jpnn.com, JAKARTA - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana melakukan kunjungan ke Glodok Chinatown, Jakarta, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Antarbudaya.
Kunjungan ini dilaksanakan atas arahan dosen pengampu mata kuliah Dr. Rosmawaty Hilderiah Pandjaitan.
BACA JUGA: Penghuni Ruko di Glodok Seketika Berhamburan, Panik, Berteriak Minta Tolong
Melalui kunjungan ini mahasiswa diharapkan dapat mengamati dan memahami kebudayaan secara langsung, bukan hanya berdasarkan materi yang disampaikan di kelas.
Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, tidak hanya dikenal dengan gedung-gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk kotanya, tetapi juga menyimpan jejak sejarah serta keberagaman budaya yang kaya. Salah satu kawasan yang menjadi saksi perjalanan sejarah sekaligus tempat pertemuan berbagai budaya adalah Glodok, sebuah wilayah di Jakarta Barat yang dikenal sebagai Chinatown atau Kampung Pecinan.
BACA JUGA: Karnaval Cap Go Meh Glodok Bakal Dijadikan Event Tahunan
Di tengah arus modernisasi, Glodok tetap mempertahankan identitasnya sebagai ruang hidup yang merepresentasikan perpaduan budaya Tionghoa dan Indonesia. Kawasan ini bukan hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga pusat edukasi budaya yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Sebagai salah satu kawasan Pecinan tertua di Indonesia, Glodok telah menjadi saksi sejarah panjang sejak abad ke-17. Kawasan ini awalnya dibentuk oleh komunitas Tionghoa yang menetap di bawah kebijakan kolonial Belanda.
BACA JUGA: Inilah Janji Ridwan Kamil kepada Warga Tionghoa di Glodok
Hingga kini, Glodok tetap hidup sebagai pusat perdagangan dan budaya yang melibatkan generasi muda untuk menjaga kelestarian tradisi Dengan berjalan di sepanjang jalan sempit Glodok, pengunjung dapat menyaksikan warisan budaya Tionghoa yang masih lestari hingga kini.
Bangunan-bangunan klasik dengan arsitektur khas Tionghoa, seperti Kelenteng Jin De Yuan, menjadi salah satu daya tarik utama. Kelenteng yang berdiri sejak tahun 1650 ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi destinasi edukasi, sekaligus bukti nyata bagaimana budaya Tionghoa terus hidup dan berdampingan dengan budaya Indonesia.
Ornamen khas Pecinan, seperti lampion, warna merah keemasan, dan tulisan Hanzi, terlihat harmonis berdampingan dengan elemen modern seperti ruko dan gedung tinggi di sekitarnya.
Keharmonisan visual ini menjadi bentuk komunikasi budaya yang menggambarkan semangat keterbukaan dan adaptasi antara budaya tradisional Tionghoa dan pengaruh Indonesia.
Glodok menjadi sebuah Jejak Sejarah yang Menciptakan Dialog Antarbudaya. Di jantung kawasan Glodok, Jakarta Barat, berdiri megah Candra Naya, sebuah bangunan bersejarah yang menyimpan cerita panjang mengenai kehidupan komunitas Tionghoa di Indonesia.
Candra Naya tidak hanya sekadar bangunan tua, melainkan juga menjadi pusat pembelajaran komunikasi antarbudaya yang masih kental hingga saat ini.
Candra Naya adalah contoh nyata dari bagaimana budaya dapat saling mengisi dan berinteraksi. Melalui sejarah dan arsitekturnya, serta berbagai acara budaya yang berlangsung di sekitar kawasan, Candra Naya memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi antarbudaya dalam kehidupan sehari-hari. Bangunan ini menjadi saksi hidup dari perjalanan sejarah panjang yang membentuk identitas budaya Jakarta, dengan nilai-nilai keberagaman yang terus hidup hingga saat ini.
Selain itu, komunikasi antarbudaya juga terlihat di Pasar Petak Sembilan, yang merupakan jantung kegiatan ekonomi di Glodok. Pasar ini tidak hanya menjadi tempat transaksi, tetapi juga ruang belajar komunikasi lintas budaya. Di sini, penduduk lokal dari berbagai etnis, seperti Betawi, Sunda, Jawa, bahkan wisatawan mancanegara, berbaur dalam interaksi sehari-hari yang memperlihatkan fleksibilitas budaya.
Kawasan Pancoran Glodok terkenal dengan interaksi antar budaya yang begitu hidup. Pasar Petak Sembilan menjadi pusat dari aktivitas ini. Di sini, pengunjung dapat melihat harmoni antara masyarakat Tionghoa, Betawi, dan etnis lainnya melalui perdagangan, kuliner, serta festival budaya.
Salah satu contohnya adalah tradisi Imlek yang dirayakan secara terbuka, di mana warga lokal dari berbagai latar belakang turut memeriahkan acara seperti barongsai, perayaan Cap Go Meh, dan pembagian angpao.
"Saya selalu merasa diterima di sini, meskipun saya bukan dari komunitas Tionghoa," ujar Rini, seorang warga asli Betawi yang kerap mengunjungi Glodok.
Pasar Petak Sembilan ini menjadi destinasi kuliner bagi wisatawan dan masyarakat setempat.
Selain beragam kulinernya, Pasar Petak Sembilan juga terdapat ruko-roko yang menjual berbagai obat-obatan tradisional khas Tionghoa dan Busana khas Tionghoa seperti cheongsam.
Banyak pedagang menggunakan bahasa Indonesia, dialek Tionghoa, atau bahkan bahasa Inggris untuk melayani pembeli dari berbagai latar belakang. Pola komunikasi ini mencerminkan bagaimana budaya Glodok telah beradaptasi dengan keberagaman pengunjungnya, sekaligus menunjukkan kemampuan masyarakat Glodok untuk menjadi jembatan budaya tanpa kehilangan identitas asli mereka.
Glodok menghadapi tantangan modernisasi yang mengancam kelestarian tradisi, terutama di kalangan generasi muda. Namun, melalui inisiatif edukasi dan kerja sama berbagai pihak, kawasan ini terus berupaya melestarikan budaya Tionghoa dan membangun harmoni budaya di Indonesia.
Sebagai simbol simbiosis budaya, Glodok menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dirawat bersama.
Komunikasi antarbudaya yang terjalin di kawasan ini mengajarkan pentingnya toleransi dan keterbukaan dalam menciptakan keharmonisan di tengah dinamika kehidupan modern. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Senang Pembangunan Jembatan Rampung, Warga Sudda Enrekang Gelar Syukuran
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti