jpnn.com - JAKARTA - Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah diam-diam sudah meninggalkan Bareskrim Polri, Rabu (8/7) sekitar pukul 15.00. Kala itu dia baru saja digarap sebagai saksi kasus dugaan korupsi pembayaran honor Tim Pembina Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus, Bengkulu tahun 2011 senilai Rp 5,4 miliar.
Kedatangan dan kepulangan Junaidi ke Bareskrim luput dari pantauan media. Kuasa Hukum Junaidi, Muspani membenarkan kliennya sudah selesai diperiksa pukul 15.00.
BACA JUGA: Beberapa Peserta Seleksi Capim KPK Dinyatakan Gugur, Ini Nama-namanya
Menurut Muspani, kliennya diperiksa soal surat keputusan (SK) nomor Z.17 XXXVIII tahun 2011 tentang pembinaan manajemen RSU M Yunus yang diterbitkan Junaidi. "Jadi Pak Gubernur perlu menjelaskan soal bagaimana SK itu terbit. SK itu terbit karena kebutuhan SKPD/rumah sakit. Diajukan ke Pemda Provinsi, melalui Biro Hukum," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (8/7).
Dia mengklaim penerbitan SK itu sudah sesuai dengan prosedur. Dia membantah SK itu bertentangan dengan Permendagri nomor 61 tahun 2007 tentang Dewan Pengawas.
BACA JUGA: Resmi jadi Tahanan KPK, Bupati Morotai Berlebaran di Rutan Guntur
Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah tidak mengenal tim pembina. Malah, Musfani menegaskan, SK itu merupakan turunan dari Permendagri Nomor 61. "Jadi Tim Pembina Rumah Sakit M Yunus dibentuk karena sistem BLUD, karena untuk mengawasi rumah sakit," katanya.
"Nah sekarang, dalam persidangan lalu di Bengkulu dianggap bertentangan dengan Permendagri, padahal justru SK ini dibuat menindaklanjuti keputusan Mendagri Nomor 61. Ini adalah payung hukum bagi RSMY dalam menjalankan BLUD," timpalnya.
BACA JUGA: Ini Nama-Nama Peserta Seleksi Capim KPK yang Dinyatakan Gugur
Ia pun menyebut ini merupakan persoalan administrasi. Kalau semua SK dipidana, kata dia, maka bisa hancur negeri ini. "Kalau begitu, kapolri bisa dipidanakan juga selaku pembuat keputusan," katanya.
Karenanya, Muspani mengatakan, pihaknya memberi masukan kepada Bareskrim untuk mengacu pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Disitu dibuat dengan mekanisme, kalau SK itu melanggar kewenangan seperti yang dituduhkan, seperti apa penyelesaiannya. Jadi sebelum masuk pidana selesaikan dulu administratifnya. Bukan pidananya dulu. Kasian pejabat publik yang membuat keputusan kalau begini," kata dia. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Novel Baswedan Tetap Merasa Dikriminalisasi
Redaktur : Tim Redaksi