnya tidak hanya disampaikan lewat kata-kata di media sosial, tetapi juga lewat gambar yang dibuat oleh kecerdasan buatan, yaitu gambar seorang anak kecil yang menangis di depan podium dalam acara debat.

Penampilan Gibran dalam debat cawapres sesi pertama mematahkan semua anggapan orang selama ini bahwa ia kosong dan tidak tahu apa-apa.

BACA JUGA: Andi Widjajanto Beber Temuan TPN: Ganjar Panen Sentimen Positif, Gibran Negatif

Bahkan, melalui performanya dalam debat tersebut, ia dapat dikatakan sebagai semacam kuda hitam: peserta yang tak diperhitungkan akan menang, bahkan diremehkan, ternyata tampil perkasa kalau tak bisa dikatakan unggul.  

Gibran mengawali performanya dengan baik pada penyampaian visi misi. Ia berdiri di depan podium dan mendekatkan diri kepada panelis dan penonton.

Dalam segmen selanjutnya, termasuk dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan moderator dan pertanyaan cawapres lain, ia melakukan hal yang sama.

Ia melakukan itu seakan-akan untuk menepis anggapan sebagian orang bahwa ia mencontek di kertas yang terdapat di atas podium. Ia kembali menegaskan hal itu dalam pernyataan penutup debat.

Ia menyampaikan pernyataan penutup tanpa melihat kertas di podium, sedangkan Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD melihat catatan di podium.

Namun, tetap saja sebagian orang, sebagaimana yang dapat dilihat di media sosial, menganggap Gibran mampu menyampaikan visi misi tanpa contekan karena Gibran sudah menghapalnya.

Gibran juga dianggap mendapatkan bocoran pertanyaan panelis sehingga dapat menghapal jawabannya.

Tuduhan itu mudah dibantah karena Gibran tidak terlihat seperti menyampaikan hapalan. Salah satu matanya tidak melihat ke sudut kanan atas atau ke sudut kiri atas sebagai tanda bahwa ia sedang mengingat sesuatu.

Selain itu, ia tidak menggunakan embolalia (bentuk tegun), seperti hmm, anu, apa namanya, sebagai tanda bahwa ia sedang berpikir sejenak untuk melanjutkan perkataan.

Gibran menyampaikan visi misi dengan lancar dan jelas. Dari awal sampai akhir menyampaikan visi misi, ia tidak tercekat, tidak grogi, dan tidak mengalami kilir lidah.

Sementara itu, kedua lawan debatnya beberapa kali mengalami kilir lidah.

Dalam menyampaikan visi misi, Gibran tepat waktu. Ia selesai menyampaikan visi misi sebelum tenggat habis.

Ia selalu tepat waktu ketika berbicara dalam tiap kesempatan pada debat itu, termasuk dalam menjawab pertanyaan moderator dan cawapres.

Hal itu berbeda dengan Muhaimin dan Mahfud, yang beberapa kali melewati tenggat ketika berbicara.

Selain berkomunikasi dengan penonton melalui kata-kata, Gibran berkomunikasi dengan menggunakan paralingual, seperti mimik wajah, gerakan mata, gerakan tangan, anggukan kepala, dan gerakan tubuh.

Mimik wajahnya memperlihatkan bahwa ia mencoba untuk berkomunikasi dengan penonton secara aktif.

Mimik wajahnya selaras dengan kata-katanya. Dengan kata lain, mimik wajahnya tidak datar atau pasif.

Gerakan tangannya juga sesuai dengan kata-katanya. Ketika mengucapkan UMKM meningkat, ia menggerakkan tangannya ke atas; sewaktu ia mengatakan menuju Indonesia emas, tangannya mengarah ke depan; saat ia menyebut saya, tangannya menunjuk ke arah dada; ketika ia mengatakan bangunan fisik, tangannya bergerak ke atas dan ke bawah beberapa kali seperti menunjukkan bentuk bangunan fisik yang ia sebut; dan saat mengatakan berani melakukan lompatan, ia menggerakkan tangannya seperti kaki yang melompat.

Gerakan mata dan gerakan tubuh yang berpindah-pindah menunjukkan bahwa ia ingin berkomunikasi tidak hanya dengan satu kelompok penonton, tetapi juga kelompok penonton lainnya di berbagai tempat di panggung debat.

Pendek kata, dalam proses berbicara, Gibran mengaktifkan seluruh tubuhnya untuk menekankan makna kata-kata.

Tentu saja ia melakukan itu sebagai upaya agar penonton mudah memahami maksudnya, termasuk penonton yang menyaksikan debat lewat televisi atau YouTube, dan “menyihir” penonton supaya fokus memperhatikannya.

Ingat bahwa tujuan debat capres cawapres bukan hanya untuk menang berdebat dengan peserta debat, melainkan juga untuk merebut simpati masyarakat sebagai calon pemilih.

Upayanya berkomunikasi dengan penonton juga terlihat dalam sapaannya kepada penonton, misalnya, “Bapak dan Ibu yang saya hormati, Teman-teman sesama anak muda ….”

Paralingual Gibran komunikatif. Hal itu menunjukkan bahwa ia mengerahkan semua potensinya untuk menjadi unggul dalam debat tersebut.

Hal itu juga membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh dalam menghadapi debat cawapres, yang diprediksi oleh banyak orang sebagai acara yang mempermalukan Gibran.

Gibran benar-benar memanfaatkan acara debat tersebut untuk menunjukkan kemampuannya. Ia, yang selama ini terlihat lembek dan tidak pernah membalas serangan kata-kata kepadanya, malam itu justru “menyerang” Muhaimin dan Mahfud dengan kritik dan ledekan bermuataan candaan.

Intinya, performa Gibran pada debat cawapres malam itu sudah cukup untuk memberi tahu publik bahwa ia bukanlah orang yang kosong. Ia cukup punya wawasan dan memahami persoalan yang ia jelaskan,

Salah satu buktinya ialah penggunaan banyak istilah teknis tanpa salah sebut, tanpa ragu, dan jelas. Bukti lain ia menguasai materi ialah beberapa kali menyebut angka secara detail.

Kalau semua itu dianggap hapalan, betapa luar biasanya daya hapal Gibran.

Tidak mungkin ia mampu menyebut banyak istilah teknis dalam berbagai bidang dengan baik dan lancar tanpa kehilangan konteks tempat istilah tersebut berada.

Lagi pula, dalam menjelaskan persoalan, Gibran sering kali mendasarkan argumentasinya dari pengalamannya sebagai Wali Kota Solo.

Artinya, apa yang ia katakan sudah ia lakukan. Ia tidak berangkat dari ruang kosong dalam berbicara, juga tidak hanya mengatakan apa yang ideal dan seharusnya dilakukan.

Hal itu juga bukti bahwa ia memahami betul apa yang ia sampaikan.

Meskipun tampil dengan percaya diri berlebih, Gibran tetap sopan kepada lawan debatnya. Sebagai orang yang berusia jauh lebih muda dan berpengalaman jauh lebih sedikit daripada Mahfud dan Muhaimin, Gibran cukup sopan.

Hal itu terlihat, antara lain, dari sapaan yang digunakan kepada Mahfud, yaitu Prof. Mahfud, dan Gus Muhaimin.

Sapaan Prof. Mahfud mengandung penghormatan terhadap keilmuan Mahfud, yaitu hukum tata negara.

Sementara itu, sapaan Gus Muhaimin menunjukkan keakraban Gibran dengan Muhaimin dan pengakuan serta penghormatan Gibran terhadap Muhaimin bahwa Muhaimin berasal dari kalangan pesantren dan anak kiai.

Akan berbeda halnya jika Gibran menyapa Mahfud dan Muhaimin dengan sapaan “Pak”, yang terasa formal, kaku, dan tak akrab.

Selain itu, sambil berterima kasih, Gibran menyalami Mahfud dan Muhaimin dengan menunduk untuk, tentu saja, menunjukkan bahwa ia, sebagai orang yang jauh lebih muda, menghormati kedua tokoh senior tersebut dalam pernyataan penutup.

Dalam pernyataan penutup ia juga memuji Mahfud dan Muhaimin dengan mengatakan,

“Saya sangat senang sekali bisa satu panggung dengan orang-orang hebat seperti ini. Senang sekali anak muda bisa bertukar pikiran dengan ketua umum partai dan seorang profesor,” kata Gibran ketika itu.

Hal itu menunjukkan kerendahhatian Gibran sebagai anak muda.

Dengan usia dan pengalaman yang lebih sedikit daripada Mahfud dan Muhaimin, Gibran dapat mengimbangi kedua lawan debatnya kalau tak bisa dikatakan lebih unggul. Artinya, Gibran orang adaptif dan cepat belajar.

Maka, tidak berlebihan jika sebagian kalangan menilai bahwa Gibran unggul dalam debat cawapres tersebut: selain karena performanya dalam debat, juga karena latar belakang usia dan pengalamannya.

Untuk debat selanjutnya, Gibran sebaiknya mengurangi pemakaian istilah-istilah teknis yang tidak populer. Istilah-istilah seperti itu tidak dipahami publik pada umumnya.

Padahal, manfaat debat capres cawapres ialah untuk menyampaikan gagasan kepada masyarakat sebagai pertimbangan untuk memilih capres cawapres.

Cukup sudah pada debat cawapres pertama Gibran menunjukkan bahwa ia tidak “kosong” dan punya cukup wawasan kepada publik.

Cukup sudah Gibran mempertunjukkan kemampuannya untuk membungkam mulut orang-orang yang menganggap tidak tahu apa-apa. Selanjutnya, publik tidak akan meremehkan Gibran lagi.

Penulis Adalah Pemerhati Bahasa Lulusan Program Magister Linguistik Universitas Andalas

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler