jpnn.com, BOGOR - Anggota DPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi Presiden Prabowo Subianto atas dukungan secara terbuka untuk melakukan kaji ulang serta mengubah sistem demokrasi di Indonesia yang sudah sejak lama disuarakan Partai Golkar.
Sistem demokrasi dengan pemilihan langsung yang telah diterapkan sejak Pemilu dan Pilkada 2009 hingga Pemilu 2024, telah mendorong praktik demokrasi NPWP (nomor piri wani piro) yang bersifat transaksional dalam masyarakat.
BACA JUGA: Indonesia Akan Gelar Kejuaran Dunia Balap Rally, Bamsoet Bilang Begini
Fenomena itu tidak hanya menggerogoti idealisme politik, tetapi juga menciptakan lingkungan aspirasi rakyat hanya didasarkan dengan nilai nominal serta menghasilkan politik berbiaya tinggi (money politic) disemua tingkatan.
"Saya sudah sering mengajak berbagai kalangan untuk mengkaji ulang sistem demokrasi langsung di Indonesia, apakah lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya. Malam ini Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dalam sambutannya di hadapan Presiden Prabowo menyampaikan hal tersebut. Ternyata Presiden Prabowo sependapat," ujar Bamsoet seusai menghadiri Puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Bogor, Kamis (12/12) malam.
BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi Pelantikan Siti Fauziah Sebagai Perempuan Pertama Sekjen MPR RI
Hadir antara lain Presiden RI Prabowo Subianto dan Wapres RI Gibran Rakabuming, Wapres RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Ada juga Plt Ketum PPP Mardiono, Plt Ketum PKS Ahmad Heryawan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Partai Gelora Anis Matta; Ketum Partai Prima Agus Jabo Priyono, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, serta para pengurus DPP, dan DPD Partai Golkar se-Indonesia.
BACA JUGA: Bamsoet Dorong Peningkatan Prestasi Balap Gokart Tanah Air
Ketua MPR RI ke-15 itu memaparkan dari Pemilu 2009 hingga Pemilu 2024, politik transaksional semakin marak.
Banyak calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah yang tidak ragu untuk menawarkan uang tunai kepada pemilih agar dipilih.
Masyarakat pun tanpa sungkan meminta imbalan finansial sebagai balasan atas suara yang diberikan. Istilah "nomer piro wani piro" (NPWP) menjadi biasa di kalangan masyarakat, menunjukkan bahwa pemilih lebih memprioritaskan keuntungan finansial daripada kualitas dan kapabilitas caleg.
Makna demonrasi telah bergeser jauh, dari demokrasi substansial menjadi demokrasi prosedural.
Laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terdapat peningkatan signifikan dalam pelanggaran kampanye yang berkaitan dengan politik uang, mencapai lebih dari 30 persen dalam beberapa daerah pemilihan.
Sementara, data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023, menyebutkan sekitar 60% pemilih menyatakan bahwa faktor keuangan dari caleg lebih memengaruhi keputusan mereka ketimbang visi atau misi yang diusung.
"Akibat dari politik transaksional ini, banyak calon legislatif ataupun calon kepala daerah yang berkualitas dan memiliki integritas serta kapabilitas terpaksa tersingkir, karena tidak punya 'isi tas'. Kompetisi politik berkembang menjadi pertarungan kekuatan finansial, dimana visi, misi, dan program kerja hanya menjadi sekadar formalitas belaka. Untuk menjadi anggota DPR dibutuhkan uang sebesar Rp 10-50 miliar, sementara untuk menjadi bupati atau wali kota diperlukan modal setidaknya Rp 50-100 miliar," kata Bamsoet.
Ketua Dewan Penasehat SOKSI itu menjelaskan, data tersebut menunjukkan biaya tinggi untuk kampanye telah menjadi suatu keharusan bagi mereka yang berniat terjun ke dalam dunia politik.
Praktik politik transaksional ini berpotensi menciptakan siklus korupsi yang semakin dalam di lingkungan pemerintahan.
Biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sering kali mendorong kepala daerah atau anggota dewan untuk mencari jalan pintas untuk mendapatkan kembali modal besar yang telah dikeluarkan.
"Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), indeks korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa banyaknya anggota dewan serta kepala daerah terjerat dalam kasus korupsi, tidak lepas dari keterlibatan mereka dalam sistem pemilihan yang transaksional. Dari tahun 2004 hingga 2023, anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi mencapai 344 orang. Sementara sebanyak 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur juga terjerat kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika sistem pemilihan hanya bergantung pada besarnya uang yang diberikan kepada pemilih, maka praktik korupsi menjadi lebih besar terjadi di kemudian hari," pungkas Bamsoet. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bamsoet Tegaskan Kadin Indonesia Dukung Asta Cita Pemerintahan Presiden Prabowo
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, JPNN.com