Hari Ibu, Lestari Moerdijat Ungkap Peran Penting Perempuan dalam Proses Pembangunan

Jumat, 22 Desember 2023 – 06:58 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Peringatan Hari Ibu 2023 bertema 'Wanita Kuat dalam bidang Pertahanan, Kebudayaan dan Strategi Pembangunan' yang berlangsung di Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI, Jakarta, Kamis (21/12). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan melalui momentum peringatan Hari Ibu 22 Desember, sudah saatnya menanamkan kesadaran kolektif bahwa perempuan memiliki peran dan kemampuan yang penting dalam dinamika pembangunan nasional.

Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Peringatan Hari Ibu 2023 bertema 'Wanita Kuat dalam bidang Pertahanan, Kebudayaan dan Strategi Pembangunan' yang berlangsung di Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI, Jakarta, Kamis (21/12).

BACA JUGA: Peringatan Hari Ibu, Rieke: Perempuan Berperan Aktif dalam Perjuangan Kemerdekaan

"Peringatan Hari Ibu 2023 harus menjadi momentum untuk menegaskan bahwa perempuan pada dasarnya berdaya, sehingga pelibatan perempuan dalam upaya pembangunan
bangsa adalah sebuah keniscayaan," kata Lestari Moerdijat.

Dia menegaskan diperlukan perubahan pola pikir dengan menyelami peran perempuan dalam peradaban bangsa agar peringatan Hari Ibu menjadi momentum merayakan pencapaian perempuan dalam sejarah dan mendefinisikan kembali peran perempuan dalam dinamika pembangunan bangsa.

BACA JUGA: Menjelang Hari Ibu, Para Orang Tua Berbagi Kisah Haru Membesarkan Anak 

Rerie yang akrab disapa itu mengungkapkan perempuan nusantara dalam catatan Portugis memiliki keutamaan intelektual dan moral sehingga mampu menjaga kerukunan dan perdamaian, menjadi diplomat antar-kesultanan, mengelola institusi perwakilan, serta mengemban tugas pemerintahan.

Dia menyebutkan Ratu Kalinyamat menjadi salah satu tokoh penting pada abad XVI yang mampu memimpin dalam bidang pertahanan, kebudayaan, dan pembangunan sehingga Jepara mencapai puncak kejayaan.

Menurut Rerie, kepemimpinan Ratu Jepara yang mengagumkan itu disimpulkan dalam satu frasa mendalam Rainha de Japara, Senhora poderosa, e rica1: Ratu Jepara, perempuan sakti dan kaya raya.

Sakti merujuk pada pengetahuan mendalam dan kesahajaan yang ditampilkan Ratu Kalinyamat.

Sepak terjang Ratu Kalinyamat, tegas Rerie, menjadi inspirasi dan bukti bahwa perempuan adalah motor penggerak sekaligus peletak pemikiran tentang cinta tanah air yang tampak dengan penolakan pada setiap bentuk kolonialisme.

Rerie menilai penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat meneguhkan pengakuan bangsa dan negara atas peranan perempuan yang pernah mengalami distorsi narasi dalam sejarah yang mendiskreditkan peran dan kepemimpinan mereka hingga mengalami subordinasi sistemik yang melekat dalam budaya.

"Jauh sebelum perempuan mengalami pelemahan dalam struktur sosial-budaya, rekam jejak kepemimpinan dan peran perempuan nusantara telah ada sejak abad VII sampai abad XVII," ungkapnya.

Dia menyebutkan rekam jejak kepemimpinan dan peran perempuan nusantara tersebut, seperti Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga (abad VII), Ken Dedes (XII), Gayatri Rajapatni (XIII), Tribuana Tunggadewi (XIV), Dyah Pitaloka Citraresmi (XIV), dan Nyai Gede Pinatih (XVI).

"Perempuan nusantara memiliki sejarah yang melekat dengan peran penting dalam sebuah tatanan budaya," imbuhnya.

Rerie lantas mengutip Qismullah Yusuf dalam 21 Wanita Perkasa Yang Ditempa oleh Budaya Aceh (2021) yang menyebutkan bahwa perempuan pada dasarnya diperkasakan dan dilemahkan oleh budaya.

Dia menjelaskan keseluruhan catatan perjuangan perempuan sesudah abad XVI mengerucut pada pilar pertahanan-keamanan, pengembangan karya intelektual budaya, tatanan sosial kemasyarakatan dan perhatian menyeluruh dalam dinamika pembangunan.

"Ironinya, dalam perkembangan sejarah, perempuan terperangkap dalam subordinasi budaya, subyek yang lekat dengan urusan domestik maupun privat, dan memiliki ruang terbatas dalam dinamika publik sepanjang abad XVII sampai abad XX," tambah Rerie.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar prinsip kesetaraan yang telah tertanam jauh sebelum kolonialisme harus menempatkan perempuan dan laki-laki mampu berperan dalam ranah privat dan publik sesuai kapabilitas yang dimiliki.

Dia menegaskan penetapan Hari Ibu pada Kongres Perempuan III di Bandung 23-27 Juli 1938 harus menjadi pengingat bagi seluruh anak bangsa tentang pergerakan dan perjuangan perempuan yang tercatat dalam sejarah.

"Khususnya tentang peran dan kepemimpinan perempuan sepanjang periode peradaban dalam pertahanan, kebudayaan dan pembangunan bangsa," pungkasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler