jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar mendorong pimpinan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih serius mengawasi transaksi kripto alias cryptocurrency dan layanan teknologi finansial (fintech) yang belakangan ini disorot.
"Saya harap para pimpinan lebih jeli dan serius mengawasi praktik investasi-investasi bodong. Sudah banyak yang dirugikan termasuk negara juga," kata Gus Muhaimin yang akrab disapa, Selasa (12/4).
BACA JUGA: Tsunami Pemimpin OJK
Gus Muhaimin juga meminta OJK bergerak cepat mendorong transformasi digital sektor keuangan di Indonesia.
Tidak hanya pada sektor perbankan, digitalisasi keuangan juga sudah menyasar berbagai sektor, seperti fintech hingga kripto yang perkembangannya semakin pesat di Indonesia.
BACA JUGA: Mahendra Siregar Resmi Jadi Ketua OJK Terpilih
Sebagai gambaran, Kementerian Perdagangan mencatat nilai transaksi aset kripto mencapai Rp 64,9 triliun pada 2020.
Tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 859,4 triliun.
BACA JUGA: Misi Calon Ketua OJK Darwin Cyril, Fintech Bermasalah Siap-siap Saja
Sementara itu, pada periode Januari hingga Februari 2022 saja, nilai transaksinya sudah mencapai Rp 83,3 triliun.
Pada 2021, kemampuan pasar aset kripto menghimpun dana jauh lebih besar dibandingkan kemampuan pasar modal konvensional yang jumlahnya masih berada pada kisaran Rp 363,3 triliun.
"Jadi memang sangat penting bagi OJK saling berkoordinasi dengan perbankan juga pasar modal terlibat dalam pengaturan dan pengawasan perdagangan aset kripto dan fintech. Kita tahu transaksinya luar biasa besar," kata pimpinan DPR bidang Korkesra itu.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyatakan keterlibatan OJK dengan sumber daya manusia yang mumpuni diharapkan bisa mewujudkan ekosistem perdagangan aset kripto yang sehat.
"Saya juga berharap OJK membuat aturan yang tegas dan jelas bagi para pelaku usaha dan konsumen transaksi online. Ya karena tidak cukup kalau cuma dibiarkan mengalir, sementara tradernya sangat banyak meski berisiko tinggi," ujar Gus Muhaimin.
Selain faktor pandemi Covid-19, keponakan Gus Dur ini menyebut transaksi keuangan digital begitu marak di Indonesia karena ada sekira 92 juta populasi Indonesia belum bisa mengakses bank serta layanan finansial yang ditawarkan sebagaimana dilaporkan Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2019.
"Mereka ambil jalan lain karena tidak bisa mengakses bank, yaitu keuangan digital yang simpel tapi juga menguntungkan, tapi ternyata di balik keuntungan itu juga ada risiko tinggi, seperti yang terjadi belakangan malah puluhan ribu orang tertipu. Nah ini saya kira tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh OJK," pungkasnya. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi