Gua Maria Grabag dan Kisah Muslim Tidur di Gereja

Selasa, 11 Juni 2019 – 07:37 WIB
Gua Maria di Kapel Santo Yusup, Grabag, Kabupaten Magelang. Foto: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

jpnn.com - Keberadaan Gua Maria sudah melekat dengan umat Katolik. Di Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terdapat Gua Maria yang sejarah pembangunannya tak terlepas dari sebuah peristiwa yang dialami seorang muslim.

A Antoni, Magelang

BACA JUGA: Umat Katolik Sri Lanka Masih Ketakutan, Warga Muslim Resah

GUA Maria Grabag merupakan bagian dari lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi kompleks Kapel Santo Yusup dan SMP Pendowo. Lokasinya di Jalan Raya Cokro, Dusun Puntingan, Kelurahan Grabag, Kecamatan Grabag, sekitar 5 kilometer dari jalan nasional antara Magelang - Semarang.

Dalam tradisi Katolik, Gua Maria merupakan tempat ziarah dan devosi. Sebuah lokasi bisa ditetapkan sebagai Gua Maria karena pertimbangan penampakan supranatural Maria ataupun faktor sejarah tempat devosi dan ziarah umat Katolik.

BACA JUGA: Ave Maryam, Cinta di Antara Tanggung Jawab Hidup Selibat

Umat Kapel Santo Yusup pun tak serta-merta membangun Gua Maria. “Ada sejarahnya,” ujar Subiantoro selaku pengawas Kapel Santo Yusup dan Gua Maria Grabag belum lama ini.

Pria asal Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta itu bisa dibilang yang babat alas lokasi yang saat ini menjadi Kapel Santo Yusup dan Gua Maria Grabag. Pak Bi -sapaan akrabnya- meninggalkan kampung halamannya untuk menjadi pengajar di SMP Pendowo Grabag yang dibangun pada 1982.

BACA JUGA: Paus Fransiskus Pimpin Misa Publik Pertama di Uni Emirat Arab

Selang delapan tahun kemudian atau pada 1990, sebuah kapel dibangun di kompleks SMP Pendowo. Kapel itu berada di bawah Keuskupan Agung Semarang.

Subiantoro menuturkan, pada saat proses pembangunan kapel ada tukang batu yang sering tidur di dalam gereja kecil tersebut. Namanya Sukemi.

Pada suatu malam Sukemi mengalami hal yang mengejutkannya. Tiba-tiba pintu kapel terbuka dan muncul sosok perempuan berjubah memandang dengan wajah tersenyum ke arah Sukemi.

Pagi keesokan harinya Sukemi melaporkan peristiwa itu kepada Slamet selaku pengawas pembangunan gereja. Slamet lantas menunjukkan gambar Bunda Maria kepada Sukemi.

“Pak Kemi bilang perempuan yang muncul persis di foto (Bunda Maria, red) yang ditunjukkan Pak Slamet,” ujar Subiantoro.

Pria berkumis dengan rambut memutih itu mengatakan, Sukemi adalah seorang muslim. “Pak Kemi tetap muslim hingga akhir hayatnya,” tuturnya.

Peristiwa yang dialami Sukemi itulah yang melatari umat Stasi Santo Yusup Grabag membangun Gua Maria pada tahun 2000. Lokasinya persis di belakang kapel.

Subiantoro menjelaskan, patung Bunda Maria dan Yesus yang ada di lokasi tersebut merupakan karya seorang pematung di Magelang. Menurutnya, banyak pengunjung menganggap patung Bunda Maria berbahan fiber itu punya kekhasan tersendiri.

“Yang bikin patung juga muslim. Pematungnya berpuasa sebelum membuat patung Bunda Maria,” tuturnya.

Adapun bahan gua berupa batu wadas didatangkan dari Gunungkidul, DIY. Beberapa tahun kemudian, Gua Maria Grabag diresmikan pada 23 Juli 2005 melalui pemberkatan oleh Mgr Ignatius Suharyo yang kala itu masih menjabat Uskup Agung Semarang.

Belum lama ini patung Bunda Maria dan Yesus di Kapel Santo Yusup dicat ulang. Yang dipercaya mengecat ulang kedua patung itu adalah Triwarno, warga Kaloran, Kabupaten Temanggung.

“Pak Triwarno penganut Buddha. Patungnya kami turunkan dan kami bawa ke rumah Pak Warno untuk dicat ulang,” papar Subiantoro.

Di area doa Gua Maria Grabag juga terdapat sumur. Letaknya hanya sekitar 2 meter dari mulut gua.

Subiantoro lantas menceritakan sumur sedalam 12 meter yang digali berbarengan dengan pembangunan gereja itu. Menurutnya, air sumur itu semula berbau dan tak layak minum.

“Untuk mandi saja rasanya tak enak,” kenang Subiantoro.

Hingga akhirnya sumur itu melewati proses pemberkatan. Ternyata airnya menjadi bening.

Subiantoro menyebut total dissolved solids (TDS) air dari sumur lebih rendah ketimbang produk air minum dalam kemasan bermerek kondang. “Banyak yang datang ke sini minum langsung atau membawanya pulang,” ucap Subiantoro sembari menunjuk ke arah keran yang tersambung dengan tandon penampung air sumur.

Kisah mistis di Gua Maria Grabag bukan hanya seputar peristiwa yang dialami Sukemi. Subiantoro menuturkan, beberapa pengunjung ada yang melihat jubah Bunda Maria bergerak seperti tertiup angin.

Menurutnya, hal seperti itu tidak terjadi sekali atau dua kali. “Pernah ada tiga orang yang melihat kejadian serupa pada saat sama,” ucapnya.

Kini, Gua Maria Grabag sering menjadi tujuan para peziarah. Jumlah pengunjung pada saat akhir pekan biasanya lebih banyak.

“Biasanya ada yang datang, berdoa dan menyalakan lilin di depan gua. Setelah itu pulang bawa air,” kata Pak Bi.

Menurutnya, Kapel Santo Yusup maupun Gua Maria terbuka bagi siapa pun. Sebuah spanduk bertuliskan Membangun gereja yang inklusif demi terwujudnya peradaban kasih terpasang di tembok Kapel Santo Yusuf.

“Yang berkunjung ke sini bukan hanya umat Katolik, karena dari agama lain pun ada. Kami terbuka bagi siapa pun yang datang untuk berdoa,” pungkasnya.(ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MUI Minta Jokowi Saksikan Kerukunan Agama Lewat Pesparani


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Gua Maria   Katolik   Kapel   Grabag  

Terpopuler