jpnn.com - JAKARTA-Partai politik tampaknya masih pada pendirian bahwa praktik politik dinasti bukanlah hal yang negatif. Terbukti dengan masih banyaknya famili kepala daerah yang diusung untuk maju di pilkada serentak gelombang dua.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyesalkan sikap partai-partai tersebut. Pasalnya, politik dinasti adalah praktik yang mematikan demokrasi.
BACA JUGA: Ini Susunan Pengurus BM PAN Periode 2016-2021
”Politik itu bukan hanya perhelatan dinasti, tapi juga perhelatan rakyat,” ujar Ray dalam diskusi bertajuk 'Politik Dinasti: Apa Gunanya Bagi Republik dan Demokrasi?' yang digelar di Menteng East, Jalan Agus Salim, Jakarta Minggu (18/9).
Di Indonesia, lanjut Ray, politik dinasti adalah masalah serius yang sangat sulit untuk dihilangkan. Pasalnya, pengusung utama politik dinasti adalah dua partai paling besar di negeri ini, PDI Perjuangan dan Golkar.
BACA JUGA: PKS Jaksel Klaim 100 Persen Solid Menangkan Sandiaga - Mardani
”Dari dua ini, yang paling banyak itu Golkar. Seperti di Banten, Sulsel dan Sumsel,” bebernya.
Dia berharap ke depannya paradigma berpikir partai politi dapat berubah. Seharusnya, partai mengandalkan mekanisme kaderisasi dan pembinaan untuk mencari bibit-bibit baru pemimpin, bukan mengandalkan politik dinasti.
BACA JUGA: Dilarang Berspekulasi sebelum SBY Ambil Keputusan
”Saya berharap Golkar bisa mulai terbuka terhadap regenerasi partai, tidak lagi terjebak politik dinasti,” imbuh Ray.
Hal senada dikatakan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil. Menurut dia, sifat pragmatis dan kemalasan partai politik melakukan kaderisasi adalah penyebab utama maraknya politik dinasti.
Fadli mengatakan, karena pragmatisme, partai politik akan selalu memilih calon kepala daerah yang memiliki potensi kemenangan tertinggi. Politik dinasti menyediakan jalan pintas bagi partai untuk melakukan itu.
”Praktik yang terjadi di Banten itu bisa menjadi contoh. Tidak ada alat ukur jelas siapa yang mereka usung,” kata dia.
Dia juga menuturkan, parpol terkesan tutup mata melihat latar belakang calon yang mereka usung. Termasuk calon yang berkerabat dengan mantan kepala daerah yang terlibat korupsi.
Menurutnya, hal itu menggambarkan bahwa efek jera dari hukuman pelaku tindak pidana korupsi tidak dirasakan oleh parpol sebagai salah satu organ tunggal untuk mengajukan pasangan calon.
”Seleksi itu tidak ada,” tandasnya. (aen/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politikus PDIP Kecewa, Giring Pendukung Gabung Calon Golkar
Redaktur : Tim Redaksi