Giliran Menengok Anak-Anak dan Cucu-Cucu

Senin, 05 November 2012 – 05:05 WIB
MEMASUKI tahun ke-2 sebagai menteri BUMN saya bisa melangkah ke program yang lebih dalam. Misalnya, pembenahan anak-anak dan cucu perusahaan. Meski jumlah BUMN itu "hanya" 141 buah, anak-anak dan cucunya banyak banget.
   
Tiap minggu Rapim Kementerian BUMN yang secara konsisten dilakukan tiap Selasa pukul 07.00 itu akan ditambah satu agenda: evaluasi anak dan cucu perusahaan. Rapatnya memang lebih panjang, tapi tahap pembenahan anak-cucu perusahaan itu sudah waktunya dilakukan. Efisiensi sudah waktunya dilakukan sampai ke anak cucu.

Pekan lalu sudah dimulai mengevaluasi anak-cucu perusahaan di kelompok industri strategis. Beberapa anak perusahaan yang hanya terus-menerus menyusu ke induknya harus disapih: tidak boleh induk perusahaan terus digerogoti anak perusahaan. Baik penggerogotan keuangan maupun penggerogotan energi. Jangan sampai ada anak perusahaan yang membuat "anak polah bapak kepradah".
   
Tentu banyak anak perusahaan yang harus dipertahankan. Terutama anak perusahaan yang justru memperkuat induknya. Baik memperkuat posisi pasar maupun memperkuat keuangan.
   
Anak perusahaan PT Krakatau Steel yang bergerak di industri hilir baja, misalnya, perlu dipertahankan. Tapi, cucu perusahaan yang berbisnis pembuatan air minum kemasan harus dilepaskan. Terlalu kecil skalanya dan terlalu jauh dari core business-nya.
   
Demikian juga anak-anak perusahaan PT PAL Surabaya. Hanya satu yang boleh diteruskan. Tiga anak perusahaan lainnya harus dilepas. Apalagi, di anak perusahaan tersebut PT PAL hanya memegang saham minoritas.
   
PT PAL harus fokus pada pembuatan kapal, beserta pemeliharaan dan perbaikan. Terutama pembuatan kapal perang. Kementerian Pertahanan kini memiliki anggaran pengadaan persenjataan sangat besar. Ini harus ditangkap semaksimal mungkin. Caranya: membuat Kementerian Pertahanan puas. Mutu kapal yang dibuat sangat baik dan penyelesaian ordernya tidak molor. Kelemahan lama PT PAL di bidang itu tidak boleh lagi terjadi.
   
Tidak ada artinya PAL memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan boiler dan turbin. Apalagi, melangkah lebih jauh: menjadi kontraktor EPC pembangkit listrik. Anak-anak perusahaan tersebut harus ditinggalkan. Terlalu jauh dari bisnis utama PAL. Akhirnya hanya mengganggu reputasi dan nama baik PAL.
   
Waktu awal-awal saya menjabat Dirut PLN, saya menemukan proyek listrik yang macet bertahun-tahun: proyek geotermal Ulumbu di Flores Barat. Akibatnya, listrik di kota Ruteng harus menggunakan genset dengan bahan bakar BBM yang mahal.
   
Kontraktor proyek itu ternyata PT PAL. Macet, cet! PAL tidak punya kemampuan dana dan daya untuk menyelesaikannya. Saya pun menulis "Sumpah Ulumbu" ketika pergi ke Ruteng. Proyek ini harus jadi. Dalam waktu kurang dari dua tahun geotermal Ulumbu menghasilkan listrik yang murah. Efisiensi di PLN pun terjadi.
   
Pembenahan di PAL ini (juga di BUMN lain nanti) akan membuat PT PAL lebih konsentrasi menyehatkan perusahaan. Sudah terlalu banyak energi yang dicurahkan untuk menyelamatkan PAL di masa lalu. Sudah terlalu banyak uang negara yang digelontorkan ke sana. Semua seperti sia-sia. Tahun lalu PAL masih rugi ratusan miliar rupiah.
   
Tahun ini, di bawah manajemen baru, PAL melakukan konsolidasi besar-besaran. Tentu banyak yang marah. Tapi, ibarat kapal yang hampir tenggelam, harus ada pengorbanan. Pembenahan dan pengorbanan itu akhirnya benar-benar ada hasilnya. PT PAL segera keluar dari kerugiannya. Tahun ini juga.
   
Anak dan cucu BUMN yang jumlahnya ratusan perusahaan harus terkendali. Setelah anak-anak dan cucu itu pun, masih banyak pekerjaan berikutnya: penertiban yayasan-yayasan, dana pensiun, dan koperasi-koperasi di bawah BUMN. Huh! Begitu banyak pekerjaan. Begitu sedikit waktu. Begitu ruwet persoalan! Belum lagi urusan kongkalikong! (*)

 Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Pengusaha, Ditipu Itu Penting

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler