JAKARTA – Terdakwa kasus suap Buol, Siti Hartati Murdaya, menangis saat membacakan pledoi di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, kemarin. Istri pengusaha Murdaya Poo tersebut terlihat mewek dua kali.
Pertama saat dirinya mengatakan hampir mati saat berjuang untuk menginvestasikan uangnya di Buol, Sulawesi Tengah. Kedua ketika dirinya tidak bisa menghadiri acara pernikahan anaknya.
Melihat terus sesenggukan tidak jelas, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Gus Rizal pun sempat menghentikan persidangan dan menayakan kepada terdakwa apakah masih sanggup untuk membacakan pledoinya tersebut. ’’Kalau terdakwa tidak sanggup, biarkan dilanjutkan oleh Penasihat Hukum saja,’’ ucapnya melihat terdakwa terus sesenggukan. Hartati pun menjawab, ’’Saya sanggup Yang Mulia,’’ katanya dengan sesenggukan.
Dalam pledoi Hartati setebal 34 halaman tersebut, ia bercerita panjang lebar mengenai jasa-jasanya dalam membangun investasi kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Judulnya ’’Masih Adakah Keadilan" Air Susu Dibalas dengan Air Tuba’’.
Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) ini terus menampik tudingan jaksa yang mengatakan bahwa ia memberikan uang Rp 3 miliar kepada Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu guna memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) perizinan perkebunan kelapa sawitnya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Padahal dalam rekaman percakapan telepon yang disadap KPK, mantan pembina Partai Demokrat itu jelas telah memberikan uang Rp 3 miliar kepada Amran yang diistilahkannya dengan sandi satu kilo dan dua kilo.
Dalam pembelaannya, mantan Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) ini menjelaskan bahwa surat yang diterbitkan Bupati Buol tersebut tidak ada gunanya. Pasalnya PT Hardaya Inti Plantation (HIP) miliknya telah memperoleh dua izin lokasi yang totalnya seluas 75 ribu hektare, namun 50 ribu hektare kebun sisanya untuk fasilitas masyarakat seperti rumah sakit dan lainnya.
’’Jadi surat izin dari Bupati Buol itu tidak ada gunanya,’’ katanya sewaktu membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor, Senin (21/1).
Soal duit Rp 3 miliar tersebut, Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) ini menegaskan tidak mempunyai niat untuk memberikan sumbangan kepada Amran. Karena sumbangan tersebut merupakan inisiatif atau instruksi anak buahnya yang bernama Totok Lestiyo selaku Direktur PT HIP. Bahkan ia mengaku uang tersebut diberikan kepada Amran tanpa sepengetahuannya.
’’Saya tidak pernah perintahkan Arim untuk memberikan uang Rp 1 miliar untuk sumbangan Pilkada. Saya hanya setuju terkait permasalahan PT HIP agar bisa beroperasi normal,’’ tandasnya.
Usai membacakan pledoi panjang lebar, Hartati memohon kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan keputusan terbaik sesuai pertimbangan fakta-fakta hukum yang objektif dan seadil-adilnya.
’’Investasi kami di Buol, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tapi saya ingin menolong orang banyak,’’ kilahnya kepada hakim.
Sementara itu, sebelum persidangan ditutup, Penasihat Hukum Terdakwa, Tumbur Simanjuntak, meminta kepada Majelis Hakim untuk mengeluarkan penetapan penahanan kliennya tersebut di Rutan Guntur Pomdam Jaya, Manggarai Jakarta Selatan. Mengingat kleinnya tersebut ternyata lebih menyukai tinggal di Rutan Guntur daripada ditahan di Rutan KPK. Sebabnya kondisi di Rutan Guntur lebih nyaman dan bebas dari banjir.
’’Karena Kamis lalu rumah tahanan KPK kebanjiran, maka kami minta Hartati tetap ditahan di Rutan Guntur. Kami mohon majelis mengeluarkan penetapan pemindahan itu,’’ kata Tumbur sebelum sidang berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/1).
Menanggapi hal itu, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat mencegah pengajuan permintaan pemindahan tahanan KPK. ’’Soal permintaan pemindahan itu merupakan hak dari napi, tetapi apakah diterima atau tidak itu tergantung pimpinan,’’ tandasnya saat ditemui wartawan di kantornya. (sar)
Pertama saat dirinya mengatakan hampir mati saat berjuang untuk menginvestasikan uangnya di Buol, Sulawesi Tengah. Kedua ketika dirinya tidak bisa menghadiri acara pernikahan anaknya.
Melihat terus sesenggukan tidak jelas, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Gus Rizal pun sempat menghentikan persidangan dan menayakan kepada terdakwa apakah masih sanggup untuk membacakan pledoinya tersebut. ’’Kalau terdakwa tidak sanggup, biarkan dilanjutkan oleh Penasihat Hukum saja,’’ ucapnya melihat terdakwa terus sesenggukan. Hartati pun menjawab, ’’Saya sanggup Yang Mulia,’’ katanya dengan sesenggukan.
Dalam pledoi Hartati setebal 34 halaman tersebut, ia bercerita panjang lebar mengenai jasa-jasanya dalam membangun investasi kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Judulnya ’’Masih Adakah Keadilan" Air Susu Dibalas dengan Air Tuba’’.
Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) ini terus menampik tudingan jaksa yang mengatakan bahwa ia memberikan uang Rp 3 miliar kepada Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu guna memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) perizinan perkebunan kelapa sawitnya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Padahal dalam rekaman percakapan telepon yang disadap KPK, mantan pembina Partai Demokrat itu jelas telah memberikan uang Rp 3 miliar kepada Amran yang diistilahkannya dengan sandi satu kilo dan dua kilo.
Dalam pembelaannya, mantan Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) ini menjelaskan bahwa surat yang diterbitkan Bupati Buol tersebut tidak ada gunanya. Pasalnya PT Hardaya Inti Plantation (HIP) miliknya telah memperoleh dua izin lokasi yang totalnya seluas 75 ribu hektare, namun 50 ribu hektare kebun sisanya untuk fasilitas masyarakat seperti rumah sakit dan lainnya.
’’Jadi surat izin dari Bupati Buol itu tidak ada gunanya,’’ katanya sewaktu membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor, Senin (21/1).
Soal duit Rp 3 miliar tersebut, Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) ini menegaskan tidak mempunyai niat untuk memberikan sumbangan kepada Amran. Karena sumbangan tersebut merupakan inisiatif atau instruksi anak buahnya yang bernama Totok Lestiyo selaku Direktur PT HIP. Bahkan ia mengaku uang tersebut diberikan kepada Amran tanpa sepengetahuannya.
’’Saya tidak pernah perintahkan Arim untuk memberikan uang Rp 1 miliar untuk sumbangan Pilkada. Saya hanya setuju terkait permasalahan PT HIP agar bisa beroperasi normal,’’ tandasnya.
Usai membacakan pledoi panjang lebar, Hartati memohon kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan keputusan terbaik sesuai pertimbangan fakta-fakta hukum yang objektif dan seadil-adilnya.
’’Investasi kami di Buol, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tapi saya ingin menolong orang banyak,’’ kilahnya kepada hakim.
Sementara itu, sebelum persidangan ditutup, Penasihat Hukum Terdakwa, Tumbur Simanjuntak, meminta kepada Majelis Hakim untuk mengeluarkan penetapan penahanan kliennya tersebut di Rutan Guntur Pomdam Jaya, Manggarai Jakarta Selatan. Mengingat kleinnya tersebut ternyata lebih menyukai tinggal di Rutan Guntur daripada ditahan di Rutan KPK. Sebabnya kondisi di Rutan Guntur lebih nyaman dan bebas dari banjir.
’’Karena Kamis lalu rumah tahanan KPK kebanjiran, maka kami minta Hartati tetap ditahan di Rutan Guntur. Kami mohon majelis mengeluarkan penetapan pemindahan itu,’’ kata Tumbur sebelum sidang berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/1).
Menanggapi hal itu, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat mencegah pengajuan permintaan pemindahan tahanan KPK. ’’Soal permintaan pemindahan itu merupakan hak dari napi, tetapi apakah diterima atau tidak itu tergantung pimpinan,’’ tandasnya saat ditemui wartawan di kantornya. (sar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari 24 Nama, Hanya Lima Layak jadi Hakim Agung
Redaktur : Tim Redaksi