jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyoroti persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya pemerintah telah gagal dalam memanfaatkan SDA di dalam negeri, sehingga dia menyebut amburadul.
"Pemerintah gagal mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam Indonesia untuk menyejahterakan rakyat. Yang terjadi malah SDA Indonesia dikuasai oleh segelintir pengusaha dan investor asing," ungkap Mulyanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (27/1).
BACA JUGA: Efisiensi Biaya Logistik Akan Mendongkrak Investasi dan Daya Saing Ekspor
Menurut Mulyanto, dalam pemanfaatan SDA masyarakat Indonesia hanya kebagian masalah dan dampak kerusakan lingkungan hidup yang panjang.
“Belum tuntas penyelesaian kasus bentrok berdarah antar kelompok pekerja di perusahaan smelter nikel PT. Gunbuster Nickel Industry (GNI), dan kasus beking kegiatan tambang ilegal oleh orang dekat presiden, kami sudah dikejutkan lagi dengan kabar dari Bank Indonesia (BI) yang menyatakan USD hasil ekspor barang tambang tidak masuk ke Indonesia," ungkap Mulyanto.
BACA JUGA: Bea Cukai Berikan Layanan Ini untuk Dorong UMKM Tembus Ekspor
Mlyanto menuturkan, BI menyebutkan hasil penjualannya justru diparkir di rekening-rekening luar negeri. Akibatnya, devisa negara anjlok.
"Padahal cadangan sumber daya alam kita terus dikeruk untuk keuntungan pengusaha-pengusaha tambang tersebut,” kata Mulyanto.
BACA JUGA: Bea Cukai Berikan Fasilitas Ini untuk Perusahaan Berorientasi Ekspor
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR ini menilai kegagalan pengelolaan SDA selama ini karena presiden tidak paham persoalan sesungguhnya di dalam industri tambang.
Di saat yang sama kata Mulyanto, Presiden Jokowi dikelilingi oknum yang bermental korup yang lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok ketimbang memikirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Dampaknya banyak keputusan Presiden Jokowi yang hanya menguntungkan dan meyenangkan pengusaha, tapi menyengsarakan masyarakat.
“Presiden ke depan harus sungguh-sungguh menata manajemen SDA kita ini. Jangan sampai SDA, khususnya hasil tambang yang terbatas ini hanya dinikmati segelintir oknum atau investor asing. Kita perlu tobat nasional dan kembali ke jalan konstitusi untuk mengelola SDA sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat," beber Mulyanto.
Dia juga meminta pemerintah menjalankan roda ekonomi nasional secara inklusif berkualitas bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
"Bukan pendekatan ekonomi yang eksploitatif dan ekstraktif yang memarjinalkan dan menghisap darah rakyat,” singgung Mulyanto.
Mulyanto juga mengaku prihatin mendengar kabar bahwa banyak beking tambang ilegal adalah orang kuat yang dekat dengan Presiden Jokowi.
Ini yang mengakibatkan dirjen, gubernur dan wali kota angkat tangan mengatasi pelanggaran usaha tambang ini. Kabar terbaru yang beredar sekarang ditemukan satu perusahaan tambang ilegal yang beromzet miliaran yang ternyata dibeking oknum aparat keamanan.
“Soal pajak atau royalti batu bara Indonesia juga termasuk masih rendah, flat 13.5 persen di atas harga USD 90 per ton. Padahal harga batu bara dunia saat ini membumbung tinggi mendekati USD 400 per ton. Kalau ini ditingkatkan, bukan hanya kita banjir surplus neraca perdagangan, bisa jadi kita tidak perlu utang untuk pembangunan," ujarnya.
Di sisi lain, hilirisasi nikel dijalankan dengan setengah hati. Hanya menghasilkan barang setengah jadi dengan nilai tambah rendah seperti nickel pig iron (NPI) dan fero nikel dengan kandungan nikel hanya 4 persen. Lalu, diekspor utamanya ke China dengan bebas pajak.
"Insentif fiskal dan non fiskalnya diberikan sangat besar. Kemudahan mengimpor alat-mesin, yang bisa jadi barang bekas pakai. Termasuk TKA yang diduga pekerja kasar dengan berbagai implikasi sosial-politiknya,” tandas Mulyanto.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul