jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Asep Saefuddin ikut menanggapi polemik Kamus Sejarah Indonesia jilid I.
Kamus terbitan Kemendikbud itu menjadi kontroversi setelah hilangnya nama tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari serta sejumlah tokoh penting lainnya dalam sejarah Indonesia.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Kisah Duka KRI Nanggala 402, Ganjar Diminta Turun Tangan, Bobby Nasution Tegas
Menurut Prof Asep, sejarah adalah salah satu unsur mendasar kedaulatan negara dari perspektif kemajuan, sejarah adalah salah satu fondasinya.
"Lihat kemajuan Jepang, Korea Selatan, German, USA, Inggris, dan banyak negara maju yang memelihara sejarahnya dengan baik," kata Prof Asep dalam pesan elektroniknya kepada JPNN.com, Senin (26/4).
BACA JUGA: Mas Nadiem: Saya Menghormati KH Hasyim Asyari
Menurut Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia ini, sejarah bisa menjadi inspirasi dan motivasi generasi lanjut untuk meneruskan perjuangan tokoh-tokoh sejarah dengan situasi kontemporer.
Namun, pada hakikinya tetap sama, seperti kecintaan terhadap bangsa dan negara itu tidak boleh berubah. Model dan caranya bisa saja berubah, prinsipnya harus tetap.
BACA JUGA: Tokoh Pendiri NU Hilang dalam Kamus Sejarah, Baidowi: Sangat Tidak Masuk Akal
"Bila kita melupakan sejarah, kemajuannya hanya superfisial, tidak mendasar, dan tidak akan kokoh sehingga negara itu akan labil," ucapnya.
Dia meminta, kesalahan-kesalahan penulisan sejarah baik dalam bentuk buku atau kamus harus diperbaiki dengan serius.
"Jangan dibuat proyek instan yang asal jadi," tambahnya.
Termasuk, kata Asep, hilangnya nama tokoh-tokoh dan pahlawan yang sudah mencatat sejarah, jangan sampai terlewat. Hal ini akan sangat berbahaya bagi masa depan negara.
Dia menyatakan sejarah bukan instan. Jadi pencatatannya pun jangan instan, jauhkan pikiran berbasis proyek dalam menuliskan sejarah, termasuk kamusnya
Menurut Asep, dalam penulisan buku atau kamus sejarah, tim Investigasi perlu menelisik dan harus komprehensif. Timnya harus ada wakil sejarahwan, akademisi/peneliti dari kampus dan lembaga riset.
"Jadi bukan hanya para birokrat itu," tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad