Hal yang Perlu Anda Tahu soal Polemik Jiwasraya

Selasa, 24 Desember 2019 – 12:15 WIB
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko. Foto dok humas

jpnn.com, JAKARTA - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) diterjang badai dahsyat. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi itu gagal melaksanakan kewajibannya yang membuat para pemegang polis JS Saving Plan dirugikan. Selain nasabah, negara juga dirugikan dengan perkiraan awal Rp 13,7 triliun.

Dalam rapat kerja dengan Dirut PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hexana Tri Sasongko, Senin (16/12) lalu, Komisi VI DPR  meminta aparat penegak hukum mencegah direksi perusahaan pelat merah periode 2013-2018.

BACA JUGA: Menteri Erick Berikan Perlindungan buat Dirut Jiwasraya Pembongkar Kasus

"Komisi VI DPR merekomendasikan penyelesaian permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) lewat penegakan hukum tetap dijalankan, dimulai dengan melalukan pencekalan terhadap direksi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018 sehingga ada kejelasan kasus," kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima saat rapat. 

Komisi VI DPR juga merekomendasikan membentuk panitia kerja (panja) atau panitia khusus (pansus) untuk penyelesaian permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Komisi juga meminta PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membuat rencana strategis penyelesaian masalah yang saat ini terjadi.

BACA JUGA: Keluar Istana, Sri Mulyani Singgung Masalah Jiwasraya

Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan terjadinya ketidakmampuan membayar klaim yang jatuh tempo sebenarnya bukan hubungan tunggal saja, tetapi sudah menyangkut masalah yang kompleks di dalam perusahaan termasuk sisi aset dan liabilitas (utang yang harus dilunasi).

"Jadi, produk yang sekarang bermasalah ini adalah produk investasi yang digabung dengan proteksi asuransi kecelakaan yang dijual melalui kanal bancassurance melalui sembilan bank," kata Hexana dalam rapat itu.

BACA JUGA: Komisi XI DPR Sarankan Dua Langkah Strategis Mengatasi Persoalan Jiwasraya

Dia memerinci dua bank pemerintah, dua BPD, dan selebihnya bank asing dan swasta nasional. Hexana mengatakan, return (hasil investasi) tinggi yang dijanjikan ke nasabah, pada kenyataannya tidak bisa di-cover oleh hasil investasi. Menurutnya, janji return mencapai 9-13 persen, sedangkan kondisi pasar saat itu jauh lebih rendah. 

Padahal, kata dia, industri asuransi mengumpulkan premi yang sifatnya investasi, hanya bisa diinvestasikan di instrumen keuangan. Kemudian janji yang diberikan bersifat garansi untuk periode tertentu masa investasi satu tahun.  

"Janjinya antara 9-13 persen tetapi imbal hasil 7-9 persen. Belum lagi, return yang dibayar ke nasabah itu net (bersih) sedangkan hasil investasi asuransi dikenakan pajak final 15 persen. Itulah yang menyebabkan negative spread (tingkat suku bunga pinjaman yang lebih rendah daripada tingkat suku bunga tabungan)," ujarnya.

Menurut dia, kalau bergulir terus, setiap sen yang masuk berkontribusi terhadap kerugian perusahaan yang pada ujungnya berakibat arus kas negatif. "Itu di sisi desain produk, atau di sisi liabilitas. Dalam lima tahun terakhir 2013-2018, itu dominan menjadi sumber penerimaan premi perusahaan yang utama atau 80 persen dari penerimaan premi," katanya.

Kemudian, dari sisi investasi. Menurut Hexana, sudahlah di kewajiban ke nasabah itu berbiaya tinggi, dari sisi penempatan hasil premi juga sangat jauh dari prinsip kehati-hatian. Jadi, investasi itu digeser atau ditempatkan pada instrumen saham atau reksadana saham. 

"Kenapa pilihannya seperti itu, kalau diinvestasikan dalam bentuk government bond (obligasi pemerintah) yang secara regulasi harus minimal 30 persen, itu tidak akan pernah mengejar janji yang diberikan kepada nasabah," ujarnya.

Karena itu, lanjut dia, dipilih instrumen-instrumen saham dan reksadana saham. Menurutnya, kalau yang dipilih itu saham blue chip (saham unggulan) tentu volatilitas (besarnya jarak antara naik turunnya harga saham atau valas), tidak akan pernah mencapai jumlah yang dijanjikan. 

Ketika konsentrasi risiko pada saham dan reksadana saham yang kualitas rendah, maka ketika market crash (mayoriyas pasar saham mengalami koreksi, red) maka akan dua kali mengalami masalah. "Ketika market turun dia turun lebih banyak, ketika market recover (pemulihan pasar, red) mungkin mereka tidak recover (pulih, red). Karena itu juga saham-saham yang dibeli performance sudah tidak baik, ketika dibeli bahkan dalam keadaan merugi emiten itu," paparnya.

Dia menambahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2015 telah menemukan terjadinya window dressing (upaya mempercantik laporan keuangan atau portofolio, red) atau penyajian balance sheet (laporan posisi keuangan, red) yang overstated (melebih-lebihkan, red) di sisi aset, tetapi understated (rendah, red) di sisi liabilitas. "Sehingga angka perusahaan sebenarnya semu," tegas Hexana. 

Dia mengatakan overstated di sisi aset yaitu kondisi saham devaluasi (menurun) dengan harga tinggi, sementara di sisi liabilitas perhitungan cadangannya kurang dari ketentuan dan jumlahnya sangat signifikan. 

Ia menambahkan ketika makro ekonomi secara global berubah arah, dan Amerika Serikat akan menaikkan suku bunga maka memasuki 2018 investasi yang sudah ada di dalam buku, nilainya berjatuhan.  Dia menegaskan koreksi pasar modal pun menjadi luar biasa. Kepercayaan masyarakat pun mulai menurun. "Kalau saya lihat data empirisnya memang pencairan itu terus menerus memasuki 2018 bahkan jauh sebelum kami masuk (menjabat)," katanya yang menjadi dirut sejak Januari 2019 itu.

Menurutnya, untuk membayar pencairan polis yang dilakukan masyarakat itu tidak bisa ditutup dengan penjualan aset. Karena aset tidak laku dijual. "Maka yang dilakukan pencairan alat likuid (cair) seperti giro dan deposito, sehingga ketika kami masuk perusahaan sebenarnya sudah tidak punya uang," jelasnya. 

Jadi, Hexana menjelaskan kondisi yang terjadi adalah turunnya kepercayaan masyarakat yang menyebabkan terjadinya pencairan tetapi tidak diimbangi likuiditas. "Itulah yang menyebabkan akhirnya sampai 15 Oktober 2018 (perusahaan) tidak lagi mampu membayar," ujarnya. 

Menurut dia, sisa likuditas yang ada dipakai untuk going concern, artinya perusahaan harus tetap beroperasi agar inisiatif-inisiatif yang dilakukan pemegang saham itu ada gunanya.  "Sebab, inisiatif-inisiatif tidak mungkin digunakan apabila perusahaan sudah tidak beroperasi. Jadi konsekuensinya adalah penundaan pembayaran," paparnya.

Hasilnya, lanjut Hexana, perusahaan dalam tekanan luar biasa. Solvabilitas atau kemampuan perusahaan memenuhi semua kewajiban, dan ekuitas (modal) negatif. Menurutnya, ekuitas PT Asuransi Jiwasraya (Persero) secara historis memang punya persoalan negatif selama bertahun-tahun.

Ia mengatakan pernah ada solusi pada 2012 yaitu lewat reasuransi. Hanya saja, secara ketentuan reasuransi tidak mengurangi liabilitas. Menurutnya, akhir Desember 2012, regulator menghentikan perhitungan reasuransi sebagai pengurang liabilitas. "Maka perusahaan menjadi negatif ekuitas," tegasnya.

Dia menambahkan pada 2013 diatasi dengan revaluasi (penyesuaian nilai aset, red) aktiva tetap dan properti. Dengan revaluasi, nilai buku yang tadinya rendah menghasilkan nilai buku yang tinggi, tetapi tidak ada cash and flow. Hanya di dalam buku saja ekuitasnya menjadi positif. Sejak tahun itulah  kebutuhan likuiditas terasa.  

"Maka terbitlah saving plan tadi untuk membentuk likuiditas. Sayang janji terlalu muluk tidak bisa diimbangi investasi bahkan kualitas investasi dikorbankan," ungkap Hexana. 

Ia menambahkan total penerimaan premi dari produk ini mencapai 75 persen dari total premi yang diterima. Jadi perusahaan berjalan pada konsentrasi risiko yang tinggi tergantung kinerja dari satu produk. 

Sejak 2015 perusahaan tidak pernah dapat margin positif dari bisnis ini. Menurut dia, premi hanya dikumpulkan untuk gali lubang tutup lubang agar mampu bertahan. Jadi, tegas dia, secara bisnis model ini tidak menjanjikan sama sekali. "Per September 2019,  kami punya 5,5 juta pemegang polis. Yang saving plan kami punya 17.403 tetapi merepresentasikan angka yang sangat tinggi dalam utang kami," katanya. 

Dia mengatakan saving plan ini masa asuransinya lima tahun, tetapi masa investasinya satu tahun. Artinya setiap tahun jatuh tempo, dan harus dibayar kecuali kalau nasabah minta diperpanjang.  "Jadi, meski sudah jatuh tempo satu tahun, masa proteksi asuransi terhadap kecelakaan itu sampai tahun kelima. Kalau terjadi risiko di masa investasi langsung dibayarkan sesuai nilai asuransinya," ujarnya. 

Kerja sama bancassurance Jiwasraya ini memakai pola distribusi. Produk dijual melalui kanal bank kemudian memakai tenaga pemasar bank. Perusahaan membayar fee based income (pendapatan operasional bank dari nonbunga, red) kepada bank lewat perjanjian distributor dengan perbankan. "Jadi, dijual melalui sembilan bank. Dua bank pemerintah, dua BPD, dan lainnya bank asing atau swasta nasional. Delayed payment Rp 11 triliun," katanya. 

Kasus gagal bayar Jiwasraya ini tengah disidik Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah sebelumnya diproses oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut ada indikasi kerugian negara dari investasi yang melibatkan grup-grup tertentu, melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik dari tahun 2018 sampai 2019.  Akibat dari transaksi keuangan tersebut, hingga Agustus 2019 Jiwasraya menanggung potensi kerugian negara Rp 13,7 triliun.

"Potensi kerugian muncul karena tindakan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi JS Saving Plan," kata Burhanuddin, Rabu 18 Desember 2019.

Orang nomor satu di Korps Adhyaksa yang karib disapa Pak Bur itu menuturkan JS Saving Plan telah mengalami gagal bayar terhadap klaim yang telah jatuh tempo. Menurutnya, hal itu juga terprediksi oleh BPK sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan dan biaya operasional tahun 2014 hingga 2015.

Menurutnya, indikasi kerugian itu terlihat pada pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi Jiwasraya, yang telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi, untuk mengejar keuntungan tinggi. Adapun invetasi yang dimaksud adalah penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial.

Dari jumlah tersebut, lima persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45), dan sebanyak 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.

Kemudian, investasi berupa penempatan reksadana sebanyak 59,1 persen senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut, dua persennya yang dikelola oleh manager investasi Indonesia dengan kinerja baik (Top Tier Management) dan 98 persennya dikelola oleh manager investasi dengan kinerja buruk. “Hingga kini kami masih bekerja, tetapi untuk potensi kerugian sejauh ini mencapai Rp 13,7 triliun,” tandas Burhanuddin.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Adi Toegarisman menuturkan pihaknya telah membentuk tim khusus dalam menangani kasus ini. Tim berjumlah 16 orang. Perinciannya 12 orang anggota. Empat orang di level pimpinan. "Itu yang akan menangani," kata Adi di kantonya, Rabu 18 Desember 2019. 

Menurut Adi, sejauh ini saksi yang sudah diperiksa sebanyak 89 orang. Penyidik juga mengumpulkan bukti dan berkoordinasi dengan lembaga terkait demi menghitung kerugian negara.

Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan kondisi yang menimpa Jiwasraya dapat memberikan dampak sistematik terhadap pasar keuangan, terutam asuransi. 

Menurutnya, OJK harus banyak belajar dari kasus ini untuk menghindari dampak sistemik. Ia menambahkan selain harus menyelesaikan kasus Jiwasraya ini,  OJK juga mesti membuat aturan yang mengantisipasi kasus yang sama tidak terulang.

Menurutnya, semua aturan pasar asuransi perlu di-review. OJK harus membuat kebijakan dan aturan yang friendly, namun tetap dapat menjaga stabilitas pasar keuangan dan asuransi.  Dito menyarankan selain fokus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, OJK harus memiliki visi yang jauh ke depan. "Seperti halnya industri lain, pasar asuransi juga harus siap dengan gempuran Insur Tech," ujarnya. 

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan publik tentu dibuat kaget dengan kemunculan kasus ini secara tiba-tiba, terlebih lagi dengan nilai yang fantastis mencapai triliunan rupiah. Menurut dia, persoalan ini tidak hanya membuat kepercayaan kepada asuransi menurun.

"Kalau begitu terus, kepercayaan publik kepada lembaga keuangan juga akan menurun dan menjadi problem serius karena yang seperti ini beberap kali terjadi," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/12).

Ia menegaskan karena ini perusahaan asuransi BUMN maka sudah seharusnya pengawasan pemerintah melekat. Sebab, banyak modal negara dan kepercayaan publik dipertaruhkan.

"Uang negara ditaruh (dikucurkan) begitu besar, kepercayaan publik juga sama, tetapi tiba-tiba sepertinya kecolongan dengan pengelolaan yang tidak prudent. Masa harus terus menerus ditimpa dengan problem yang sama, tersandung dengan masalah yang sama dan di tempat yang sama. Itu menurut saya harus belajar," katanya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi menilai setidaknya dua langkah penting yang perlu dilakukan dalam mengatasi persoalan Jiwasraya. Pertama, pemeriksaan secara hukum terhadap pihak-pihak yang menyebabkan masalah di Jiwasraya. "Kedua, jalan keluar untuk memberi perlindungan kepada para pemegang polis,” ujar Fathan di Jakarta, Jumat (20/12).

Fathan mengingatkan semua pihak yang menyebabkan skandal Jiwasraya terjadi harus diperiksa. "Yang dimintai tanggung jawab bukan hanya direksi dan komisaris lama, tapi juga para pemain di pasar modal yang terlibat, dan siapa pejabat Otoritas Jasa Keuangan yang mengawasi pada waktu itu,” pungkasnya. (boy/cuy/fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler