jpnn.com, NEW DELHI - Senior Vice President Research Technology & Innovation PT Pertamina (Persero) Oki Muraza mengungkapkan ketegangan politik yang terjadi di Eropa telah menyebabkan kenaikan harga energi yang berbahaya bagi keamanan dan ketahanan energi di Indonesia.
“Jadi kami harus berusaha untuk meningkatkan ketahanan energi, dan pada saat yang sama kami harus berusaha untuk mencapai target-target sustainability. Bagaimana kami mengurangi emisi dan menambah volume bisnis energi hijau, listrik ramah lingkungan dan lain-lain,” kata Oki Muraza di sela-sela Sustainability Summit B20 yang berlangsung di New Delhi, India, Selasa (22/8).
BACA JUGA: Pertamina Komitmen Terus Kembangkan Teknologi Dukung Transisi Energi di Indonesia
Menurut Oki, sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin dalam perubahan menuju sustainability.
Namun dengan menurunnya energy security, di mana Eropa kembali mengimpor energi seperti batu bara, terjadi perubahan dalam bauran energi yang berdampak bagi dunia.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Ingin Tingkatkan Kerja Sama Energi di Tanzania Lewat Pertamina
Untuk mengantisipasi hal tersebut, negara-negara berkembang, seperti Indonesia dan India dengan pendapatan yang rendah perlu membangun kerja sama dengan negara maju, utamanya dalam hal modal atau pembiayaan.
Menurut Oki, kerja sama sangat penting untuk mengatasi masalah tersebut.
"Kami sudah ada beberapa contoh misalnya melakukan kerja sama dengan Jepang CO2 Injection di Lapangan Jatibarang, dan selanjutnya CO2 injection di lapangan Sukowati," sebutnya.
Oki menegaskan Pertamina akan terus memperluas kerja sama dengan melibatkan banyak pendanaan internasional dalam rangka mendukung transisi energi di Indonesia.
Selain itu, kata Oki, dalam transisi energi pengembangan teknologi menjadi kunci, karena dengan pengembangan teknologi keekonomian akan semakin membaik.
Di Pertamina Group, terdapat delapan inisiatif yang terbagi dalam 3 blok.
Pertama, upaya Pertamina untuk menghasilkan energi hijau, yang bersumber dari Geothermal yang saat ini mencapai 672 Megawatt yang dikelola sendiri dan 1.2 GW bersama mitra.
Selain memproduksi listrik ramah lingkungan, di lapangan panas bumi ini Pertamina juga mengembangkan Green Hydrogen yang sangat menarik untuk pasar ekspor.
Kedua, Variabel Renewable Energy atau energi yang berubah dengan waktu contohnya solar PV Variabel RE ini perlu diintegrasikan dengan Grid dan Energy storage yang dikenal dengan battery.
Blok ketiga, yakni memanfaatkan energi yang melimpah di Indonesia seperti curah hujan, radiasi matahari, dan biomassa. Sumber daya ini dikerjakan bersamaan, ada yang bisa dijadikan vegetable oil, green diesel atau bio ethanol yang dicampur dengan bensin.
“Bagaimana kami meramu jadi BBM yang lebih rendah kadar emisinya, jadi menggunakan current infrastructure dengan emisi yang lebih rendah,” ungkap Oki.
Senada dengan itu, Senior Managing Director Growth & Strategy Lead Growth Market, Valentin De Miguel menyampaikan untuk menjawab tantangan energi global tersebut, negara-negara berkembang perlu sungguh-sungguh melakukan implementasi dan eksekusi.
“Sehingga sangat mendesak untuk mendorong inovasi, riset dan analisis reliability teknologi bahan bakar alternatif, seperti hidrogen, amonia, terutama penangkapan karbon. Tiga teknologi utama ini yang dibutuhkan dengan tekad yang jelas untuk maju,” ujar Miguel.
Pertamina sebagai pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s).
Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi