Gus Setelah Gus

Oleh Dahlan Iskan

Selasa, 04 Februari 2020 – 05:25 WIB
Foto: disway.id

jpnn.com - Sudah lebih dua tahun Gus Sholah terus memikirkan ini: siapa yang akan menggantikannya. Sebagai Kiai Tebuireng. Juga sebagai 'CEO' pondok pesantren 'Bintang Sembilan' di Jombang, Jatim itu.

Kesehatan Gus Sholah --nama lengkapnya KH Salahuddin Wahid-- memang terus menurun, bahkan sejak sebelum dua tahun lalu. Saya termasuk yang sesekali diajak bicara soal kesehatan.

BACA JUGA: Tidak Tuntas

Beliau juga terus mengikuti perkembangan kesehatan saya. Sejak transplan hati sampai stemcell, pun sampai aorta dissection.

Gus Sholah adalah orang yang sebenarnya tidak mau menjadi pimpinan puncak Tebuireng. Namun setelah Gus Dur meninggal dunia, siapa lagi kalau bukan adiknya itu.

BACA JUGA: Menjadi Santri Kiai Maimoen di Hari Santri

Dari segi pendidikan pun Gus Sholah tidak pernah di pondok pesantren. Waktu beliau kecil ayahanda beliau menjabat menteri agama: KH Wahid Hasyim. Tinggalnya lebih banyak di Jakarta. Maka anaknya pun disekolahkan di Jakarta.

Ketika sudah waktunya kuliah Gus Sholah dimasukkan ke ITB Bandung. Jurusan teknik arsitektur pula. Jadilah Gus Sholah seorang arsitek.

BACA JUGA: Lift Gus Dur untuk Saya

Setelah lulus ITB beliau bekerja di dunia ilmunya. Termasuk bekerja di perusahaan konstruksi.

Waktu itu di Tebuireng belum memerlukan beliau. Masih banyak kiai besar di sana. Namun kiai-kiai sepuh itu satu per satu wafat.

Maka orang seperti Drs Yusuf Hasyim didaulat menjadi orang tertinggi di Tebuireng. Padahal paman Gus Dur itu lebih banyak tinggal di Jakarta --menjadi politisi NU tingkat nasional.

Mulailah Tebuireng dipimpin oleh yang bukan murni kiai --dalam pengertian hebat ilmu agamanya.

Yusuf Hasyim meninggal. Kiai-kiai sepuh yang masih berbau Bani Hasyim juga sudah tidak ada.

Maka Gus Sholah-lah tokoh yang berbobot nasional. Yang dianggap paling layak memimpin Tebuireng, meski juga bukan sosok kiai ulama.

Nama Tebuireng sudah begitu menasional. Rasanya aneh kalau pimpinannya bukan tokoh nasional.

Ketokohan Gus Sholah dimulai sejak menjadi anggota MPR. Lalu menjadi Wakil Ketua Komnas Hak Asasi Manusia. Terakhir menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan capres Jenderal Wiranto.

Dengan meninggalnya Gus Sholah kemarin maka habislah generasi cucu Hasyim Asy'ari --Al Hadratus Syaikh. Gus Sholah meninggal setelah operasi jantung di usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam Gus Dur, kakaknya.

Maka siapa yang akan tampil berikutnya? Bukankah tidak ada lagi tokoh keluarga Bani Hasyim yang namanya sudah menasional? Bagaimana dengan menteri agama periode lalu, yang masih berbau Bani Hasyim?

Gus Sholah tidak pernah menyebut nama itu sebagai calon penggantinya di Tebuireng. Namun tidak juga segera mengerucut siapa calon penggantinya.

Sampai-sampai Gus Sholah minta bantuan banyak aktivis yang dekat dengannya. Gus Sholah mengadakan semacam polling. Teman-temannya itu diminta menuliskan nama calon penggantinya kelak.

Salah satu yang sering ditanya adalah Mas'ud Adnan. Yang pernah menjadi ketua Ikatan Alumni Santri Tebuireng. Mas'ud pernah menjadi pemimpin redaksi Harian Bangsa.

Gus Sholah, kata Mas'ud, memang suka mendengar. Termasuk mendengar pendapat orang lain. Pun pendapat para santri.

Tipe kepemimpinan Gus Sholah adalah demokratis. Orangnya sangat ngemong. Tidak banyak mau bicara. Sekali bicara suaranya sangat rendah dan lirih.

Namun teman-teman aktivis yang diminta pendapat itu tidak ada yang mau memberi nama calon pengganti.

Di pesantren tidak ada kebiasaan seperti itu. Gus Sholah saja yang mau melanggar adat pesantren. Teman-temannya tetap memilih tawaduk: terserah Gus Sholah saja. Siapa pun yang ditunjuk Gus Sholah akan didukung.

Baru belakangan Gus Sholah mau menyebut nama calon pengganti yang ia inginkan: KH Abdul Hakim Mahfudz. Panggilannya Gus Kikin.

Penyebutan nama Gus Kikin sudah sejak dua tahun lalu. Praktis semua orang di Tebuireng tahu bahwa Gus Kikin adalah Kiai Tebuireng in waiting.

Namun Gus Kikin tidak pernah mau mulai tampil. Tidak ada tradisi putra mahkota di Tebuireng. Apalagi Gus Kikin bukan putra Gus Sholah, Yusuf Hasyim atau pun Gus Dur.

Gus Kikin adalah cicit KH Hasyim Asy'ari dari jalur wanita. Ibunya, Bu Nyai Abidah, adalah cucu KH Hasyim Asy'ari.

Sama dengan Gus Sholah, Gus Kikin ini juga tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Tidak bisa membaca kitab kuning.

Namun dari segi ekonomi Gus Kikin sangat mapan. Gus Kikin adalah pengusaha yang mapan. Termasuk pengusaha bidang minyak dan gas bumi.

Belakangan Gus Kikin juga punya stasiun TV lokal: BBS. Di Surabaya. Dan memang Gus Kikin adalah sarjana komunikasi. Dari Universitas Terbuka.

Bagaimana pun Gus Kikin masih termasuk Bani Hasyim. Dan yang dikehendaki oleh Gus Sholah untuk mendapat giliran berhenti memikirkan diri sendiri --pindah ke jalur pengabdian.

Maka Tebuireng segera memiliki kiai baru. Yang benar-benar baru: orangnya, latar belakang pendidikannya, pun profesi hidupnya.

Banyak kiai jadi pengusaha. Kini pengusaha ini, Gus Kikin, giliran yang jadi kiai.(***)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler