jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron mengaku, sejak awal sudah meragukan komitmen pemerintah yang tidak akan menaikan harga BBM nonsubsidi. Sebab, di tengah kondisi harga minyak dunia yang melambung, kondisi harga keekonomian BBM nonsubsidi tidak bisa terus menerus ditekan.
Selain karena harga minyak dunia yang melambung, sambung Herman, tergerusnya rupiah terhadap dolar juga memengaruhi harga BBM. "Dari awal kami menyangsikan tekad pemerintah untuk tidak menaikan semua jenis BBM dalam tahun ini," ujar Herman kepada INDOPOS, Minggu (1/7).
BACA JUGA: BBM Naik: Anak Buah Prabowo Ajak Rakyat Protes
Pemerintah, lanjutnya, mestinya lebih transparan dalam melihat situasi seperti ini. Di tengah kondisi yang cukup tinggi risiko, mestinya pemerintah bisa menghitung secara cermat dalam mekanisme penentuan harga dan subsidi.
Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal juga angkat bicara. "Kenaikan harga BBM itu bukan permasalahan setuju atau tak setuju. Tetapi masyarakat harus diberikan pendidikan, berkaitan dengan anggaran/APBN dan sumber BBM yang kita kelola bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Karena selama ini pendidikan kepada rakyat tak sampai," kata Cucun.
BACA JUGA: Harga BBM Naik: Pukulan Telak dari Dua Sisi
Cucun menilai, ada kesalahan awal dalam memberikan informasi atau pendidikan kepada masyarakat berkaitan dengan kenaikan BBM yang dikaitkan dengan ketersediaan anggaran APBN. "Sebelumnya, pemerintah lebih mempertahankan pecintraan dengan harapan kualitas pemerintah tak mau jeblok di mata masyarakat Indonesia," ungkapnya.
Karena lebih mengedepan pencitraan itu, Cucun mengungkapkan di saat terjadi kenaikan atau melambungnya harga minyak mentah dunia, pemerintah tak bisa mensubsidi sehingga penyesuaiannya dengan cara menaikkan harga BBM.
BACA JUGA: Harga BBM Naik saat Nilai Tukar Rupiah Melemah
"Sebelumnya, minyak mentah dunia pada kisaran 40-45 USD per barrel, sekarang melambung dan tembus 60 sampai 70 USD per barrel," ungkapnya.
Cucun mengatakan, jika anggaran di APBN digunakan terus untuk menutupi subsidi BBM, APBN bisa jebol.
"Inilah pentingnya pemerintah memberikan pendidikan yang jelas kepada rakyat. Jangan melakukan pembohongan kepada rakyat dengan menyatakan pemerintah mampu tak menaikkan harga BBM demi melakukan pencitraan kepada rakyat. Tak boleh demikian," tuturnya.
Sedangkan menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Zubir, keputusan perusahaan migas milik negara itu tidak salah karena jenis BBM tertentu tidak masuk dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 45 Pasal 33. Dalam ayat 2 disebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
“Dari ayat ini berarti tidak semua cabang cabang produksi yang dikuasai yang dikelola badan usaha milik negara tidak melulu tentang produk yang penting, tapi badan usaha milik negara dapat memproduksi produk yang menguntungkan secara komersial,” kata Inas melalui keterangan tertulisnya, Minggu (1/7).
BACA JUGA: BBM Naik: Anak Buah Prabowo Ajak Rakyat Protes
Menurut Inas, produksi minyak bumi nasional tidak cukup untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Bahkan, kata dia, setengah dari BBM tersebut harus diimpor dari negara lain. Dengan demikian, pemerintah selaku regulator memiliki ruang untuk mengatur harga BBM lewat regulasi.
“Akan tetapi, di sisi lain badan usaha milik negara berhak menjalankan usaha-nya untuk mengejar keuntungan melalui BBK maupun produk hasil kilang selain BBM, jadi mengikuti harga pasar tidak bertentangan dengan konstitusi selama produk tersebut bukan merupakan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak,” ujar politikus Partai Hanura itu. (dai/aen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BBM Naik: Pertamax Rp 9.500, Begini Penjelasan Pertamina
Redaktur & Reporter : Soetomo