jpnn.com - jpnn.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kupang belum secara resmi menetapkan hasil perolehan suara pasangan calon pada Pilwalkot Kupang. Kendati demikian, KPU juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi terkait hasil Pilwalkot lewat Portal KPU. Karena hasilnya akurat dan tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh malalui proses rekapitulasi secara berjenjang.
Berdasarkan hasil yang dirilis Portal KPU, partisipasi pemilih dalam Pilwalkot Kupang hanya mencapai 70,1 persen. Dengan demikian, Kota Kupang tidak mampu memenuhi target nasional yang telah ditetapkan sebesar 75,5 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
BACA JUGA: Selisih Tipis, Pilkada Tujuh Daerah Berpotensi Digugat
Menyikapi fakta ini, pengamat Hukum Administrasi Negara Universitas Nusa Cendana, John Tuba Helan mengatakan, tingginya angka golput pada Pilwalkot Kupang karena masyarakat disuguhi pilihan yang terbatas. Hanya dua pasangan calon saja yang bertarung.
“Kedua calon ini mungkin tidak disukai sehingga masyarakat memilih untuk tidak memilih," kata Tuba Helan.
BACA JUGA: PDIP Incar Partai Pengusung Agus-Sylvi
Menurutnya John Tuba Helan, ini pertanda bahwa parpol gagal menciptakan kader yang baik untuk maju di pilkada. Akibatnya, semua parpol menumpuk pada satu calon. "Akhirnya hanya dua calon yang bisa maju. Yang lain tidak dapat pintu. Masyarakat akhirnya tidak ada pilihan lain. Makanya tidak heran kalau golput tinggi," urai Tuba Helan.
Hal senada dikemukakan pengamat politik dari Universitas Muhhamadiyah Kupang, Ahmad Atang.
BACA JUGA: Demi Ahok-Djarot, PDIP Jalin Komunikasi Dengan Demokrat
Dari hasil analisa Ahmad Atang, rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilwalkot Kupang disebabkan empat faktor. Pertama, rumitnya sistem administrasi kependudukan yang kemudian berpengaruh pada akurasi data pemilih. Sehingga tak heran, di akhir-akhir jelang pencoblosan, ada kebijakan untuk menggunakan e-KTP atau surat keterangan yang dikeluarkan Dispendukcapil. Khususnya bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT.
“Animo masyarakat untuk mengurus keabsahan identitas itu juga lemah. Akhirnya berpengaruh pada akurasi data pemilih lebih. Ada juga pendobelan nama pemilih pada DPT,” ujar Atang kepada Koran ini, Senin (20/2).
Kedua, lanjut Atang, masyarakat Kota Kupang sangat dinamis. Mobilitas masyarakatnya juga sangat tinggi. Sehingga bisa jadi pada saat yang bersamaan dengan pelaksanan Pilwalkot, masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tidak berada di tempat.
Ketiga, kata Atang, lebih disebabkan faktor politis, yakni minimnya kontestan yang tampil. Akibatnya, masyarakat tidak punya alternatif pilihan lain, selain kedua paslon yang ada. Dan ketika pemilih ternyata tidak senang dengan kedua paslon, bisa jadi mereka mengambil sikap untuk tidak memilih/golput.
“Apalagi ada dua paslon independen yang digugurkan pada tahap verifikasi dukungan. Tentunya mereka punya pendukung fanatik,” ungkapnya.
Faktor keempat yang juga menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih, demikian Atang, yakni tidak maksimalnya sosialisasi, baik yang dilakukan penyelenggara (KPU) maupun oleh partai politik dan paslon.
“Tugas sosialisasi bukan hanya tanggung jawab peneyelenggara. Parpol dan paslon harus mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pilkada,” tandasnya.
Dengan tingginya angka golput yang hampir mencapai 30 persen, Atang menyimpulkan, hasil Pilkada tetap legal secara formal. Namun, legitimasinya masih kurang. Artinya, Paket FirManmu secara hukum sah sebagai Paslon terpilih, tetapi dari sisi pengakuan publik, memang masih kurang.(sam/r2/ito/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Terdakwa, AHM Tetap Optimistis Maju Pilgub
Redaktur & Reporter : Friederich