Harimau Sumatera Kedua, Setelah ''Si Gendut'' Panda

Senin, 14 Januari 2013 – 00:28 WIB
Foto: Don Kardono
Dari sarang rayap di G-16 (Ginza Line, jalur warna kuning, red), saya menapaki jalan tembus ke Distrik Taito. Sekali menyeberang sudah berjumpa Ueno Park, taman sakura, kebun binatang, kuil Kan"ei-ji, dan pusat Tokyo National Museum seluas 133 hektare.

Inilah taman bunga Sakura yang paling popular di ibu kota Negeri Matahari Terbit itu. Sayang, Januari-Februari belum musim cherry blossoms dan hanami. Pohon-pohon di kiri kanan Ueno Park itu masih meranggas, daunnya habis, tinggal dahan, ranting dan batang saja. Nanti, sekitar Maret-April 2013, bunga berwarna pink itu baru mekar dan cantik-cantiknya.

Di Euno Park itu, lebih dari 10 juta pengunjung setiap tahunnya. Dua juta lebih besar dari total kunjungan turis mancanegara ke Indonesia. Saat ini, yang paling diminati pengunjung adalah Euno Zoo, kebun binatang yang menggunakan “Si Gendut” panda, sebagai icon. Binatang khas China itu menjadi tujuan nomor wahid bagi pengunjung di sana. Orang antre panjang hanya untuk memotret beruang lucu dari Negeri Tembok Raksasa itu.

Kebetulan, saat saya di Euno, si gendut-gendut yang suka ngemil daun bambu itu sedang di luar kandang. Panda itu cuek, mengunyah dan menggigit ranting-ranting bambu, tanpa menghiraukan ribuan pengunjung yang mengamatinya. Perutnya yang menonjol gembrot, bulu tebal, kombinasi putih hitam, dan “kacamata” hitam di matanya, memang mengundang perhatian publik. Dua giants Panda itu menjadi andalan dan dikandangkan di sebelah kanan pintu masuk.

Kandangnya sendiri sangat bersih, dilapisi kaca bening setelah 5 cm, rangka besi berbalut stainless steel, dan suhu dingin. Ada ruang terbuka, yang dia bisa beraktivitas di luar, tetapi masih tetap di dalam area kandang. Lokasi ini betul-betul menjadi kawasan favourite pengunjung. Sesi foto dengan boneka panda besar juga menjadi objek yang diminati pengunjung.

Di Taman yang dibangun sejak 1873 itu juga ada harimau sumatera, sumbangan Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kehutanan. Macan loreng-loreng cokelat tua dan cokelat muda itu tidak terlalu gemuk, tetapi terlihat lincah dan sehat. Kandangnya didesain sesuai dengan habitatnya di Sumatera. Ada pepohonan, batu-batuan, dan kolam air yang mengalir jernih.

Di salah satu sisinya, dibuat kaca tebal, bening, dan bersih, sehingga pengunjung bisa menempelkan pipinya di depan harimau. Mereka juga bisa menyaksikan detail gerak-gerik si harimau, termasuk wajah, tatapan mata, gigi taring, kumis, dan kuku tajamnya. Sangat dekat dan menghibur. Bangga juga rasanya, binatang asli Indonesia, bernama Harimau Sumatera itu menjadi lokasi favourite kedua di Ueno Zoo, setelah panda.

Ada tulang paha sapi, dengan daging tipis yang diberi tali rantai besi untuk digigit-gigit si kucing raksasa itu. Tentu, itu menjadi pemandangan yang amat memikat bagi pengunjung taman yang memiliki koleksi lebih dari 8.800 pohon besar itu. Ada poster “Stop Illegal Logging” yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan juga di sana. Kampanye melawan pembalakan liar di Sumatera, yang menjadi habitat harimau yang saat ini termasuk species langka itu.

:TERKAIT Harimau Sumatera di Ueno Park itu bisa juga dijadikan diplomasi Indonesia-Jepang, yang selama ini sudah terjalin akrab. Diplomasi harimau. Kebun binatang yang di depannya berdiri patung Pangeran Komatsu Akihito berkuda itu, memang banyak koleksi binatang-binatang langka di seluruh penjuru dunia. Ada juga jerapah, gajah, penguin, siamang, yang merupakan sumbangan dari negara asalnya.

Jepang sendiri memang tidak ada harimau. Ketika saya berkunjung ke salah satu gedung heritage yang tercatat UNESCO, tempat tinggalnya Shogun, yang serba kayu itu, sampai-sampai dindingnya dilukis gambar harimau. Konon, zaman itu, abad 19, ratusan tahun silam, belum ada teknologi fotografi dan film video. Karena itu, untuk mendeskripsikan harimau, mereka menggambarnya di dinding-dinding.

Di Ueno Park itu, ada juga yang unik. Yakni, menciptakan suasana malam sepanjang 24 jam, --meskipun 12 jam jatah siang ---, mereka membuat goa gulita dengan lampu-lampu redup dan berwarna malam. Betul-betul mirip suasana malam, termasuk suara-suara jengkerik dan siulan burung hantu. Di situlah, binatang seperti kelelawar, burung malam, dan primate-primata malam dibuatkan kandang berkaca. Mereka pun bergerak, seperti sedang berada dalam waktu malam.

Tidak ada perasaan “jijik” atau bau kotoran yang tidak sedap di kompleks zoo tersebut. Karena itu, restoran yang berada di dalam taman itu di desain open air, dan menyatu dengan alam. Starbuck Café dan Park Café yang berada di salah satu sudut squere juga berdesain serba kayu. Dinding, pintu, jendela, langit-langit, jendela, ventilasi, tempat duduk, meja, semua serba wooden dan kotak-kotak.

Asyik sekali minum cappuccino di cuaca siang yang berkisar di 3-7 derajad Celcius. Perempatan jalan dan aspal di squere itu dicuci, sehari sekali. Disemprot air bersih, sehingga terlihat bersih dari segala macam kotoran burung merpati dan burung gagak hitam yang berkeliaran bebas, dan bersarang di pepohonan kiri-kanan jalan itu. Tidak terdengar keraguan dan ketakutan orang akan H5N1, yang di Indonesia disebut dengan virus flu burung di sana.

Saya kagum dengan manajemen zoo, park, dan museum yang terintegrasi dengan sempurna di sana. Masuk zoo atau kebun binatang itu sendiri tidak terlalu mahal, hanya Rp 60 ribuan untuk dewasa, dan anak-anak di bawah 12 tahun gratis. Bersih, rapi, dan semua toiletnya wangi dan kering. Di situ pula warga Jepang biasa berjalan-jalan dengan mengajak binatang piaraannya. Ada aneka anjing, kucing, bahkan kelinci pun dibiarkan duduk di pundak, sambil diajak berjalan-jalan.

Museum Seni Nasional tertua di Jepang juga dibangun di sana sejak 1872. Lebih dari 110.000 objek yang dipamerkan di museum itu. Penjelasannya selain berhuruf kanji bahasa Jepang, juga dilengkapi bahasa China, Inggris, Prancis, Jerman, Korea dan Spanyol.

Lagi-lagi saya susah membandingkan dengan Museum Fatahilah di Kota Lama Jakarta, termasuk Museum Wayang yang ada di sampingnya. Terus terang saya bermimpi, Indonesia yang kaya akan sejarah dan artefak peninggalan masa lalu itu punya museum yang lengkap, hebat, bersih, nyaman, dan menjadi sumber ilmu yang bermanfaat. Jangan sampai, untuk menemukan sejarah Betawi, Jawa, Sunda, Borneo, Celebes, Andalas, Lombok, Bali sampai Papua, anak cucu kita harus terbang tujuh jam ke Tokyo? Juga jangan sampai, hanya untuk melihat Harimau Sumatera, Komodo, dan Anoa saja, harus mendarat ke Ueno Park, Jepang? (bersambung).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menunggu Sontekan Mister Ambassador di Brazilia

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler