Guru Besar IPB Beri Solusi Atasi Krisis Ekonomi Akibat Corona

Senin, 20 April 2020 – 00:16 WIB
Guru Besar IPB Prof Asep Saefuddin. Foto: Istimewa

jpnn.com, JAKARTA - Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Asep Saefuddin mengungkapkan, krisis ekonomi akibat Corona (Covid-19) lebih dahsyat dampaknya dibandingkan 1998.

Pada 1998, kata Asep, Indonesia mengalami krisis multidimensi khususnya politik dan ekonomi. Sektor pertanian menjadi salah satu penyelamat ekonomi negara. Saat itu sektor ril pertanian bisa tumbuh sekitar 4 persen sementara sektor industri dan perbankan anjlok di bawah nol.

BACA JUGA: Mahasiswa IPB Sembuh dari Virus Corona, Alhamdulillah

"Memang waktu itu sektor informal seperti kerajinan, para pedagang kaki lima, dan pariwisata termasuk yang turut menyangga rontoknya ekonomi. Akan tetapi, krisis saat ini, di mana kita dihadapkan pada musuh yang tidak terlihat Covid-19, sektor-sektor ini pun tidak mampu menjadi solusi," kata ahli statistik dan ekonomi pertanian ini kepada JPNN.com, Minggu (19/4).

Dia melanjutkan, ojol, buruh pabrik, karyawan hotel, mal, tukang potong rambut, mendadak kehilangan pekerjaan. Tentu saja daya beli masyarakat terjun bebas. Keadaan menjadi sulit, jauh lebih sulit ketimbang krisis 1998.

BACA JUGA: Penelitian IPB dan UI tentang Antivirus Corona, Semoga Bermanfaat

"Saya berkeyakinan sektor pertanian akan mampu menyangga keadaan ini asal pemerintah benar-benar memanfaatkannya. Tentunya dibantu dengan perusahaan swasta yang bergerak di komoditas pertanian, dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti digital marketplace," katanya.

Mengapa? Karena pertanian bisa menghasilkan bahan pokok, obat-obatan herbal, kandungan gizi dan vitamin yang sangat diperlukan untuk daya tahan tubuh manusia. Kesehatan inilah yang bisa menangkal masuknya Covid-19 ke dalam tubuh manusia. Lalu bisnis rantai pasoknya bisa menggunakan aplikasi (digital marketplace).

BACA JUGA: Komplotan Pelaku Gendam Akhirnya Ditangkap, Tiga Wanita, Tuh Tampangnya

Dengan rasionalitas itu, lanjut Prof Asep yang juga rektor Universitas Al Azhar Indonesia, model ekonomi yang diperlukan saat ini adalah endogenous growth theory yang diusung oleh Paul Romer, pemenang Nobel Ekonomi 2018.

Konsepnya sangat menekankan kekuatan internal, bukan faktor eksternal yang umumnya diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam model endogen ini, setidaknya ada komponen sumber daya alam, sumber daya manusia, riset, pemerintah, dan pendidikan.

Berangkat dari konsep itu, maka sektor pendidikan yang harus disiapkan dalam menghadapi Covid-19 adalah pendidikan pertanian. "SMK Pertanian harus diperkuat yang bisa menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang," ucapnya.

Mengapa SMK Pertanian? Karena menurut Asep, dalam prakteknya tinggal menerapkan penemuan-penemuan atau ilmu-ilmu yang sudah tersedia. Jadi tidak diperlukan bobot teori yang banyak dalam proses pendidikannya. Tinggal praktek dari hari ke hari. Plus sumber daya alam sangat berlimpah.

Di masa Covid-19 ini SMK Pertanian bisa dititipkan menanam rempah-rempah yang berkhasiat untuk daya imunitas kita, seperti jahe, kunyit, sereh, temulawak, bawah merah, bawang putih dan lain-lain yang dikenal sebagai bahan bumbu masak natural (empon-empon).

Komoditas ini pun bisa jadi penggerak ekonomi berbasis sumber daya alam Indonesia. Secara teori ekonomi endogen, komoditas ini akan memperkuat fondasi ekonomi secara laten dan berjangka panjang, bahkan selama-lamanya, selama ada kehidupan.

Pada saat wabah melanda, produk-produk herbal ini bisa saja disebar ke pasar atau melalui digital marketplace dalam bentuk bahan mentah. Namun dalam jangka menengah dan panjang bisa diolah terlebih dahulu menjadi bumbu masak, bahan kosmetik, kesehatan, dan obat-obat herbal. Produk pascapanen itu tentu mempunyai nilai tambah yang melipat.

"SMK Pertanian harus dilengkapi dengan laboratorium dan unit produksi pasca panen. Sehingga lembaga pendidikan pertanian ini bisa menghidupi dirinya sendiri," ujarnya.

Asep menambahkan, konsep pendidikannya terintegrasi dengan bisnis, tidak berdiri sendiri-sendiri, masing-masing secara terpisah. Para pemuda di sekitarnya dapat menjadi siswa SMK Pertanian dengan beasiswa atau berbayar tergantung ekonomi keluarga.

"Mereka dapat menjadi pengusaha agribisnis yang pasarnya sangat luas. Dengan adanya wabah Covid-19 ini penduduk dunia semakin sadar betapa pentingnya back to nature (kembali ke alam)," terangnya.

Di masa Covid-19 ini juga, lanjutnya, Indonesia perlu anticovid. Untuk keperluan serum antiCovid-19 ini juga bisa dimanfaatkan peternakan ayam petelur.

Ahli virologi yang sempat membuat vaksin H5N1 pada ternak mempunyai gagasan menitipkan serum antiCovid-19 ke ayam petelur. Ayam petelur bisa menyimpannya dalam IgY (immunoglobulin york) di kuning telur.

"Dari situ bisa dipanen untuk keperluan antiCovid-19 para dokter, tim medis, PDP terinfeksi, ODP, bahkan semua manusia. Jadi mereka punya antibodi pasif yang akan menyerang Covid-19 ketika masuk ke tubuh manusia. Dunia peternakan ayam petelur akan hidup dan akan menyedot tenaga kerja untuk di peternakan dan laboratorium serum anti covid19. Ini juga perlu tenaga kerja terampil setingkat SMK Pertanian," bebernya.

SMK Pertanian khususnya peternakan ayam petelur bisa diberdayakan untuk memproduksi IgY yang punya anti Covid-19. Ini luar biasa. Tentunya secara detil teknisnya, para ahli bisa dilibatkan untuk melatih siswa siswi SMK Pertanian. Intinya gagasan ini sangat relevan untuk kebutuhan saat ini dalam rangka menyelamatkan umat manusia.

"Secara teori dan praktek SMK Pertanian ini bisa menyelamatkan secara serentak ekonomi, kesehatan, dan lingkungan hidup atau disebut agroecosystem-health (sistem terpadu, pertanian-kesehatan). Model inilah yang saya rasa sangat kurang di Indonesia," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler