Sudah lebih dari setengah abad lamanya pria kelahiran Sydney, Australia bernama Harry Aveling menerjemahkan teks sastra Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris untuk dibaca oleh orang Australia. Setengah abad terjemahkan teks Indonesia
BACA JUGA: Sampah Mikroplastik Pun Sudah Ditemukan di Kutub Utara
Di usianya yang ke-77, Harry juga sudah menerjemahkan ratusan karya sastra dari Bahasa Malaysia, Prancis serta membantu menerjemahkan teks dari Bahasa Hindi.
Kecintaannya pada dunia penerjemahan tumbuh seiring dengan keinginannya memperkenalkan karya sastra Indonesia kepada pembaca Australia di tahun 1960.
BACA JUGA: Warga Pulau Komodo Tolak Relokasi Dan Penutupan Taman Nasional
"Waktu itu tidak banyak teks yang diterjemahkan dari Bahasa Indonesia. Semua yang sudah diterjemahkan hanya mengkritik pemerintah masyarakat Indonesia," jawab Harry dalam percakapan dalam bahasa Indonesia ketika ditemui wartawan ABC Natasya Salim di Melbourne minggu lalu.
"Saya mau menerjemahkan sastra yang lebih baik kualitasnya untuk masyarakat Australia yang waktu itu belum tahu begitu banyak tentang Indonesia melalui puisi dan novel."
BACA JUGA: Pencari Kerja Tak Tertarik Pergi ke Pedalaman Australia, Apa Alasannya?
Kini, berkas daftar riwayat hidup Harry yang berlembar-lembar jumlahnya sudah diwarnai oleh judul-judul terjemahan karya sastra Indonesia miliknya.
Selain menjadi penerjemah, Harry saat ini juga adalah pembimbing mahasiswa Studi Indonesia di Fakultas Literatur, Bahasa, Budaya dan Linguistik Universitas Monash.
Pengalamannya bertahun-tahun mengajar bahasa di universitas Australia, Indonesia dan Malaysia serta gelar Magister Studi Malaysia dari Universitas Sydney menjadi penopang karir yang sekarang ia jalani.
Beberapa penghargaan seperti Penghargaan Anugerah Pengembangan Sastera (1991), Penghargaan Literatur Khatulistiwa untuk Puisi (2006) dan lainnya juga menandakan keahliannya dalam dunia sastra Indonesia.
Di antara banyaknya novel, puisi serta teks lainnya yang sudah ia terjemahkan, buku puisi berjudul "Kill the Radio" (Radio Kumatikan) karya Dorothea Rosa Herliany menjadi salah satu favoritnya.
"Tulisan yang paling berkesan adalah 'Kill the Radio'. Dorothea [yang menulis] adalah penulis wanita yang sangat berani dan jujur dalam tulisannya."
Hingga kini, Harry masih berhubungan baik dengan Dorothea yang tinggal di Bali. Video: Wawancara dengan Harry Aveling (Indonesian)
Bahasa Indonesia sangat berani
Setiap bahasa memang memiliki keunikan masing-masing, namun menurut Harry, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling maju.
"Sastra Indonesia lebih maju dibandingkan sastra Malaysia karena jumlah penduduk negaranya jauh lebih banyak," kata Harry ketika ditemuinya di kampus Monash University Clayton.
"Sampai pertengahan abad lalu yang menulis sastra Melayu adalah guru-guru sekolah, sedangkan yang menulis sastra Indonesia adalah lulusan universitas."
Menurutnya, latar belakang penulis yang berbeda ini mempengaruhi tingkat keberanian mereka untuk berpendapat lewat tulisan.
"Dalam menulis orang Indonesia lebih bebas. Ibaratnya 'setuju atau tidak, tidak apalah', kalau menurut pendapat saya. Sedangkan kalau Melayu lebih hati-hati." Photo: Selama puluhan tahun Harry sudah menerjemahkan karya sastra dari Bahasa Indonesia, Malaysia, dan Prancis di Vietnam.
Daya tarik Bahasa Indonesia semakin menjadi di mata Harry melihat potensi berkembangnya.
Contoh perkembangan yang tampak saat ini adalah penggunaan slang, khususnya di kalangan remaja Indonesia.
"Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan berkembang. Tapi jangan harap saya paham yang sudah berkembang sekarang karena sudah tua." jawabnya sembari tertawa.
Harry dapat melihat dengan jelas perbedaan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu yang ia gunakan selama tumbuh di Australia.
"Sastra Indonesia sangat menarik. Pribadi dan tulisannya bagus sekali. Sikap pemandangan terhadap dunia pun sedikit berbeda dengan orang Australia."
Tantangan selama 50 tahun
Suka duka seorang penerjemah sudah Harry alami selama lebih dari 50 tahun berkecimpung dalam dunia menerjemahkan karya sastra.
Salah satu tantangan yang Harry hadapi adalah kewajiban memahami budaya dari teks yang ia terjemahkan.
"Untuk menerjemahkan, kita harus mempelajari budaya di balik teks tersebut dengan baik. Misalnya, tentang budaya bersembahyang," kata Harry .
"Atau tentang panggilan 'ayahanda'. Kadang-kadang susah tahu kalau kata itu berarti ayah kandung atau hanya bentuk sopan santun."
Tantangan ini ia hadapi ketika menerjemahkan teks penulis berbahasa Jawa seperti Umar Kayam dan Arifin C. Noer di tengah keterbatasan alat bantu. Photo: HarryAveling (ketiga dari kiri) lulus dari Universitas Sydney tahun 1962 dan mempelajari tiga mata kuliah yaitu Sastra Inggris, Sejarah dan Bahasa Indonesia.
"Mereka menulis dalam Bahasa Indonesia tapi bercampur dengan Bahasa Jawa. Sedangkan dulu tidak ada kamus Bahasa Jawa yang lengkap."
Di samping itu, perbedaan minat bacaan dari orang Indonesia dengan orang Australia juga sering jadi perkara bagi dirinya.
"Ada tulisan yang sentimental sekali yang disenangi orang Indonesia tapi orang Australia tidak tertarik," kata Harry.
"Ini berarti ada tulisan yang mudah diterjemahkan dan ada tulisan yang sama sekali tidak bisa diterjemahkan."
"Uang tidak ada tapi banyak teman"
Tidak dapat dipungkiri, penghasilan seorang penerjemah atau pun penulis lebih rendah dari pendapatan pekerjaan lain pada umumnya.
Sadar akan hal ini, Harry tetap merasa senang karena mendapatkan banyak teman dari pekerjaan tersebut.
"Menjadi seorang penerjemah itu menyenangkan. Dapat banyak teman. Uang tidak ada, tapi banyak teman."
Menariknya, penghasilan uang yang ia dapatkan justru sering ia berikan kepada teman penulisnya di Indonesia.
"Kalau mendapat uang dalam rupiah jumlahnya tidak banyak dalam dollar Australia. Jadi lebih baik saya berikan kepada teman penulis di Indonesia."
Harry mengatakan bahwa seorang penerjemah harus kuat menerima kritik dari pembaca. Photo: Hingga kini, Harry Aveling (tengah) masih menjalin hubungan baik dengan teman dan penulis favoritnya, Dorothea Rosa (kanan) yang tinggal di Bali. (Foto: Supplied)
Pelajaran ini ia dapatkan dari pengalamannya menerjemahkan buku Melayu yang menuai banyak kritik dari tahun 1970 hingga sekarang.
"Buku yang paling banyak dikritik tersebut di Malaysia. Namanya 'Selena'. Buku ini isinya berputar-putar terus sampai tebalnya 500 halaman," kata Harry.
"Lama-lama orang bosan membacanya. Akhirnya saya potong supaya lebih lancar dan lebih menarik menjadi 300 halaman."
Ia mengatakan bahwa kritik akan selalu menjadi bagian dari profesi seorang penerjemah.
"Dukanya penerjemah selalu dikritik oleh pembaca. Kalau terjemahannya literal, ada yang tidak suka. Terjemahannya bebas pun masih ada yang tidak suka."
Karenanya, ia lebih memilih untuk tidak menghiraukan kritik dari pembaca.
"Jadi saya sukanya berpikir 'Ah, saya tidak peduli. Menerjemahkan saja' karena sudah tahu akan dikritik sebagian orang. Apa boleh buat?" kata Prof Harry Aveling.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perang Tak Halangi Pemuda Suriah Wujudkan Mimpi Jadi Pemain Biola Sukses