jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahudin memperkirakan, Pemilu serentak 2019 menjadi kompetisi politik paling rumit bagi partai politik. Masing-masing parpol akan berlakon ganda pada waktu yang sama.
Pada peran pertama, parpol memosisikan diri sebagai mitra parpol lain dalam koalisi pemilihan presiden dan wakil pesiden (Pilpres).
BACA JUGA: Ratna Sarumpaet: Jokowi Menang, Indonesia Hilang
PDIP, Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, Partai Perindo, dan PSI dituntut saling bekerja sama memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Ma'ruf Amin.
Demikian pula dengan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Berkarya, mau tidak mau harus bergotong-royong jika ingin Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno memenangkan Pilpres 2019.
BACA JUGA: Terbukti, Jokowi Terjebak Desain Sistematis Ulama PA 212
"Dari peran yang pertama ini, relasi yang terbangun adalah hubungan positif. Semangat yang ditonjolkan kebersamaan. Artinya, partai politik yang satu akan menganggap partai politik lain sebagai teman atau sekutu," ujar Said di Jakarta, Senin (13/8).
Tapi pada saat bersamaan, kata Said kemudian, partai politik yang berada dalam satu barisan koalisi pilpres, justru berada pada posisi saling berhadapan untuk berebut kursi parlemen di Pemilu legislatif (Pileg).
BACA JUGA: Fadli Tak Mau Bawaslu Garap Sandi soal Tuduhan Andi Arief
"Masing-masing parpol akan memosisikan teman koalisinya sebagai pesaing. Semangat yang tumbuh bukan lagi spirit kolektivitas, melainkan kompetisi atau rivalitas. Relasi yang terbentuk di antara sesama parpol pun menjadi hubungan yang negatif," ucapnya.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) itu melihat koalisi yang dibangun kubu petahana maupun kubu penantang di Pilpres 2019, berpotensi menyimpan problem soliditas.
Apalagi diperkirakan hanya PDIP dan Gerindra yang berpeluang memperbanyak perolehan suara legislatif. Sebab, hanya dua parpol itu yang berhasil mendudukan kadernya sebagai capres-cawapres.
"Di sinilah letak kerumitan yang dihadapi oleh parpol-parpol tersebut. Selama masa kampanye nanti PDIP dan Gerindra diduga akan membangun persepsi di masyarakat, bahwa Jokowi adalah PDIP dan Prabowo adalah Gerindra," katanya.
Menurut Said, kalau partai-partai pengusung dan pendukung terlalu bersemangat mengampanyekan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, muncul kekhawatiran pemilih justru akan memberikan suara legislatifnya kepada PDIP atau Gerindra.
"Inilah konsekuensi dari sistem pemilu serentak yang diembel-embeli ketentuan 'presidential threshold'. Parpol dipaksa berkoalisi dan terpaksa berperan ganda. Sebagai teman sekaligus lawan," pungkas Said.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yusril Sebut Jokowi Sudah Sakti Mandraguna, Ini Alasannya
Redaktur & Reporter : Ken Girsang