jpnn.com - Tinggal satu persetujuan yang ditunggu: dari Tiongkok. Besok pagi harus ada keputusan: setuju atau tidak.
Enam negara lainnya sudah setuju: termasuk Amerika. Setuju apa?
BACA JUGA: Kaligrafi TKW
Qualcomm mengakuisi NXP. Perusahaan chip Amerika itu ingin membeli perusahaan chip Belanda. Dengan harga USD 47 miliar. Setara Rp 500 triliun lebih.
Pembelian itu harus melalui persetujuan komite antimonopoli dunia. Yang beranggotakan 7 negara. Satu saja dari tujuh itu tidak setuju, transaksi harus batal.
BACA JUGA: Pendongeng Michio Kaku dari Ciheras
Yang dikhawatirkan adalah: terjadi monopoli tingkat dunia. Enam negara bilang: tidak.
Tiongkok: belum berpendapat. Cenderung tidak setuju. Atau menjadikannya alat untuk nego bidang lain.
BACA JUGA: Boyke untuk Dampak Maâerot
Tiongkok kabarnya akan setuju. Dengan alasan: Amerika sudah mengijinkan kembali ZTE membeli chip dari Amerika.
Larangan tujuh tahun itu sudah dicabut. Sanksi itu sudah diselesaikan dengan membayar denda: Rp 40 triliun lebih. ZTE, perusahaan telkom terbesar kedua di Tiongkok itu berjanji: tidak akan dagang lagi dengan Iran.
Untuk mencabut sanksi ke ZTE itu Presiden Trump sampai berani melawan Kongres. Yang melarang Trump berubah sikap.
Orang bingung: kenapa Trump sampai jadi tempe-kedelai. Analis lantas menghubungkannya dengan ini: perlu persetujuan Tiongkok untuk aksi Qualcomm.
Bergabungnya Qualcomm dengan NXP memang mengkhawatirkan Tiongkok. Terutama di bidang online payment. Yang Tiongkok sudah jadi rajanya. Dengan menggandeng NXP maka Qualcomm memiliki chip untuk sistem payment yang baru.
Dunia akan segera berubah: tidak perlu lagi ada uang. Kita lihat besok. Atau lusa. Apakah Tiongkok akhirnya memberikan izinnya.
Transaksi Qualcomm-NXP ini juga pernah nyaris tidak akan terjadi. Sebelum itu, Qualcomm sendiri hampir saja dibeli dengan ‘paksa’ oleh Broadcom. Tahun lalu.
Pembelian paksa itu hanya gagal karena satu sebab: Presiden Trump menggagalkannya. Dengan cara mengeluarkan ‘Dupersemar’. Semacam dekrit presiden. Tanggal 12 Maret 2018. Duabelas Maret. Dupersemar. Empat bulan yang lalu.
Alasan Trump: pembelian itu membahayakan keamanan negara Amerika. Trump menggunakan UU tahun 1950. Defend Production Act.
Mengapa? Broadcom, yang akan membeli paksa Qualcomm itu adalah perusahaan asing. Dari Asia. Perusahaan Singapura.
CEO Broadcom adalah Tan Hock Eng. Kelahiran Penang, Malaysia.
Kalau sampai Qualcomm dibeli perusahaan asing: bahaya. Gabungan Broadcom dan Qualcomm akan menjadi yang terbesar di dunia. Di bidang sumikonductor. Mengalahkan Intel.
Padahal saat ini Intel yang nomor satu. Qualcomm nomor dua. Broadcom nomor tiga. Berarti perusahaan pembuat chip terbesar di dunia bukan lagi perusahaan Amerika. Ini akan menurunkan derajat Amerika: sebagai pemimpin dunia di bidang semiconductor.
Rencana beli paksa itu memang membuat gempar. Semua mata mengarah ke satu nama: Tan Hock Eng. Yang kelahiran Penang itu.
Tan Hock Eng-lah memang dalang segala dalang transaksi itu. Mengapa disebut ‘beli paksa’? Adakah Tan Hock Eng punya kekuasaan untuk memaksa? Bukankah Tan Hock Eng tidak bisa mengeluarkan dekrit? Bukankah ia juga tidak bisa injak kaki?
Memang Tan Hock Eng bukan Trump. Bukan pula Putin. Atau Xi Jinping.
Tapi harga pembelian yang diajukan Tan Hock Eng memang sangat fantastis. Tertinggi dalam sejarah jual beli perusahaan teknologi.
Dengan harga itu siapa pun akan terpaksa menjualnya. Hanya orang yang tidak bisa melihat angka dalam lembaran uang yang tidak menjual.
Untuk harga segitu Tan Hock Eng tidak perlu bertanya: apakah Qualcomm akan dijual. Tidak perlu permisi: kami ingin membeli. Tidak perlu ngomong pada direktur Qualcomm. Tidak perlu ke pemilik perusahaan.
Broadcom tinggal pergi ke pasar modal. Lalu mengumumkan: ingin membeli saham Qualcomm dengan harga xxxxxxxxxxx.
Dengan harga yang ditawarkan itu mayoritas pemegang saham pasti terpaksa hijau matanya. Otomatis terpaksa menjual saham mereka.
Harga yang ditawarkan itu – sebaiknya Anda tidak usah peduli – USD 117 miliar. Atau Rp 1.500 triliun.
Satu perusahaan mau dibeli dengan harga segitu: siapa yang tidak terpaksa menjual!
Tapi Tan Hock Eng sejak awal sudah menduga: akan banyak halangan. Ia sudah mendengar perusahaan chip Intel keberatan.
Pemerintah Amerika turun tangan.
Padahal Tan Hock Eng sudah pasang kuda-kuda: tidak keberatan Broadcom menjadi perusahaan Amerika. Memindah kantor pusatnya: dari Singapura ke sana.
Tan Hock Eng juga sudah berjanji: akan mengalokasikan USD 2 miliar untuk dana riset. Dan USD 6 miliar untuk mendirikan pabrik di AS.
Toh dekrit presiden keluar. Dupersemar membatalkan transaksi itu.
Tan Hock Eng anak orang miskin. Ia cerdas luar biasa. Setamat SMA di Penang ia mendapat beasiswa: kuliah di MIT. Saat umurnya 18 tahun.
Dari MIT ia sekolah lagi. Ambil manajemen. Dapat gelar MBA di Harvard.
Tan Hock Englah yang membuat Broadcon menjadi emas. Harga saham Broadcom menjadi di atas USD 200. Per lembar. Sebelum ia jadi CEO dulu hanya USD 30/lembar.
Bonus yang ia peroleh luar biasa besar. Membuatnya menjadi CEO dengan pendapatan terbesar di seluruh dunia. Perusahaan memang sangat menghargai CEO yang berhasil. Dengan uang besar dan saham.
Awalnya hanya sebuah unit kerja di HP. Yang mengerjakan komponen untuk komputer HP. Lalu dipisah menjadi unit usaha. Itu tahun 1961.
Tahun 1999 unit usaha itu tingkatkan lagi menjadi sebuah perusahaan. Terbentuklah Agilent Tech.
Enam tahun kemudian, tahun 2005, Agilent dibeli oleh KKR. Diubah namanya menjadi Avago. Tidak lama kemudian Avago merekrut Tan Hock Eng jadi CEO.
Di mata Avago, Tan Hock Eng sangat istimewa. Avago tidak keberatan Tan tetap merangkap di jabatan sebelumnya. Yang begitu banyak. Yang begitu tinggi. Misal: CEO Integrated Circuit System, Vice Presiden Finance Comodore International, Senior Adviser Pepsi dan General Motor serta penasehat pemerintah Singapura dan Malaysia.
Sejak itulah Avago melakukan berbagai aksi korporasi. Gila-gilaan. Semua sukses. Harga sahamnya melejit-jit-jit.
Terakhir Avago membeli Broadcom. Membeli LSI Logistic. Dan menjadikan Broadcom sebagai holding. Menjadi terbesar nomor tiga dunia.
Tapi Tan Hock Eng mendapat sandungan di langkah terakhir: Dupersemar itu.
Padahal tidak kurang-kurangnya ia mendekati Trump. Dengan rencana-rencananya tadi.
Tan Hock Eng juga masih punya tanggungan lain: dua dari tiga anaknya autis. Satu laki-laki, satu perempuan.
Ia mendonasikan USD 10 juta ke Cornell University. Untuk program autisnya. Juga USD 20 juta ke MIT. Untuk program reparasi otak manusia.
Yang menjadi sumber autis seorang manusia. Tan Hock Eng juga seorang manusia.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menanti Kemampuan Menahan Diri
Redaktur : Tim Redaksi