Hakim Baihaqi Marwa, Anak Berkebutuhan Khusus yang Menjadi Dai Cilik

Dapat Order Pejabat, Bisa Beli Laptop

Jumat, 31 Agustus 2012 – 00:03 WIB
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar memberi dukungan kepada Hakim Baihaqi. Foto : Riko Noviantoro/INDOPOS

Tak perlu berkecil hati dengan keterbatasan fisik. Tuhan masih memberikan banyak kelebihan lainnya. Hakim Baihaqi Marwa, misalnya, yang mulai dikenal sebagai dai cilik.

RIKO NOVIANTORO, Jakarta

YA..Allah yang maha pemberi. Berikanlah tanah subur dan kebaikan bagi negeri Indonesia. Jauhkanlah dari segala penderitaan. Cukupkanlah segala kebutuhannya. Agar kami menjadi bangsa berjaya.

Itu potongan doa yang disampaikan Hakim Baihaqi Marwa dalam peringatan Hari Anak Nasional 2012. Bocah berumur 10 tahun ini fasih membacakan doa-doa. Tak hanya bagi dirinya, tapi untuk bangsa Indonesia.

Tak cukup itu. Anak yang terlahir dengan keterbatasan fisik tersebut mengenal sekali kondisi buruk yang dialami bangsanya. Mulai pendidikan anak, kekerasan dan ketidakadilan bagi anak berkebutuhan khusus.

"Ya..Allah yang maha mengabulkan. Kabulkanlah harapan anak-anak Indonesia. Untuk mendapatkan pendidikan terbaik, terlindungi dan mendapatkan keadilan. Agar anak Indonesia menjadi penerus bangsa yang disempurnakan," ujar Hakim Baihaqi Marwa dari kursi rodanya.

Melihat kondisi fisiknya tentu cukup membuat perih hati. Anak yang duduk di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Pacitan itu terlahir tidak sempurna. Kaki dan tangannya tidak terbentuk lengkap. Fungsinya tidak dapat diharapkan. Dengan postur tubuh yang juga relatif lebih kecil dari anak seusianya.

Untuk menunjang aktivitasnya, putra pasangan Umi W Marwa dan Siti Kun Farida itu hanya bertemankan kursi roda. Kendaraan "beroda empat" itulah yang mengantar anak sulung tersebut berkeliling ceramah.

Meski terbatas kemampuan fisiknya, Hakim Baihaqi Marwa tak pernah berkecil hati. Hatinya selalu gembira. Bibirnya terus mengumbar senyum. Bahkan sekali-kali celoteh nakal terucap. "Hakim gak mau pulang," katanya dengan logat medok Jawa Timur.

Menariknya lagi setiap ceramah, Hakim tak pernah membawa teks. Semua materi yang disampaikan dihapal sebelum tampil. Mulai judul ceramah sampai doa penutupnya.

Padahal Hakim Baihaqi Marwa ini belum begitu pula fasih membaca Alquran. Bahkan kemampuannya membaca huruf arab itu baru setingkat Iqro VI. Namun hafalannya sejumlah surat-surat dalam Alquran cukup diandalkan. "Lho..dia itu belum bisa baca Quran kok. Hanya menghafal. Kalau kemampuannya baru sampai Iqro VI," ujar Ismi, nenek Hakim Baihaqi Marwa ini.

Ismi yang biasa dipanggil mbah itu menjadi teman lain bagi Hakim. Hampir ke berbagai lokasi ceramah, nenek berusia lebih dari 60 tahun itulah yang mendampingi. Tanpa merasa lelah harus mengunjungi berbagai tempat.

Lantas siapa yang mengajarkan ceramah? Ismi mengaku semua materi ceramah itu didapat dari dirinya. Hakim cukup mendengarkan apa saja materi yang perlu disampaikan. Selanjutnya Hakim berusaha improvisasi saat di hadapan penonton.

"Ya..kulo sing ngajari ini. Mboten wonten sing lain. Yo...kulo niki (Ya saya ini yang mengajari. Tidak ada yang lain, ya saya ini," kata Ismi sambil tertawa.

Ditanya sejak kapan Hakim mulai belajar ceramah, Ismi menuturkan kemampuan itu didapat Hakim saat belajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA). Materi yang ada selama belajar tersebut coba diolah dan disampaikan ulang pada masyarakat.
Lama kelamaaan, lanjut Ismi, kabar kemampuan Hakim berceramah mulai dikenal. Banyak warga kampung tempat Hakim tinggal di Pacitan mengundangnya tampil sebagai penceramah.

"Sejak itulah Hakim mulai dikenal sebagai dai cilik di kampung. Mulai keliling untuk berceramah," imbuh Ismi yang sempat berprofesi sebagai guru itu.

Dia mengakui kondisi Hakim yang kurang beruntung itu sempat membuatnya kecil hati. Hakim pun merasakan hal serupa. Hingga tak merasa nyaman tinggal di rumah orang tuanya di Bekasi.

Hakim, kata Ismi, lebih nyaman berada di Pacitan. Karena hidup di Bekasi seperti diasingkan banyak orang. Akibatnya Hakim merasa minder tak percaya diri.

"Sejak tinggal di Pacitan selalu saya bawa keliling. Mulai ke pasar, ketemu orang sampai ke kota pun saya bawa," paparnya.

Waktu itu, dia mengenang usia Hakim baru sekitar 2 tahunan. Hakim kecil masih bisa digendong ke mana-mana. Tanpa merasa berat dan kesulitan. Seiring beranjaknya usia, dia mengakui tubuh Hakim semakin berat. Tak bisa lagi digendong untuk menemani. Terpaksa menggunakan kursi roda.

"Sak niki sampun boten kuat kulo. Abot temen rasane. Yo..nganggo kursi roda mawon (Sekarang sudah tidak kuat saya. Berat sekali rasanya. Ya pakai kursi roda saja)," katanya sambil tertawa.

Sudah sering tampil di mana saja" Ismi menyebutkan kemampuan Hakim berceramah memang belum baik. Masih perlu terus ditingkatkan. Tapi sudah banyak yang senang mendengarkan Hakim berceramah.

Paling tidak, lanjut dia, sudah banyak pejabat berkeinginan mendengar ceramah Hakim. Terakhir M Nuh yang secara langsung mengundangnya untuk berceramah. "Sekarang di depan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari ini," ujarnya.

Hakim kalau besar mau jadi apa? Hakim Baihaqi Marwa langsung menjawab jadi dai. Alasannya kalau jadi tentara harus punya tangan dan kaki.

Apa hasil dari ceramah selama ini? Dia mengaku telah membeli laptop untuk kebutuhan sehari-hari. Termasuk dua buah telepon genggam yang digunakan untuk berkomunikasi dengan ayah-ibunya. "Hakim juga hobi memelihara hewan. Di rumah Pacitan itu banyak sekali hewan peliharaannya. Saya yang mengurusnya," pungkas Ismi. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejayaan Lan Fang, Republik Pertama di Indonesia, yang Berlanjut di Singapura


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler