Hari Antitembakau, GAPPRI Ingatkan Jokowi tak Tunduk Regulasi Asing

Selasa, 31 Mei 2016 – 17:25 WIB
Hari Antitembakau, GAPPRI Ingatkan Jokowi tak Tunduk Regulasi Asing

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA -  Hari ini, tepat 31 Mei 2016 merupakan peringatan hari tanpa tembakau sedunia. Yang dikampanyekan tentu hanya hal yang negatif mengenai tembakau dengan mengabaikan kontribusi yang sudah menyumbang pajak dan cukai terbesar. 

Berkenaan dengan itu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. 

BACA JUGA: Kuartal Pertama, Dana Kelolaan Taspen Rp 140 Triliun

Pesannya adalah adanya kekuatan asing di balik gencarnya pemberitaan dan propaganda negatif dan provokatif oleh kelompok anti tembakau tentang Industri Hasil Tembakau (IHT). GAPPRI mencatat, tak kurang Rp 150 triliun per tahun dari pajak dan cukai yang disumbangkan dari bisnis tembakau. 

"Kelompok upahan ini sejatinya sudah lama memprovokasi lembaga resmi pemerintah baik Legislatif maupun Eksekutif. Akibatnya terbit kebijakan-kebijakan yang tidak rasional lagi. Undang Undang dan Peraturan Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Daerah secara sistemik membahayakan kekuatan ekonomi NKRI melalui Industri Hasil Tembakau," ujar Ketua GAPPRI, Ismanu Soemiran seperti tertuang dalam surat yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, Selasa (31/5).

BACA JUGA: Begini Cara Memperkuat UKM

Catatan saja, riset yang dilakukan Ernst and Young menunjukkan,kinerja IHT tetap kinclong di tengah kelesuan ekonomi. Saat ini ada 5,98 juta orang terlibat secara langsung dan tidak langung di Industri rokok di 2014. 

IHT juga menjadi gantungan hidup bagi 2,1 juta anggota rumah tangga. Selain itu,perkebunan cengkeh menyerap lebih dari 1 juta petani cengkeh dengan total nilai industri lebih dari Rp20 triliun.

BACA JUGA: Surabaya Makin Seksi Bagi Investor Asing

Kontribusi penerimaan negara dari IHT yaitu 52,7 persen, jauh di atas industri lainnya. Sedangkan industri dan BUMN hanya mampu berkontribusi 8,5 persen meski dari sisi nilai industri mencapai Rp 1.890 triliun.

Sementara industri real estate dan konstruksi dengan nilai industri Rp 907 triliun, kontribusi pajaknya Rp 142 triliun dan kontribusi cukai Rp 15,7 triliun.

Adapun industri kesehatan dan farmasi dengan nilai industri mencapai Rp 307 triliun, kontribusi pajak hanya Rp 3 triliun dan cukai hanya 0,3 persen. 

Dari industri telekomunikasi dengan nilai industri Rp 114 triliun, kontribusi pajak hanya Rp 3 triliun alias kontribusi pajak hanya 3 persen.

Ismanu, dalam surat itu, mengingatkan Presiden, bahwa seperti pernah disampaikan Panglima TNI beberapa waktu lalu, Proxy War yang dilakukan kelompok anti tembakau, terlihat dari target mereka yang memaksakan kehendak agar Indonesia meratifikasi dan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), produk hukum yang 100 persen buatan asing. 

Kata Ismanu, seperti tertulis dalam surat, sudah banyak ahli yang menyatakan, bila kita mengaksesi FCTC, maka sepenuhnya IHT yang mampu memberikan pendapatan bagi pemerintah ratusan triliun akan dikendalikan oleh asing melalui badan dunia bernama World Health Organisation. 

Padahal, banyak berita yang menyatakan, WHO tidak sepenuhnya netral setelah mereka terlilit masalah keuangan. 

Kemudian, seperti disampaikan Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Firman Subagio, gerakan ini dibiayai industri farmasi global. Karena itu, gerakan antitembakau ini patut dipertanyakan, mereka bekerja untuk kepentingan siapa dan dengan tujuan apa.
 
"Kami melihat, kegiatan kelompok antitembakau yang mengaitkan IHT dengan peraturan kesehatan sangat tidak relevan. Pengenaan cukai tembakau menegaskan bahwa IHT sudah sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah," tegas Ismanu.

Mengaitkan IHT dengan kesehatan, kata Ismanu, berlebihan. Padahal dampak kesehatan yang disebabkan asap kenalpot di jalan raya tentu lebih membahayakan dari pada asap rokok. 

Banyak hal lain yang berkaitan dengan kesehatan justru diabaikan kelompok antitembakau ini, seperti makanan berformalin, junkfood, dan masih banyak lagi, yang justru banyak dikonsumsi anak-anak kita yang berusia dini. 

Apa sebabnya? Kami menduga, karena tidak ada pihak yang mengupah untuk kampanye kesehatan yang mendasar seperti itu. 

Mengaitkan IHT dengan peraturan Kesehatan, membuat Negara tidak berdiri di tengah dengan bersikap adil dalam melindungi warga bangsanya yang berusaha dan bekerja di sektor ekonomi yang sah. 

Gappri memandang, saat ini terjadi kerancuan program dan kebijakan yang membingungkan oleh sebab pelarangan kawasan tanpa rokok yang terkesan dibuat-buat, dan banyak bertentangan dengan asas peraturan yang di atasnya (lex superior derogat legi inferiori).

"Bapak Presiden Jokowi yang bijaksana. Kami memohon, Bapak Presiden berkenan memandang lebih arif dan jeli terhadap kampanye hitam kelompok antitembakau yang mendesak Pemerintah  Indonesia meratifikasi dan aksesi FCTC. Karena begitu kita meratifikasi produk Hukum Internasional itu, kita kehilangan kedaulatan atas industri rokok nasional," tegasnya.

Sementara, kalau dicermati lebih dalam, isi FCTC itu tak lebih dan tak kurang adalah siasat dagang mutakhir rezim ekonomi kapitalis. Dengan mendompleng regulasi, mereka bisa berjualan dengan harga setinggi-tingginya dengan keuntungan sebesar-besar karena biaya promosi telah diambil alih melalui aturan yang digulirkan pemerintah sendiri. 

"Apa yang kami haturkan ini tidak berlebihan. Sebab industri farmasi multinasional telah menemukan nikotin sintetis dan tembakau sintetis. Faktanya, saat ini sudah beredar rokok yang disebut ìrokok elektrikî dengan teknologi tinggi, yang mana industri lokal tidak mampu memproduksinya," ujar Ismanu.

Dalam penutup surat, GAPPRI berharap, Presiden Jokowi mengatur dengan bijak dan adil demi untuk menjaga kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, kejayaan, dan keutuhan lahir dan batin Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa perlu diatur-atur oleh pihak asing. (jpg) 
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakai Gas Bumi PGN, Pabrik Pupuk Berhemat Rp 15 Miliar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler