BANDUNG – Selama kurun waktu dua tahun ini, sebagian besar pelajar tidak lagi hapal butir Pancasila. Angkanya cukup fantastis, 76 persen dari 2.500 responden di 33 provinsi. Sedangkan pelajar yang hapal Pancasila berdasarkan survei lembaga ternama itu, hanya 24 persen.
"MPR-RI telah meminta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan Pancasila pada kurikulum. Rencananya tahun ini, meskipun masih dilakukan kajian-kajian karena berbicara kurikulum tidak bisa terburu-buru,” ujar Wakil Ketua MPR-RI Melani Leimena Suharli di sela-sela acara sosialisasi empat pilar bermasyarakat berbangsa dan bernegara di Alun-alun Ujungberung, seperti diberitakan Radar Bandung (Grup JPNN).
Kurikulum ini, kata dia, akan masuk di semua tingkat pendidikan mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam pelaksanaannya, mata pelajaran Pancasila tidak dengan metode Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dahulu pernah dipergunakan, namun lebih pada sistem terbuka sehingga guru dan murid lebih banyak berdialog.
“Kita harapkan, pendidikan Pancasila lebih dapat dihayati dan diamalkan, dan kita berharap Pancasila tidak mati, di mana Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dan terdapat lima sila saling terkait. Selain itu, nantinya mata pelajaran pancasila ini akan diberi nama Pancasila,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjutnya, sesuai amanat Undang-undang Sisdiknas tahun 2003, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), masih diterapkan. “Maka dari itu saat ini Kemendikbud tengah mengkaji dalam rangka memisahkan isi Pancasila dari mata pelajaran PKN untuk dijadikan mata pelajaran tersendiri,” ucapnya.
Perumusan pendidikan Pancasila ke dalam kurikulum, kata dia, cukup penting karena bisa membentuk karakter siswa. Pihaknya berharap, masuknya Pancasila sebagai mata pelajaran, dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik tentang nilai-nilai luhur Pancasila.
“Bahwa semua manusia itu sama derajatnya sebagai ciptaan Tuhan, menanamkan rasa cinta terhadap Tanah Air. Dan menumbuhkan kecintaan dengan membangun kebanggaan generasi muda melalui prestasi yang membanggakan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, sudah saatnya pola pendidikan Indonesia tidak terlalu bersifat kognitif, tetapi juga termasuk di dalamnya pendidikan kepribadian dan peradaban. “Oleh karena itu, dengan adanya Pancasila ini sebagai pendidikan yang menekankan pada pendidikan karakter,” jelasnya.
Pendidikan karakter ini, katanya, mencegah disintegrasi bangsa, aksi kekerasan atas nama kelompok tertentu dan agama. Tujuan ini, kata dia, bisa tercapai jika pendidikan karakter sukses menumbuhkembangkan rasa cinta dan bangga terhadap Indonesia.
Melani melanjutkan, hilangnya pemahaman ideologi bangsa ini, akibat dari konsekuensi logis perubahan kurikulum dan sistem pendidikan nasional yang berlangsung sejak 2003. Kala itu, inklusivitas ideologi Pancasila dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan.
“Sejak saat itu, praktis Pancasila mulai tak lagi dihayati anak didik, karena tak diajarkan secara langsung di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya,” jelasnya. (jat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Guru Didiklat Kewirausahaan untuk Siswa Disabilitas
Redaktur : Tim Redaksi