Haruskah Data Pasien Virus Corona Dibuka Saja ke Publik?

Minggu, 22 Maret 2020 – 22:53 WIB
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, mengingatkan ketentuan terkait kerahasiaan data pasien, di tengah adanya desakan sejumlah pihak supaya data korban terinfeksi virus corona (Covid-19) dibuka saja ke publik. Salah satu dorongan datang dari Komisi Informasi Pusat (KIP).

Saleh yang juga mantan pimpinan di komisi bidang kesehatan DPR itu mengatakan, bahwa ketentuan menjaga kerahasiaan data pasien telah diatur di dalam undang-undang (UU). Karena itu, setiap orang tentu harus tetap taat pada ketentuan undang-undang.

BACA JUGA: Positif Corona, Andrea Dian Jalani Isolasi dengan Semangat

Menurut Saleh, manfaat dan urgensi menjaga kerahasiaan pasien ini pasti telah dipikirkan oleh para pembuat UU. “Jika ada keinginan untuk membuka data pasien, silakan buka lagi beberapa UU terkait. Baca lagi secara saksama batasan-batasan data pasien yang mungkin bisa dipublikasi ke publik," ucapnya di Jakarta, Minggu (22/3).

UU yang berkaitan dengan kerahasiaan medis diatur dalam 4 undang-undang (UU), yaitu pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 38 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Pasal 73 UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

BACA JUGA: Vertue Clean, Cegah Penyebaran Bakteri dan Virus Corona di Kabin Mobil

Meskipun ada aturan tentang menjaga kerahasiaan data pasien, namun dalam kondisi-kondisi tertentu sepertinya ada kelonggaran. Nah, ketentuan kelonggaran seperti itu yang mesti dipelajari.

"Ahli hukum kesehatan mesti memberikan pendapatnya. Sehingga dalam bertindak kita semua tetap dalam koridor hukum yang benar," tukas wakil ketua Fraksi PAN DPR ini.

BACA JUGA: Di Tengah Wabah Virus Corona, Ricky Harun Punya Kabar Bahagia

Perhatikan, misalnya, ketentuan pasal 57 ayat (1) UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. Akan tetapi, pada pasal 57 ayat (2) hak atas kerahasiaan itu dikecualikan salah satunya, demi kepentingan masyarakat.

Nah, Saleh mengatakan apakah ketentuan pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan itu dianggap cukup untuk kondisi sekarang ini? Untuk itu, dia mempersilakan para pemangku kepentingan mengelaborasi dan ditafsirkannya dengan baik.

"Yang jelas, demi kepentingan bangsa dan negara, kita semua harus bekerja keras membantu pemerintah. Termasuk untuk mewaspadai daerah-daerah yang dianggap rawan dengan penyebaran virus corona," tutur legislator asal Sumatera Utara ini.

Selain itu, perlu dibaca juga ketentuan Pasal 48 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.”

Selanjutnya pada Pasal 10 ayat (2) Permenkes 269/2008 disebutkan bahwa informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal: untuk kepentingan kesehatan pasien; memenuhi permintaan aparatur.

Saleh memandang bahwa UU 48 dan Permenkes 269/2008 memberikan peluang untuk membuka data pasien dengan berbagai ketentuan di atas. Selain itu, demi kepentingan penelitian dan pendidikan, data pasien bisa juga dibuka ke publik. Apalagi hanya menyebutkan daerah-daerah tempat pasien tinggal, dia merasa hal itu tidak masalah.

"Yang tidak boleh itu jika data lengkap pasien dibuka secara luas ke publik. Itu akan mendatangkan masalah bagi pasien karena bisa jadi akan ada semacam stigma yang tidak baik. Kecuali, jika pasiennya dengan sukarela mau mengungkap identitasnya. Itu sangat baik dan dianjurkan," jelas mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah itu.

Dia menambahkan, data pasien dibutuhkan bukan untuk melabelisasi dan menyudutkan pasiennya. Tetapi, itu diperlukan agar masyarakat mengetahui gerak dan persebaran virus ini. Dengan begitu, semua pihak bisa mengantisipasi dan menghindari.

"Kalau semua pihak dapat menghindari, tentu itu juga adalah bagian dari memenuhi kepentingan kesehatan pasien dan keluarganya," tandas lulusan Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. (fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler