jpnn.com - HIDUPNYA untuk Bung Karno –sepenuh-penuhnya. Itulah salah satu teman terkarib saya di Bali: Gus Marhaen.
Pun selama pandemi. Ia terus berbuat: untuk Bung Karno. Tiga museum ia selesaikan selama dua tahun pandemi: Museum Bung Karno Agung, Museum Proklamasi Agung, dan Museum Pancasila Agung.
BACA JUGA: Ongko Laokao
Sebelum itu pun ia sudah membangun patung Bung Karno. Tingginya lima meter.
Terbuat dari perunggu –dikerjakan oleh seniman patung dari Yogyakarta.
BACA JUGA: Langit Nusantara
Ketika pandemi masuk Bali, Gus Marhaen kerja keras: termasuk mengubah nama jalan di belakang patung itu menjadi Jalan Bung Karno. Dulunya jalan itu bernama Tantular Barat. Ganti nama tanpa menyakiti yang diganti. "Toh masih ada nama jalan Tantular," katanya.
Di sepanjang Jalan Bung Karno itu ia bangun museum Proklamasi Agung. Bentuknya ruang selebar 6 meter tapi panjang sekali: hampir 200 meter. Semua foto dan diorama terkait Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ada di situ.
BACA JUGA: Langkah Kuda
Gerbang masuk ke lorong museum itu berupa versi kecil wajah depan Istana Merdeka. Lalu ada patung sedada Bung Karno dari kayu, sekitar 2 meter tingginya.
Di atas pagar lorong itu, terlihat ada toa. Posisinya di belakang patung 5 meter Bung Karno. Toa itu menghadap ke Bung Karno.
"Itu toa apa Gus?" tanya saya.
"Tiap hari Jumat, pukul 11.00 waktu Bali, dari toa itu berkumandang rekaman proklamasi yang diucapkan Bung Karno di Pegangsaan Timur Jakarta," katanya.
Patung Bung Karno pun menyatu dengan suara Bung Karno di perempatan Jalan Bung Karno.
Dari Jalan Bung Karno ini, kemarin-kemarin, ada jalan kecil bernama Tantular Barat Sekian. Sekalian. Gus Marhaen mengubah nama itu: menjadi Jalan Pegangsaan Timur. Di luar Jakarta hanya di Bali ada Jalan Pegangsaan Timur.
Di jalan inilah Gus Marhaen membangun Museum Pancasila Agung. Belum sepenuhnya selesai. Tapi saya diminta memasukinya. Lebih 200 lukisan besar Bung Karno sudah disiapkan. Tinggal di pasang.
Semua lukisan itu berdasar foto lama: bukan lukisan imajinatif. Semua buku tentang Pancasila juga akan disimpan dan dipamerkan di sini.
Bung Karno begitu manusiawi di lukisan-lukisan itu: saat menunggu Megawati dilahirkan, saat ban mobilnya kempis, saat sungkem di depan ibunya. Banyak lagi.
"Selama pandemi saya mempekerjakan 27 orang tukang. Belum termasuk pematung dan pelukis," katanya.
Bu Mega sudah pernah ke museum itu. Demikian juga Presiden Jokowi. Bahkan Presiden minta beberapa copy dokumen terkait Pancasila dan pidato Bung Karno ke Gus Marhaen.
Sudah dikirim ke Istana: berupa sederetan buku merah dijilid rapi. Panjang deretan buku itu 1 meter lebih. Deretan buku merah itu kadang terlihat di video kalau presiden memberi keterangan ke publik.
Gus Marhaen memang putra tokoh yang sangat dekat dengan Bung Karno: Shri Wedastera Suyasa. Waktu Bung Karno sudah diasingkan ke Wisma Yaso, Wedastera masih bisa menemui Bung Karno. Padahal penjagaan begitu ketat.
Itulah saat-saat Bung Karno paling menderita batin: status resminya masih presiden tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bung Karno lagi menjalani karantina politik –agar tidak mengganggu penguasa baru.
Jenderal Soeharto saat itu sudah menjadi presiden bayangan. Masih perlu proses politik untuk menjadi presiden yang resmi.
Di akhir masa pemerintahan Bung Karno, Wedastera menjadi anggota DPR-GR. Ia menjabat ketua Fraksi Partai Nasional Indonesia –kelak menjelma menjadi PDI-Perjuangan.
Di Bali, Wedasetra mendirikan Universitas Marhaen. Kini namanya menjadi: Universitas Mahendradatta. Perubahan nama itu akibat politik juga: Orde Baru berusaha menghilangkan apa pun yang berbau Bung Karno. Kalau mau selamat, nama Universitas Marhaen harus diganti.
Nama Mahendradatta pun dipilih. Masih bisa ada bau Marhaen –kalau dipaksakan.
"Huruf-hurufnya, bila ditukar-tukar, masih bisa berbunyi: data-data Marhaen," ujar Gus Marhaen.
"Data apa pun tentang Bung Karno, Pancasila, dan Marhaenisme ada di Universitas Mahendradatta," ujarnya.
Gus Marhaen kini menjadi Ketua Dewan Pembina di yayasan yang menaungi Mahendradatta. Yakni sejak ayahnya meninggal dunia lebih 10 tahun lalu.
Nama Mahendradatta dipilih juga karena dia nama istri Raja Udayana –yang kelak menjadi raja juga menggantikan suami.
Di tangan Ratu Mahendradatta kerajaan semakin jaya. Dan yang membuat orang Bali memuja Mahendradatta adalah: dialah yang melahirkan Airlangga. Kelak, Airlangga bukan saja menjadi raja besar. Juga dipercaya sebagai penjelmaan dewa Wisnu di muka bumi.
Nama resmi Airlangga: Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramat Tunggadewa. Lahir tahun 990. Di Bali.
Ratu Mahendradatta sendiri adalah anak Empu Senduk, Kediri. Entah bagaimana bisa jadi istri Raja Udayana nun jauh. Punya anak Airlangga pula: jadi raja besar kerajaan Kahuripan, dekat muara Sungai Brantas –kemungkinan besar di selatan Sidoarjo.
Betapa Bali dan Jatim seperti menyatu saat itu. Padahal tidak pernah terdengar ada literatur yang menyebutkan di tahun-tahun itu Bali dan Jawa tanpa selat.
Di Bali, Gus Marhaen selalu pakai pakaian Bali. Lengkap. Sehari-hari. Tapi ia selalu pakai kopiah hitam kalau ke rumah saya. (*)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar https://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Ongko Laokao
Bekan Tan
Lha, apakah Kinarto diam saja ketika Kinarti dijodohkan dengan Ongko? Ngga nangis guling-guling?
Pengamat Jalanan
Kirain cuma cuma buat lucu-lucuan saja. Apa yang ada di Instagram, tiktok atau yang lain. Ternyata memang ada penyakit yang cuma bisa disembuhkan dengan jalan sang suami nikah lagi. Alias dimadu. Kapan aku bisa seperti itu ya..... Ngarep......
Otong Sutisana
Adakah yang tau alamat Laokao, ta bawa istriku kesana ...
thereis nospoon
Resep Laokao tolong jangan sampai menginspirasi Lao Da ya, repot nantinya wkwk
Firdausmasril
Meninggal dengan damai. Telah berada di sisiNya. Telah di surga. Banyak yang "sok tau".
Mbah Mars
Melayat atau takziyah sangat bagus dilakukan. Kepada siapapun. Melayat bermanfaat bagi yg meninggal, kerabat-kerabatnya dan bagi yg melayat sendiri. Terkait manfaat bagi yg melayat ada hadits "Kafaa bil mauti waa'idzon" (Cukuplah kematian sebagai penasehat). Ketika melihat jenazah, orang yg melayat secara otomatis akan mengatakan pada dirinya sendiri, "Sekarang dia, lain waktu aku" Dia juga akan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah aku sudah siap dengan bekal kematian" Oia, saya pernah lihat penutup keranda yg anti mainstream. Biasanya kan memuat tulisan syahadat atau kalimah tahlil. Ini tidak. Tulisannya berbahasa Jawa: "SAIKI AKU, SESUK KOWE" (Sekarang saya, besuk kamu)
Aji Muhammad Yusuf
Bilang saja bangkrut. Aset Nya jual keteman Nya. Tinggal tanda tangan. Kan sudah delisting, jadi tidak perlu membayar pajak. Selanjut Nya tinggal cetak perusahaan baru, eh ganti namz. Di IPO kan lagi, di naik-turunkan lagi. Di delistingkan lagi. Total dana yang di serap mungkin di depositokan. Dengan portofolio deposito, jadi tidak saklek pada satu Bank saja. Sisa Nya, bunga deposito Nya untuk nempel perusahaan orang. Sementara dari total dana yang di serap bisa di bagi 70 persen untuk deposito, 30 persen untuk langsung nyicil perusahaan orang. Hmmm, andaikan aku konglo. Aku tidak mau. Karena pasti akan sering memindahkan saku. Cukup jadi kelas menengah saja.
Aryo Mbediun
Bagai tomat dan semangka Kalau dibuat rujak kurang pas rasanya Bagai kisah Aat dan Rika Bersua di disway berpisah di dunia nyata
Amat
Pertama, setahu saya poligami bukan ibadah sunah yang paling utama. Kedua, kata Prof. Quraish Shihab, poligami itu ibarat pintu darurat pesawat, hanya boleh dibuka dalam keadaan tertentu saja, dengan syarat tertentu. Tidak untuk dibuka lebar-lebar. Bahaya. Tidak juga untuk ditutup rapat-rapat agar tidak dapat dibuka. Poligami itu berat, biar Mbah Mars saja.
komentar doang
Serius nanya nih, bagi saudara kita yang rajin ke klenteng apa ada juga yang ke vihara atau gereja? Maaf swer nih
Hariyanto
PKS disenggol lagi. Kali ini soal bini lebih dari satu. BK juga punya banyak bini, tapi jarang yang mempermasalahkannya. Bahkan waktu BK bergurau mengatakan di Jepang tidak ada " sugeng " mungkin hingga kini jarang yang menganggap itu pelecehan perempuan. Tapi sekarang sepertinya sudah banyak cewek Jepang yang sugeng. Atau agak sugeng. hehehe...
John Prasetio
Sangat disayankan saat foto bersama masih tetap menggunakan masker. Alangkah baiknya apabila masker dibuka 3 detik saja saat di foto dengan almarhum. Toh peristiwa tersebut tidak akan terulang kembali ! Dahlan Iskan cs juga culturally in-sensitive terhadap warna busana. Untuk tradisi pemakaman Tionghoa, agak aneh memang apabila ada lembaran kertas warna merah dengan corak emas di atas meja juga dengan pakaian yang dikenakan Disway dengan motif warna merah yang umumnya dikenakan saat acara perkawinan Tionghoa. Juga agak aneh pula apabila ada spanduk merah dengan lambang seperti "tanda salib" dibawah meja kabung kemudian disamping kiri-kanan peti jenazah ada lilin trisila dengan lekuk & bentuk seperti yang ada di gereja agama Yahudi & Katholik. Sangat ganjil dan semakin sangat aneh untuk upacara pemakaman setingkat pimpinan perkumpulan kelenteng dimana tata-cara & ritual pemakaman jenazah tidak mengikuti kaidah Confusianisme ataupun Taoisme ataupun Budhisme ataupun Chinese Folk Religion. Apakah ini memang keinginan almarhum yang sudah convert ke agama nasrani ataukah memang keinginan dari pihak keluarga ?
Er Gham
ASN dijadikan sebagai contoh alat kontrol negara. Karena bisa langsung diatur. Jika pandemi covid meningkat, maka mereka dilarang mudik. Begitu pula soal poligami. Namun jika perbandingan jumlah wanita dewasa Indonesia dibandingkan jumlah pria dewasa mencapai 2 banding 1, maka mereka (ASN) pasti yang terlebih dahulu diwajibkan beristri 2 (dua) oleh negara. Nanti langsung diikuti oleh kalangan non ASN. Wahai para ASN milenial, bersabarlah menunggu waktu ( 2 banding 1) tersebut.
Aryo Mbediun
Kembang jepun kembang melati Mekar mewangi di mendung berawan Kinarto mencintai Kinarti Mencintai tanpa berani mengucapkan.
*) Diambil dari Disway.id
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dian Ciputra
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi