Gizi Buruk Tingkatkan Risiko Anak Meninggal Karena Covid-19

Minggu, 14 Juni 2020 – 21:25 WIB
Tubagus Rachmat Sentika. Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta tidak mengabaikan masalah gizi anak Indonesia di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menjelaskan, para pejabat yang menangani masalah gizi di Indonesia harus bertanggung jawab terhadap angka kematian anak yang tinggi akibat covid-19.

BACA JUGA: Pasien Sembuh Covid-19 di Jakarta Mencapai 4.091 Orang

“Sebab, masalah gizi buruk anak Indonesia dianggap menjadi salah satu faktor penyerta yang meningkatkan risiko kematian ini,” kata Agus, Minggu (14/6).

Agus menambahkan, aktivitas posyandu yang berhenti karena pandemi covid-19 membuat pemantauan gizi anak menjadi terganggu.

BACA JUGA: Data 5 Besar COVID-19 di Jatim, Surabaya Makin Hitam Pekat

Oleh karena itu, dia mendorong Kemenkes untuk membuat sebuah terobosan.

Agus setuju bahwa kebijakan pencegahan stunting harus dikawal dan dilakukan mulai pusat sampai daerah melalui kebijakan yang jelas, terkoordinasi dan mudah diimplementasikan.

“Para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah gizi anak ini harus tetap bekerja dan jangan terseret ke urusan yang bukan tugas pokoknya," ungkap Agus.

Di sisi lain, pengamat dan aktivis kesehatan Tubagus Rachmat Sentika mengapresiasi tekad pemerintah menurunkan angka stunting yang menjadi salah satu indikator masalah gizi anak Indonesia.

Namun, Rachmat mengkritisi kurangnya infrastruktur regulasi di Kemenkes dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh.

Meskipun Kemenkes telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019, implementasinya belum berjalan dengan baik.

Rachmat menyampaikan kekhawatirannya bahwa anak penderita stunting yang sekarang berjumlah delapan juta anak bisa makin bertambah jumlahnya.

Sebab, ada anak gizi buruk, gizi kurang, dan gagal tumbuh yang terhambat dalam mendapatkan PKMK sesuai dengan permenkes 29/2019 lantaran beberapa hal.

Pertama, kurangnya persamaan persepsi  antarpemangku kepentingan. Kedua, tata laksana ini belum diaplikasikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, sumber daya yang terbatas karena dilakukan pergeseran fokus (refocusing).

“Kemenkes harus memastikan lokasi keberadaan anak dengan gizi buruk dan kurang akibat penyakit, memastikan ketersediaan PKMK, serta semua petugas kesehatan memahami sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), serta sistem rujukan terintegrasi dan dari sisi pembiayaannya,” tegas Rachmat.

Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Profesor Damayanti dari RSCM di Kabupaten Pandeglang pada 2018 menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk atau kurang naik secara signifikan setelah diberikan PKMK dalam dua bulan.

PKMK yang diberikan berupa minuman dengan kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berkali kali mengingatkan seluruh jajaran menteri terkait untuk tidak melupakan ancaman stunting dan penyakit lainnya di tengah pandemi virus corona.

Jokowi beberapa kali menekankan pentingnya mengatasi masalah stunting pada anak Indonesia.

Dalam satu kesempatan pada tahun lalu, Jokowi pernah menekankan bahwa permasalahan stunting (gagal tumbuh) timbul akibat gizi buruk yang menyebabkan anak-anak berpostur kerdil.

“Hal ini tidak bisa diatasi hanya dengan membagi-bagikan biskuit, tetapi juga perlu dilengkapi dengan penyaluran makanan bergizi lainnya seperti ikan, susu, telur, hingga kacang hijau,” tegas Jokowi. (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Covid-19   Gizi   gizi buruk  

Terpopuler