jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing merespons Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Gus Imin.
Emrus meyakini tidak ada politisasi hukum dalam pemanggilan Gus Imin.
BACA JUGA: Merespons Pemanggilan Gus Imin Oleh KPK, Boni Hargens Bilang Begini
Emrus menyampaikan hal itu sesaat setelah peluncuran hasil survei Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) bertajuk "Peran KPK dalam Pelaksanaan Pemilu Bersih" di Jakarta, Rabu (6/9/2023).
“Saya meyakini pemanggilan terhadap Gus Imin itu tidak ada konstruksi politik atau politisasi hukum,” ujar Emrus.
BACA JUGA: Gus Imin Tak Diperkenankan Membuka MTQ, PKB Meradang
Emrus mengajak untuk hormati upaya KPK yang telah bekerja mendalami berbagai kasus korupsi di Indonesia.
“Saya juga mendorong dan mengawal upaya yang dilakukan KPK harus tetap berdiri teguh dari tekanan politik dan tetap bekerja dalam konstruksi hukum pidana korupsi,” kata Emrus.
BACA JUGA: Cak Rochim Kenalkan Duet Anies-Gus Imin di Dapil Surabaya-Sidoarjo
Dia melanjutkan dari hasil survei LPI memperlihatkan kalangan kelas menengah intelektual ini masih berharap KPK tidak boleh menjadi instrumen politik menjelang Pemilu 2024.
Menurut Emrus, KPK harus berada di garda depan dalam pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemilu bersih.
Dia meyakini KPK dapat menjaga independensi dan objektivitasnya untuk mengungkap berbagai kasus korupsi politik di Indonesia yang menemukan momen strategisnya pada pemilu 2024.
“Saya yakin dan optimistis bahwa KPK bisa melewati itu semua. Dari survei LPI memperlihatkan bahwa mayoritas responden dari kelas menengah intelektual menilai tidak yakin bahwa KPK dapat dijadikan instrumen politik tertentu dalam menghadapi perhelatan Pemilu 2024,” kata Emrus.
Untuk diketahui, survei LPI digelar pada 20-31 Agustus 2023 terhadap 934 responden yang merupakan kelas menengah intelektual. Margin of error dari ukuran sampel tersebut sebesar ±2,95 pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Survei ini menggunakan purposive sampling di mana subjek yang diambil oleh peneliti sebagai sampel berdasarkan beberapa pertimbangan tertentu, memiliki kriteria khusus dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Sementara kelas menengah intelektual yang dimaksud dalam survei ini adalah kelompok masyarakat berpendidikan tinggi (S1, S2, S3) yang secara sadar dan aktif mengawasi kinerja KPK serta memiliki harapan yang besar terhadap perbaikan kondisi hukum di Indonesia terutama dalam hal pemberantasan korupsi.
Kelas menengah intelektual terdiri dari para ahli/pengamat, dosen/pakar, akademisi, peneliti, anggota LSM/NGO, aktivis/pegiat antikorupsi.
Dari data survei, sebesar 60,25 persen responden mempercayai KPK dapat mengambil peran aktif dan berkolaborasi dengan banyak pihak.
Mayoritas responden menilai, pemilu merupakan momentum strategis bagi KPK untuk menekan laju korupsi politik.
Dari data survei terlihat bahwa modus korupsi berpotensi terjadi pada penyalahgunaan kewenangan jabatan.
Sebanyak 40,55 persen responden menilai bahwa aktor politik atau politisi yang tengah menjabat sebagai pejabat publik sangat rawan memanfaatkan kuasanya untuk kepentingan politik elektoral.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari