Setelah Hadar Navis Gumay duduk di KPU, Cetro -lembaga tempatnya mencurahkan pikiran, waktu, dan tenaga selama belasan tahun- akan membubarkan diri. Mengapa memilih jalan itu?
PRIYO HANDOKO, Jakarta
MATA Hadar Nafis Gumay tampak berbinar sewaktu menerima beberapa aktivis LSM dan pegiat kepemiluan di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (19/4) pekan lalu. Para aktivis itu menyodorkan lembaran kertas pakta integritas dan meminta komisioner KPU menandatanganinya.
Selain Hadar, juga hadir dua komisioner KPU lain, yakni Arif Budiman dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah. "Terus kritik kami. Terus ingatkan kami," pinta Hadar, lantas tersenyum.
Hadar tak merasa asing dengan para aktivis yang datang. Ray Rangkuti (Lima), Sebastian Salang (Formappi), Jeiry Sumampow (TePI), Said Salahudin (Sigma), dan Girindra Sandino (KIPP) adalah para sahabatnya. Mereka sudah lama menaruh minat yang sama terhadap persoalan kepemiluan. Komunikasi di antara mereka juga terjalin baik.
Sebelum menjadi komisioner KPU, Hadar sudah dikenal luas sebagai direktur eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), salah satu LSM yang berfokus pada serba-serbi kepemiluan. Saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR Maret lalu, adanya dana asing yang mengalir ke Cetro menjadi salah satu isu yang diklarifikasi anggota dewan.
Adanya aliran dana asing ke Cetro tidak dibantah Hadar. Dia membenarkan bahwa Cetro mendapat bantuan dari lembaga donor luar negeri. Donor Cetro saat ini adalah International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dan Partnership.
Sebelumnya, mereka mendapat dana dari United States Agency for International Development (USAID) dan United Nations Development Programme (UNDP). Namun, Hadar memastikan bahwa agenda Cetro tidak pernah didikte dan diarahkan oleh lembaga donor.
Dengan terpilihnya Hadar sebagai anggota KPU, bagaimana nasib Cetro? "Dalam waktu dekat (Cetro) akan ditutup," kata Hadar kepada Jawa Pos.
Menurut Hadar, pemikiran untuk menutup Cetro sudah muncul lama. Bahkan, sejak tiga tahun lalu atau tepatnya awal 2009. "Tapi, para pendiri bilang jalan saja dulu. Soalnya, sudah mendekati pemilu," tutur pria kelahiran Jakarta, 10 Januari 1960, tersebut.
Begitu pemilu usai, rencana untuk membubarkan Cetro semakin dimatangkan. "Makanya, setelah Pemilu 2009, Cetro sengaja hanya meneruskan program-program yang sudah ada," ujar suami Tjut Rifameutia yang sudah dianugerahi dua buah hati itu.
Cetro ditutup bukan karena lembaga itu "sepi order" atau di-blacklist lembaga donor. Sebaliknya, cakupan fokus Cetro hendak lebih diperluas. Dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) lembaga tersebut, fokus Cetro secara spesifik hanya disebut terkait dengan kepemiluan. "Efeknya, banyak kegiatan penting yang tidak bisa dilakukan," ungkapnya.
Dalam konteks amandemen konstitusi, misalnya, Cetro bisa terlibat karena kebetulan ada isu yang berhubungan dengan pemilu. Karena itu, tegas Hadar, Cetro akan ditransformasikan ke wadah organisasi baru dengan nama baru. "Mandatnya lebih luas, bukan hanya pemilu. Tapi, soal demokrasi dan tata kelola pemerintahan juga," terang Hadar.
Sumber daya manusia yang ada di Cetro akan dibawa ke organisasi baru tersebut. Tapi, tentu Hadar tidak masuk ke gerbong baru tersebut. Refly Harun, peneliti senior Cetro, diproyeksikan menjadi nakhodanya. "Insya Allah akan berkembang baik dengan nama baru," tutur Hadar.
Saat ditanya soal nama lembaga baru itu, Hadar hanya memberikan kata kunci. "Yang jelas tetap ada electoral-nya, ditambah democracy," ujar Hadar yang pernah menjadi staf pengajar sosiologi di FISIP UI pada 1991-2007 itu. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Partisipasi Publik Indonesia dalam Pemilu Lebih Baik dari Negara Lain
Redaktur : Antoni