Grand Prix Formula 1 Perdana Texas di Mata Fans Indonesia

Paha Kalkun Bikin Capek Mulut, Burger Banteng Enak tanpa Saus

Kamis, 22 November 2012 – 14:41 WIB
PAHA KALKUN: Dewo Pratomo (kiri), bersama Sugeng Haryadi dan istrinya, Eka Dewi Vegajanti, saat nonton Grand Prix Amerika Serikat di Circuit of the Americas, Austin, Texas, Minggu (18/11). Foto: JPPhoto

Di antara ratusan ribu penonton Grand Prix Amerika Serikat di Austin, terdapat sejumlah fans asal Indonesia. Berikut pengalaman seru mereka, dituturkan secara jenaka oleh DEWO PRATOMO, F1 Mania Surabaya yang juga kontributor Jawa Pos.
 
= = = = = = = = = = =


GRAND Prix Amerika Serikat di Austin, Texas, merupakan lomba nomor 21 yang saya hadiri secara langsung. Circuit of the Americas (COTA) merupakan sirkuit kesembilan yang pernah saya kunjungi.
 
Dari overall experience, GP AS di COTA ini termasuk yang paling mengesankan. Masa terbang yang jauh memberikan siksaan tersendiri, namun terbalas oleh suasana menonton yang sulit ditandingi tempat lain.

Saya bersama beberapa teman F1 Mania Surabaya, plus beberapa teman dari Jakarta dan kota lain, naik pesawat ke Texas Kamis pekan lalu (17/11). Yang dari Surabaya ke Singapura dulu, lalu ke Moskow, berakhir di Houston, Texas, AS.

Total terbang 25,5 jam, bonus transit total hampir enam jam di Singapura dan Moskow. Grand total lebih dari 30 jam! Karena jam Indonesia lebih dulu 13 jam, jadi kami tetap bisa mendarat di Houston Jumat sore waktu setempat (18/11).

Dari Houston memang butuh naik mobil lebih dari tiga jam menuju Austin. Tapi, Yenny "Ekies" Erika dan suaminya, Robianto Haripurnomo, yang pengalaman bikin tur F1 lewat perusahaan mereka, Lily Tour, sudah mengatur jadwal supaya perjalanan tidak lebih menyiksa lagi.

Jumat malam itu kami menginap di Houston. Sabtu pagi-pagi menuju Austin dan COTA untuk nonton kualifikasi, Sabtu malam menginap di Austin, lalu Minggu sore setelah lomba kembali lagi ke Houston.

Perjalanan ke Houston ini merupakan pengalaman terlama saya naik pesawat. Kami mencoba membunuh kebosanan dengan berbagai cara. Mengomentari lamanya penerbangan, Sugeng Hariadi dari Surabaya nyeletuk: "Kita ini seperti ayam pedaging. Dibatasi geraknya, tapi dikasih makan terus. Keluar pesawat, kita tambah gemuk."

Belajar dari penumpang lain, saya ikutan nongkrong di bagian ekor pesawat. Ada yang senam ringan, ada yang nongkrongi "dapur" pesawat. Semua makanan dan minuman untuk kelas ekonomi ada di sana, hehehe..

Sabtu, rombongan kami agak telat sampai sirkuit. Yang lama urusan tempat parkir dan jalan kaki ke arena. Permasalahan yang sama dengan sirkuit-sirkuit lain ketika baru kali pertama dikunjungi F1. Kebetulan, saya juga jadi saksi lomba pertama di Shanghai 2004 dan India 2011.
 
Dari Houston menuju Austin, kami melintasi pemandangan rumah-rumah dengan halaman ladang dan peternakan. Benar-benar di daratan Amerika asli!
 
Semula, bus kami sempat parkir 2 km dari sirkuit. Setelah kami minta agar lebih gigih, akhirnya kami bisa mendapat tempat lebih dekat. Sambil keliling, tampak ada beberapa lahan parkir dadakan untuk kamping karavan dan kendaraan. Harganya variatif. Yang berjarak 2 km dari COTA bertarif USD 20 (Rp 200 ribu), yang paling dekat sampai USD 45 (Rp 450 ribu).
 
Mereka yang parkirnya jauh harus jalan menyusuri "tegalan". Kontras sekali dengan di Singapura. Yang untuk menuju sirkuit, penonton harus keluar masuk mal dan gedung perkantoran.
 
Tiba di sirkuit, saya sempat shock. Melihat begitu banyak penonton menyemut untuk nonton kualifikasi. Baru kali ini, dari semua lintasan yang saya kunjungi, ada penonton begitu banyak pada hari Sabtu. Panitia mengklaim penonton Sabtu itu tembus 80 ribu orang!
 
Rasanya jadi makin bersemangat. Saya pun naik salah satu shuttle bus, yang tak henti keliling mengantar penonton dari ke semua pintu tribun. Sekalian ingin lihat seperti apa keliling COTA.
 
Salah satu keunggulan COTA, menurut saya, adalah staf-stafnya yang aktif dan ramah. Sangat menonjolkan ciri khas keramahan Austin dan Texas. Ketika masuk gate, semua menyapa penonton: "Hi, how are you?". Ketika selesai memeriksa tas atau scan tiket, langsung bilang lagi, "Have a great day" atau "Enjoy the race".
 
Hebatnya lagi, minuman dan makanan tidak disita seperti di tempat lain. Mungkin itu berdasar pelajaran hari pembukaan Jumat (babak latihan). Kabarnya, stan-stan makanan terkejut dengan jumlah penonton, dan kehabisan stok sehingga bikin kecewa banyak sekali pengunjung.
 
Sabtu itu, target utama saya dan teman-teman bukanlah nonton kualifikasinya. Melainkan. berburu merchandise. Dalam hal ini, terlihat lagi perbedaan lain COTA dengan yang lain. Di COTA, orang lebih memburu merchandise COTA daripada tim-tim peserta.
 
Antrean beli merchandise-nya gila-gilaan. Bisa sepuluh jalur, masing-masing mengular panjang ke belakang. Kami tetap niat antre, karena sadar kalau menunggu Minggu sebelum lomba, antrean bakal jauh lebih panjang!
 
Merchandise sirkuit berupa kemeja dibanderol USD 75 (Rp 750 ribu), topi USD 25 (Rp 250 ribu), dan aneka kaus oblong masing-masing USD 35 (Rp 350 ribu).
 
Penataan sirkuit sangat menarik. Mau nonton dari mana saja nyaman. Suhu udara yang sejuk, sekitar 20 derajat Celsius ketika matahari bersinar tengah hari, membuat suasana makin nyaman (walau sangat dingin pada pagi atau petang saat matahari belum nongol atau sudah bersembunyi).
 
Rombongan kami menonton dari tempat berbeda-beda. Sulit mencari tempat bareng, karena tiket sold out seminggu sebelumnya. Saya dan beberapa kawan menikmati lajunya mobil di Turn 9, yang harga tiketnya untuk seluruh weekend USD 550 (Rp 5,5 juta). Sedangkan Ekies dan Robianto nonton di Turn 12 (tempat menyalip utama), yang harganya USD 1.000 (Rp 10 juta).
 
Dari pengalaman, seandainya dapat kesempatan lagi nonton di Austin, saya ingin beli yang general admission saja (tak sampai Rp 2 juta). Lebih bebas bergerak, bisa pindah-pindah memilih bukit rumput untuk menonton dari sudut yang berbeda-beda.
 
Penonton Amerika suka jalur ini. Mereka bawa kursi lipat sendiri dan payung. Tak sedikit yang menjadikannya arena piknik keluarga, sambil momong anak. Termasuk anak balita yang tertidur di kereta bayi.
 
Bagi saudara-saudara kita yang sakit atau cacat, COTA juga punya fasilitas pendukung lengkap. Ada shuttle bus yang bisa mengangkut kursi roda. Golf cart dan pengemudinya tersedia di mana-mana untuk menolong mereka yang mengalami kesulitan jalan jauh.
 
Agar tidak kehilangan momen lomba, setiap counter makan dan minum dipasangi layar televisi. Bahkan. suara komentator masih bisa didengar dari dalam toilet di main grandstand!
 
Supaya suasana lebih hidup, panitia juga membangun beberapa panggung hiburan live music. Termasuk, panggung piano yang memainkan musik country sampai lagu-lagu Justin Bieber. Penonton pun tidak bosan ketika di lintasan sedang tidak ada action.
 
Saat akan meninggalkan sirkuit Sabtu sore, keramahan para petugas kembali terasa. "See you tomorrow!" ucap mereka kepada semua penonton.
 
Malam Minggu, kami dan teman-teman langsung menuju Austin Fan Fest di downtown. Dari hotel, kami berjalan kaki menuju stasiun kereta terdekat, menuju tengah kota. Karena begitu banyaknya orang, kami berimpitan di dalam kereta selama sekitar 20 menit perjalanan.
 
Ajang Fan Fest benar-benar memberi nilai lebih. Banyak yang bisa dilihat. Mulai mobil-mobil klasik, panggung musik, serta berbagai stan sponsor yang atraktif. Stan merchandise COTA juga ada. Stan itu juga diwarnai antrean. Untungnya tidak sepanjang di lintasan.
 
Salah satu stan menarik adalah stan merchandise klasik F1. Isinya lukisan-lukisan mobil F1, replika helm pembalap, dan koleksi foto-foto klasik F1. Harga" Kaus dan topi di bawah USD 50 (Rp 500 ribu), tapi lukisan-lukisan mendekati angka USD 1.000 (Rp 10 juta).
 
Sebuah gambar action mendiang Ayrton Senna, yang dibumbui tanda tangan sang juara dunia tiga kali, telah laku dengan harga USD 2.200 atau Rp 22 juta!
 
Pada Minggu, saya dan beberapa teman bersepakat pakai baju batik ke sirkuit. Hitung-hitung sekalian mempromosikan produk Indonesia!
 
Hari itu, kami punya target baru. Menikmati menu-menu makanan seru utama yang tersedia di COTA.
 
Pada Sabtu, kami sempat makan pretzel dan nachos. Minggu, giliran menjajal Turkey Leg (paha kalkun). Ribuan paha kalkun itu dipanasi sejak pagi. Harga sebuahnya USD 15 (Rp 150 ribu). Ukuran" Besar sekali, lebih besar dari kaki bayi.
 
Saya, Sugeng Hariadi, dan istrinya, Eka Dewi Vegajanti, membeli empat buah. Pak Sugeng beli dua, satu lagi untuk cadangan ketika lomba atau saat perjalanan pulang.
 
Melihat besarnya paha kalkun, saya pinjam punya Pak Sugeng dan pura-pura beraksi seperti menabuh beduk. Lalu, seperti main kolintang. Lalu, seperti sedang berlatih angkat barbel.
 
Gerakan-gerakan saya tersebut ternyata mengundang perhatian penonton. Gara-gara paha kalkun, saya jadi bahan jepretan banyak penonton lain. Lumayan, jadi atraksi tambahan COTA!
 
Untungnya, keistimewaan paha kalkun bukan hanya ukurannya. Sangat empuk dan rasanya sangat enak. Mak nyus! Jujur, enak sekali. Tapi, bikin lelah gigi dan mulut.
 
Di stan lain, dijual pula Buffalo Burger (daging banteng Texas), harganya USD 10 (Rp 100 ribu). Ekies dan Robianto membelikan beberapa untuk kami makan setelah lomba. Seperti peserta Master Chef, kami terus membahas kedahsyatan burger itu. Rotinya empuk dan lembut, dagingnya enak. Bagian luar daging terbakar garing tapi dalamnya masih merah setengah matang.
 
Cukup dengan sayuran yang ada tanpa saus, rasanya sudah wow! Kata Ekies, rasanya jauh lebih enak lagi ketika masih hangat. Semua pengalaman nonton Grand Prix Amerika Serikat itu bikin kami bersepakat berusaha untuk kembali pada tahun-tahun berikutnya. Tulisan sebuah suvenir tempelan kulkas yang saya beli di hotel di Houston mampu merangkum perasaan itu.
 
Bunyi tulisannya, kutipan dari Davy Crockett, tokoh politikus/perang era 1800-an di Amerika, seperti ini: "You may all go to hell and I will go to Texas". (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lobi Mulus, Ical Hanya Tanya Data Fadli Nurzal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler