jpnn.com, JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku tidak bisa berbuaat banyak menyikapi harga garam di tingkat petani yang mulai turun.
Penurunan harga garam tersebut merupakan dampak keputusan pemerintah mengimpor 3,7 ton garam industri.
BACA JUGA: Ingin Jual Ikan Lagi, Bu Susi Berhenti jadi Menteri?
Ketua Aliansi Masyarakat Garam (AMG), Ubaid dul Hayat mengatakan, saat ini harga garam di tingkat petani sudah beberapa kali jatuh di angka terendah Rp 2.000 per kilogram. “Sebelum ada isu impor, harga pasarannya masih Rp 2.700 per kilogram,” kata Ubaid pada Jawa Pos, Senin (26/3).
Pada kondisi normal, harga garam di tingkatan petani Rp 2.100 per kilogram dan Rp 2.300 per kilogram di tingkatan pabrik/perusahaan. Ini hanya menyisakan Rp 100 rupiah dari rata-rata Harga Pokok Produksi (HPP) petani Rp 2000 per kilogram.
BACA JUGA: Semua Habis, Menteri Susi mau Nangis
Abdurrahman, Sekretaris AMG menambahkan, sejak mencuatnya isu impor pada awal Februri lalu, harga bahkan menyentuh Rp 1.800 per kilogram. “Itu dua bulan lalu, begitu ada isu impor, harga langsung turun,” katanya.
Meski demikian, menurut Ubaid harga-harga di atas diperuntukkan bagi garam sisa stok panen tahun 2017. Harga masih bisa berubah saat masa panen garam pada pertengahan tahun nanti. “Makanya, memasuki masa panen ini, kita kejar agar pemerintah memberikan jaminan harga,” kata Ubaid.
BACA JUGA: Anies Baswedan Minta Bantuan Susi Pudjiastuti
Para petani, kata Ubaid menginginkan agar pemerintah menetapkan harga acuan seperti penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan HPP untuk beras. “Jadi kalau ada isu impor, harga tidak gampang anjlok,” katanya.
Idealnya, kata Ubaid, harga garam dengan kualitas 1 (KW 1) paling tidak Rp 2.500 per kilogram, untuk KW 2 Rp 2.200 per kilogram, serta KW3 Rp 2.000 per kilogram. “KW 1 paling bersih kristalnya, KW 3 itu kotor,” kata Ubaid menjelaskan.
Selain isu impor yang membuat harga jatuh, Ubaid bahkan menyebut sudah banyak garam impor yang telah bocor ke pasaran. Utamanya pada Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang selama ini dipasok oleh garam dari pasar-pasar rakyat. “Udah bocor di Sidoarjo, Solo, Rembang, Pati, setiap ada impor pasti ada kebocoran,” katanya.
Meskipun saat ini belum ada petani yang benar-benar berhenti menanam, Ubaid merasa pemerintah harus bertindak karena kesejahteraan petani jadi taruhan. “Kami juga meminta agar rekomendasi impor dikembalikan lagi ke KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan,Red),” katanya.
Pascadicabutnya kewenangan rekomendasi impor dari KKP lewat PP nomor 9 tahun 2018, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku tidak bisa berbuat banyak. “Terus terang saya kaget dengan PP 9 itu, saya tidak dilibatkan juga tidak diparaf,” katanya.
Menurut Susi, usahanya untuk membuka lahan garam baru, bantuan Geomembran dan bantuan-bantuan lain semata untuk meningkatkan produksi garam nasional. Namun, dengan kondisi saat ini, petani mungkin tidak semangat lagi untuk menanam. “Petani tidak punya spirit untuk menanam lagi, harganya jatuh, ada kebocoran impor juga,” jelasnya.
Susi mencontohkan lahan garam di NTT seluas 5 ribu hektar saja saat ini hanya 255 hektar yang dimiliki PT. Garam. Selebihnya dimiliki oleh pihak swasta. “Jadi benar-benar sulit untuk meningkatkan produksi,” katanya.
Bahkan tidak hanya garam, Susi menyebut dengan PP 9 tersebut, Rekomendasi impor perikanan juga nantinya akan ditarik dari KKP. Penegakan hukum pada tata niaga Garam pun bukan lagi kewenangan KKP. “Saya rasa ini persoalan pemerintah yang harus segera diselesaikan secara menyeluruh,” pungkasnya. (tau)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lihat Aksi Bu Susi di Danau Sunter
Redaktur : Tim Redaksi