jpnn.com, JAKARTA - Guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA menyampaikan kontaminasi Bisfenol A (BPA) secara signifikan lebih tinggi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng seperti makanan segar, beku, dan kemasan plastik.
Jadi, menurutnya, jika mau melabeli “berpotensi mengandung BPA” itu lebih cocok pada kemasan kaleng ketimbang kemasan air.
BACA JUGA: Pakar ITB: Semua Plastik Memiliki Risiko, Tidak Fair Hanya Melabeli Bahaya Satu Jenis Kemasan
“Kalaupun berencana mau melabeli kemasan pangan, seharusnya semua kemasan itu dilabeli dengan menyatakan ini bebas bahan berbahaya," kata Prof. Anwar Daud dalam workshop Penggunaan Bahan Bisphenol A (BPA) pada Makanan dan Minuman yang diselenggarakan Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (8/11).
Dia mengatakan penerapan label pada semua kemasan pangan tanpa terkecuali itu mengingat penelitian BPOM menyatakan itu masih di bawah standar. Namun, dari alasan kesehatan jika dikonsumsi terus menerus akan berbahaya juga.
BACA JUGA: Thenblank Kampanyekan Ajakan Daur Ulang Kemasan Fesyen
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas itu tidak setuju dengan BPOM yang menyatakan pelabelan BPA ini tidak berlaku untuk depot air minum isi ulang.
Menurutnya, justru wadah-wadah air yang digunakan untuk mengisi air minum depot isi ulang itu patut dikhawatirkan karena bisa saja menggunakan wadah-wadah yang tidak berstandar.
BACA JUGA: Mantan Ketua Umum PB IDI: Pelabelan BPA Kemasan Pangan Bukan Ranah Dokter
“Kalau masyarakat itu kan banyak yang lebih memilih murahnya saja,” katanya.
Sebelumnya, pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat.
Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya.
Dia mengatakan bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok dan tergores ini lebih besar dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Policarbonat (PC). “Kalau galon kan sudah diuji penyok atau tidak penyok migrasi BPA-nya itu rendah, apalagi bagian luar dan dalam galon itu kan terbuat dari bahan PC," ujarnya.
Jika BPOM mau melakukan pelabelan lolos batas aman BPA, menurutnya, kemasan kaleng ini seharusnya yang lebih diutamakan ketimbang galon air berbahan PC.
Ahmad Zainal memaparkan barang-barang seperti plastik itu bersifat inert atau tidak bereaksi, baik dalam asam maupun basah.
Jadi, plastik itu tidak terlalu masalah dengan situasi asam ataupun basah. Yang bermasalah itu adalah kemasan kaleng karena ada lapisan epoksinya.
"Jika terkelupas bisa membuat produknya beracun,” tegasnya. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Mesyia Muhammad